27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Sowan Kiai NU sebelum Bikin Walisongo Chronicles

Menurunnya
produktivitas komik bernuansa budaya Nusantara memantik keresahan Sweta
Kartika. Dia lantas mendirikan Padepokan Ragasukma untuk mewadahi para pembuat
komik Nusantara.

 

FOLLY
AKBAR,

Jakarta

 

BUAH jatuh tak
jauh dari pohonnya. Pepatah tersebut sangat layak disematkan kepada Sweta
Kartika. Seorang komikus kelahiran Kebumen yang konsisten dengan karya-karya komik
bernapas budaya Nusantara.

Sosok Sweta bak wujud
perpaduan yang sempurna dari jiwa orang tuanya. Ibunya gemar membaca komik.
Ayahnya adalah orang yang gemar berseni-budaya. Keroncong, gamelan, wayang,
hingga melukis. Perpaduan dua aliran itu sangat akrab sejak Sweta kecil. Pada
akhirnya, titisan darah orang tuanya itu mengantarkan Sweta menemukan jati
dirinya sebagai komikus Nusantara. ”Dari situ saya akhirnya membuat komik yang
mengambil unsur budaya lokal,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Komik sudah menjadi
bagian dari hidup Sweta. Sejak kecil dia sering disodori berbagai judul komik
bacaan ibunya. Umumnya yang bertema pendekar. Kebetulan, pamannya bekerja
sebagai penjaga lapak penyewaan komik. Hari-hari Sweta kecil sering diisi
dengan membaca komik.

Hobi itu bertautan
dengan bakat seni yang mengalir dari ayahnya. Sweta berbakat menggambar sejak
balita. Bahkan,
pada usia 3 tahun dia pernah memenangi perlombaan
menggambar
, melawan anak-anak lain yang berusia di
atasnya.
“Saya menang gara-gara yang lain menggambar
pemandangan gunung dua berjejer. Saya gambar kura-kura ninja,” ujarnya
mengenang masa kecilnya.

Sweta terus menekuni
passion-nya. Saat masa kuliah tiba, dia mengambil S-1 dan S-2 di Jurusan Desain
Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung. Saat itulah dia bertemu dengan
Prof Primadi Tabrani, guru sekaligus rekan diskusi yang memantapkan jalannya
menjadi komikus yang memasukkan unsur keindonesiaan dalam setiap karya
komiknya.
“Bahkan dari yang paling remeh seperti sekadar
menamai karakter budaya. Jadi, ada makna di baliknya,” tuturnya.

Kini Sweta dikenal
piawai memasukkan unsur lokal dalam komiknya. Salah satu karya yang bikin geger
para pencinta komik berjudul Nusantararanger. Dalam komik yang digarap bersama
sejumlah koleganya itu, dia menampilkan kesatria dengan ciri khas Nusantara.

Tokoh Kesatria Nusa
Merah dari Jawa memiliki kekuatan elang Jawa. Nusa Kuning dengan kekuatan
harimau Sumatera. Nusa Hitam dari Sulawesi punya kekuatan anoa. Nusa Hijau dari
Kalimantan memiliki kekuatan roh orang utan. Serta Nusa Biru dari Papua yang
punya kekuatan hiu gergaji.

Baca Juga :  Perkuat Mitigasi, Minta Kejujuran Klien

Pun sama booming-nya
saat komik berjudul Pusaka Dewa yang disebut-sebut sebagai Game of Thrones
versi Jawa diterbitkan beberapa tahun lalu. Salah satu karya terbarunya, Garuda
Eleven, memiliki semangat yang sama. Kisah Sekolah Sepak Bola (SSB) Praja
Garuda Kencana yang berisi para pemain bola dari berbagai daerah. Lengkap
dengan berbagai karakteristik fisik, permainan, dan posisi pemain yang sesuai
dengan karakter asli daerah Indonesia.

Hingga kini sudah ada
puluhan karya komik yang digarap secara khas Nusantara. Baik bertema action,
romanti
k, sejarah, maupun komik horor yang semuanya memasukkan
unsur keindonesiaan.

Selain dipengaruhi
kehidupan masa kecil, tekadnya membuat komik Nusantara juga datang dari
kegelisahannya. Komik-komik dengan ciri khas budaya Nusantara yang banyak
terbit pada tahun ’80-’90-an dirasa mulai kendur. Di sisi lain, arus masuk
komik terjemahan mengalir deras. Terlebih dari Jepang. Misalnya, One Piece dan
Naruto yang juga membawa budaya setempat. Karena itu, sosok yang kini menetap
di Bandung tersebut berupaya mengisi kekosongan itu.
“Mata rantai
bisa putus kalau enggak disambung,” tuturnya.

Membuat komik dengan
nuansa budaya Nusantara tidak sederhana. Sweta membutuhkan riset di tengah
minimnya literatur yang tersedia. Tak jarang, dia harus melakukan observasi
lapangan hingga mewawancarai para tokoh budaya. Hal itu diperlukan untuk
memastikan budaya Nusantara yang diadopsi dalam komik tidak menyimpang.

Dalam komik Pusaka Dewa
misalnya, Sweta harus berkeliling hingga ke Jogja dan Sumenep. Di sana dia
bertemu dan berbicara dengan para penempa keris untuk memahami filosofinya.
Sebab, komik tersebut menceritakan kisah perebutan keris dengan latar belakang
kerajaan Jawa.

Sama halnya saat Sweta
menggarap series komik Walisongo Chronicles. Dia harus berbicara dengan banyak
ahli sejarah dari Nahdlatul Ulama (NU) untuk memastikan tidak ada hal yang
keliru dalam penokohan maupun setting kultur sosial.
“Kita sowan
ke kiai biar aman,” ungkapnya.

Semua kebutuhan riset
dan observasi yang memakan waktu, tenaga, dan ongkos harus dipenuhi secara
pribadi. Maklum, di Indonesia, pemerintah hanya memfasilitasi bantuan riset
untuk kepentingan akademik. ”Berbeda dengan di Belanda,” ucapnya.

Baca Juga :  Penjual VCD Film Kartun Diminati, Penjual Batu Akik Bikin Terobosan

Hal itu pulalah yang
membuat banyak komikus pemula ragu untuk masuk ke konten budaya. Khawatir tak
mendapat imbal hasil yang setara. Alhasil, tidak sedikit yang mengambil jalan
sebagai komikus drama atau romantis yang relatif minim riset. ”Di Indonesia,
orang kreatif biasanya berkarya dengan perut lapar. Berkreasi untuk survive,”
tuturnya.

 

Sadar cita-cita besar
sulit diwujudkan sendiri, Sweta lantas membangun Padepokan Ragasukma pada 2013.
Bersama kolega satu visinya, Alex Irzaqi. Padepokan tersebut mewadahi para
komikus yang punya semangat sama untuk menggairahkan komik bergenre budaya Nusantara.
Lebih khususnya pendekar. Misinya sama, memperkuat komik dalam negeri yang
mulai menggeliat di pasaran.
“Kami
khawatir
pasar komik balik lagi ke komik terjemahan,” kata dia.

Pendekar, kata Sweta,
merupakan salah satu aset budaya dan sejarah yang dimiliki Indonesia. Posisinya
mirip dengan Samurai X di Jepang atau superhero di Amerika Serikat. Namun,
kisah-kisah para pendekar kurang dikapitalisasi. Berbeda dengan Samurai X dan
superhero yang bisa dikenal secara internasional.

Saat ini sudah ada 11
komikus yang bergabung dalam wadah tersebut. Mereka saling belajar, bertukar
pikiran dan ide. Tidak jarang, produksi dilakukan secara bersama atau
kolaborasi. Sejauh ini cukup banyak judul yang berhasil diterbitkan. Antara
lain, Asasta, Murka Api, Madasastra, Banaspati, Gerbang Surga, Guardians o
f Majapahit,
Tiger of Cilengkrang, Wijaya Kusuma, dan masih banyak lainnya.

Agar cakupannya lebih
luas, Ragasukma juga melakukan digitalisasi. Saat ini karya tim Ragasukma bisa
diakses di berbagai platform. Mulai website, webtone, aplikasi, hingga kanal
YouTube yang disesuaikan kontennya. Baik yang gratis maupun berbayar.

Sweta menuturkan, perluasan platform tidak
semata-mata untuk tujuan ekonomi. Namun, yang tak kalah penting juga demi
memperkuat pengenalan di masyarakat. Harapannya, dengan dikenal dan disukai,
akan muncul ketertarikan pada komik. Cara tersebut menjadi salah satu strategi
Ragasukma untuk melahirkan komikus-komikus muda. Sehingga tradisi melahirkan
komik budaya Nusantara tidak hilang.
“Minimal ada orang terinspirasi. Kalau suka, kan
ada ketertarikan. Gampang bikin pintu berikutnya,
” tutupnya.

Menurunnya
produktivitas komik bernuansa budaya Nusantara memantik keresahan Sweta
Kartika. Dia lantas mendirikan Padepokan Ragasukma untuk mewadahi para pembuat
komik Nusantara.

 

FOLLY
AKBAR,

Jakarta

 

BUAH jatuh tak
jauh dari pohonnya. Pepatah tersebut sangat layak disematkan kepada Sweta
Kartika. Seorang komikus kelahiran Kebumen yang konsisten dengan karya-karya komik
bernapas budaya Nusantara.

Sosok Sweta bak wujud
perpaduan yang sempurna dari jiwa orang tuanya. Ibunya gemar membaca komik.
Ayahnya adalah orang yang gemar berseni-budaya. Keroncong, gamelan, wayang,
hingga melukis. Perpaduan dua aliran itu sangat akrab sejak Sweta kecil. Pada
akhirnya, titisan darah orang tuanya itu mengantarkan Sweta menemukan jati
dirinya sebagai komikus Nusantara. ”Dari situ saya akhirnya membuat komik yang
mengambil unsur budaya lokal,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Komik sudah menjadi
bagian dari hidup Sweta. Sejak kecil dia sering disodori berbagai judul komik
bacaan ibunya. Umumnya yang bertema pendekar. Kebetulan, pamannya bekerja
sebagai penjaga lapak penyewaan komik. Hari-hari Sweta kecil sering diisi
dengan membaca komik.

Hobi itu bertautan
dengan bakat seni yang mengalir dari ayahnya. Sweta berbakat menggambar sejak
balita. Bahkan,
pada usia 3 tahun dia pernah memenangi perlombaan
menggambar
, melawan anak-anak lain yang berusia di
atasnya.
“Saya menang gara-gara yang lain menggambar
pemandangan gunung dua berjejer. Saya gambar kura-kura ninja,” ujarnya
mengenang masa kecilnya.

Sweta terus menekuni
passion-nya. Saat masa kuliah tiba, dia mengambil S-1 dan S-2 di Jurusan Desain
Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung. Saat itulah dia bertemu dengan
Prof Primadi Tabrani, guru sekaligus rekan diskusi yang memantapkan jalannya
menjadi komikus yang memasukkan unsur keindonesiaan dalam setiap karya
komiknya.
“Bahkan dari yang paling remeh seperti sekadar
menamai karakter budaya. Jadi, ada makna di baliknya,” tuturnya.

Kini Sweta dikenal
piawai memasukkan unsur lokal dalam komiknya. Salah satu karya yang bikin geger
para pencinta komik berjudul Nusantararanger. Dalam komik yang digarap bersama
sejumlah koleganya itu, dia menampilkan kesatria dengan ciri khas Nusantara.

Tokoh Kesatria Nusa
Merah dari Jawa memiliki kekuatan elang Jawa. Nusa Kuning dengan kekuatan
harimau Sumatera. Nusa Hitam dari Sulawesi punya kekuatan anoa. Nusa Hijau dari
Kalimantan memiliki kekuatan roh orang utan. Serta Nusa Biru dari Papua yang
punya kekuatan hiu gergaji.

Baca Juga :  Perkuat Mitigasi, Minta Kejujuran Klien

Pun sama booming-nya
saat komik berjudul Pusaka Dewa yang disebut-sebut sebagai Game of Thrones
versi Jawa diterbitkan beberapa tahun lalu. Salah satu karya terbarunya, Garuda
Eleven, memiliki semangat yang sama. Kisah Sekolah Sepak Bola (SSB) Praja
Garuda Kencana yang berisi para pemain bola dari berbagai daerah. Lengkap
dengan berbagai karakteristik fisik, permainan, dan posisi pemain yang sesuai
dengan karakter asli daerah Indonesia.

Hingga kini sudah ada
puluhan karya komik yang digarap secara khas Nusantara. Baik bertema action,
romanti
k, sejarah, maupun komik horor yang semuanya memasukkan
unsur keindonesiaan.

Selain dipengaruhi
kehidupan masa kecil, tekadnya membuat komik Nusantara juga datang dari
kegelisahannya. Komik-komik dengan ciri khas budaya Nusantara yang banyak
terbit pada tahun ’80-’90-an dirasa mulai kendur. Di sisi lain, arus masuk
komik terjemahan mengalir deras. Terlebih dari Jepang. Misalnya, One Piece dan
Naruto yang juga membawa budaya setempat. Karena itu, sosok yang kini menetap
di Bandung tersebut berupaya mengisi kekosongan itu.
“Mata rantai
bisa putus kalau enggak disambung,” tuturnya.

Membuat komik dengan
nuansa budaya Nusantara tidak sederhana. Sweta membutuhkan riset di tengah
minimnya literatur yang tersedia. Tak jarang, dia harus melakukan observasi
lapangan hingga mewawancarai para tokoh budaya. Hal itu diperlukan untuk
memastikan budaya Nusantara yang diadopsi dalam komik tidak menyimpang.

Dalam komik Pusaka Dewa
misalnya, Sweta harus berkeliling hingga ke Jogja dan Sumenep. Di sana dia
bertemu dan berbicara dengan para penempa keris untuk memahami filosofinya.
Sebab, komik tersebut menceritakan kisah perebutan keris dengan latar belakang
kerajaan Jawa.

Sama halnya saat Sweta
menggarap series komik Walisongo Chronicles. Dia harus berbicara dengan banyak
ahli sejarah dari Nahdlatul Ulama (NU) untuk memastikan tidak ada hal yang
keliru dalam penokohan maupun setting kultur sosial.
“Kita sowan
ke kiai biar aman,” ungkapnya.

Semua kebutuhan riset
dan observasi yang memakan waktu, tenaga, dan ongkos harus dipenuhi secara
pribadi. Maklum, di Indonesia, pemerintah hanya memfasilitasi bantuan riset
untuk kepentingan akademik. ”Berbeda dengan di Belanda,” ucapnya.

Baca Juga :  Penjual VCD Film Kartun Diminati, Penjual Batu Akik Bikin Terobosan

Hal itu pulalah yang
membuat banyak komikus pemula ragu untuk masuk ke konten budaya. Khawatir tak
mendapat imbal hasil yang setara. Alhasil, tidak sedikit yang mengambil jalan
sebagai komikus drama atau romantis yang relatif minim riset. ”Di Indonesia,
orang kreatif biasanya berkarya dengan perut lapar. Berkreasi untuk survive,”
tuturnya.

 

Sadar cita-cita besar
sulit diwujudkan sendiri, Sweta lantas membangun Padepokan Ragasukma pada 2013.
Bersama kolega satu visinya, Alex Irzaqi. Padepokan tersebut mewadahi para
komikus yang punya semangat sama untuk menggairahkan komik bergenre budaya Nusantara.
Lebih khususnya pendekar. Misinya sama, memperkuat komik dalam negeri yang
mulai menggeliat di pasaran.
“Kami
khawatir
pasar komik balik lagi ke komik terjemahan,” kata dia.

Pendekar, kata Sweta,
merupakan salah satu aset budaya dan sejarah yang dimiliki Indonesia. Posisinya
mirip dengan Samurai X di Jepang atau superhero di Amerika Serikat. Namun,
kisah-kisah para pendekar kurang dikapitalisasi. Berbeda dengan Samurai X dan
superhero yang bisa dikenal secara internasional.

Saat ini sudah ada 11
komikus yang bergabung dalam wadah tersebut. Mereka saling belajar, bertukar
pikiran dan ide. Tidak jarang, produksi dilakukan secara bersama atau
kolaborasi. Sejauh ini cukup banyak judul yang berhasil diterbitkan. Antara
lain, Asasta, Murka Api, Madasastra, Banaspati, Gerbang Surga, Guardians o
f Majapahit,
Tiger of Cilengkrang, Wijaya Kusuma, dan masih banyak lainnya.

Agar cakupannya lebih
luas, Ragasukma juga melakukan digitalisasi. Saat ini karya tim Ragasukma bisa
diakses di berbagai platform. Mulai website, webtone, aplikasi, hingga kanal
YouTube yang disesuaikan kontennya. Baik yang gratis maupun berbayar.

Sweta menuturkan, perluasan platform tidak
semata-mata untuk tujuan ekonomi. Namun, yang tak kalah penting juga demi
memperkuat pengenalan di masyarakat. Harapannya, dengan dikenal dan disukai,
akan muncul ketertarikan pada komik. Cara tersebut menjadi salah satu strategi
Ragasukma untuk melahirkan komikus-komikus muda. Sehingga tradisi melahirkan
komik budaya Nusantara tidak hilang.
“Minimal ada orang terinspirasi. Kalau suka, kan
ada ketertarikan. Gampang bikin pintu berikutnya,
” tutupnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru