Memanasnya dinamika
politik nasional 22 Mei 2019, ditandai dengan adanya aksi damai oleh demonstran
dan ulah oknum perusuh. Bagi demonstran, undang-undang memerintahkan agar Polri
mengawalnya. Bagi perusuh, amanat KUHP agar Polri menindak tegas.
ALBERT
M SHOLEH, Palangka Raya
KALAU mengaku
cendekiawan atau seorang tokoh, tapi yang diucapkannya provokatif, apa seperti
itu negarawan? Tidak. Ya. Pernyataan bernas dilontarkan Wakapolda Kalteng
Brigjend Pol Rikwanto ketika berbincang-bincang dengan sejumlah Pemimpin
Redaksi (Pimred) surat kabar harian (SKH) alias koran.
Situasi keamanan
nasional pascapengumuman pemenang Pilpres 22 Mei, boleh dikatakan banyak bola
salju (snow ball) yang digulirkan oleh mereka yang merasa tidak puas dengan
hasil pesta demokrasi. Padahal sebagian besar masyarakat Indonesia menerima
dengan lapang dada.
Snow ball sengaja
diciptakan. Tapi gagal terus. Karena Rikwanto mengakui Kapolri sudah
menganalisa sejak awal. Makanya diantisipasi.
“Kita tempatkan banyak
personel. Mereka melihat petugas sudah pesimistis sehingga tidak jadi berulah.
Ketika sempat ada sedikit rusuh misalnya, kita langsung geser personel
terdekat. Rusuh tidak sampai membesar,” ucap Wakapolda Kalteng Brigjen Pol
Rikwanto.
Polri dibenci dan
difitnah. Kenapa? Karena Polri mampu mencegah potensi yang mengancam kedaulatan
negara. Bersama TNI dan Polri, tidak ada lagi celah. Karena TNI-Polri kompak.
Dilah mana yang mengarah memecah belah dan mengadu domba.
Ingat, kata Rikwanto,
pergerakan massa pada 1998 yang menginginkan masyarakat. Masyarakat yang
menginginkan terkait kekuasaan. Sedangkan pada 2019, lanjut mantan Karopenmas
Divhumas Mabes Polri ini, yang menginginkan kekuasaan adalah sejumlah elit.
Sehingga ada massa bayaran.
Itu semua diantisipasi
dan benar-benar sejak dini. Ditung berapa massa dan berapa personel. Kalau
kurang, pergeseran pasukan. Dengan demikian bisa diminimalisir segala potensi
terburuknya.
Sejak awal ada analisa
yang mengatakan nanti akan ada yang menyebar fitnah kalau 22 Mei kemarin
ditemukan peluru tajam dan korban meninggal. Kapolri langsung menyatakan sejak
awal Polri tidak memakai peluru tajam.
“Bisa saja massa
bayaran itu ditembak oknum mereka sendiri. Polri yang difitnah. Yang teriak itu
lah benar-benar sengkuni (dalang bikin rusuh). Harus tegas. Bisa
ditangkap,” imbuh lulusan Akpol 1988 itu.
Bedakan antara pendemo
dan perusuh. Penanganan demonstran sesuai undang-undang kita kawal mulai awal
sampai akhir. Kalau perusuh ya ditangani dengan KUHP. Harus tegas.
Jangan melihat
penampilannya saja. Lihat yang disampaikan, sesuai tidak penampilan dengan yang
diucapkan? Humas harus aktif. Datang ke lapangan. Beri keterangan ke media
secepat mungkin. Jangan biarkan sampai berlarut dan opini masyarakat liar. Bagi
personel.
“Di lapangan pasti
ada wartawan. Datangi, kasih tahu yang terjadi sebenarnya. Jangan menghindar.
Beda wawancara di lapangan dengan di meja kantor. Kelamaan menunggunya. Jangan
biarkan kabar tidak benar sempat menyebar,” ucap pria kelahiran 1 April
1965 ini.
Selain itu, yang
terpenting juga media massa. Harus jeli melihat apa adanya. Meski berafiliasi
dengan kekuatan politik, jangan keterlaluan terlihat condong ke ini dan itu.
Bermain cantik dan harus mengutamakan kepentingan nasional. (*)