25.2 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Cerita Perempuan Tangguh dari Sisi Maskulin

Sudah delapan tahun
Hera Rosmiati ikut mendesain, merakit, dan menguji sejumlah produk PT Pindad.
”Bekerja membuat senjata bukan sesuatu yang mustahil bagi perempuan,” katanya.

SAHRUL YUNIZARBandung, Jawa Pos

—

PANAS begitu menyengat. Di sekeliling
perempuan itu. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi siang itu tak pernah lepas
dari ingatan Hera Rosmiati.

Saat dia harus
menapaki medan yang terik. Dan, ada beragam jenis senjata di sekelilingnya.

”Saya harus bawa-bawa
senjata, menyiapkan senjata, dan itu perempuannya cuma dua orang di lapangan,”
kenangnya.

Siang pada 2012 di
Baturaja, Lampung, itulah untuk kali pertama Hera ikut pengujian senjata yang
diadakan oleh PT Pindad, tempatnya bekerja sejak setahun sebelumnya, bareng
dengan PT Dirgantara Indonesia. Sempat ragu, Hera mau tidak mau akhirnya harus
ikut ke tempat pengujian tersebut.

Sebagai angkatan
pertama yang diterima setelah bertahun-tahun Pindad melakukan moratorium
penerimaan pegawai baru, Hera sering kali mendapat masukan dari para senior.
Termasuk soal pengujian. Bahwa engineer tidak cukup hanya bisa
membuat. Lebih dari itu, dia harus tahu betul performa senjata buatannya ketika
dipakai.

”Sehingga user benar-benar
maksimal saat menggunakan senjata tersebut,” tutur Hera, mengutip nasihat para
senior.

Tepat di Hari Ibu hari
ini, Hera adalah salah satu pengingat bagaimana stigma bisa ditendang
jauh-jauh. Stigma yang bekerja diam-diam, memenuhi kepala orang dengan ide
diskriminatif: bahwa suatu bidang pekerjaan tertentu ”sangat maskulin” atau
hanya cocok untuk laki-laki.

Sudah delapan tahun
Hera menjadi bagian penting dari Divisi Senjata Pindad. Berkutat dengan urusan
produksi senjata. Mengujinya bersama para personel TNI dan Polri. Bahkan, di
masa-masa awal bekerja, dia harus berhadapan dengan tungku pengolahan baja
setiap hari.

Baca Juga :  Resmikan PTSP, Diskusi, dan Pasar Murah

Tangan dingin ibu satu
anak itu turut berada di balik pembuatan Senapan Serbu 2 alias SS2, salah satu
produk unggulan Pindad. Selain SS2 yang merupakan pengembangan SS1, ada SS3,
SPR-2, dan G2.

”Yang ini SS2 customized,”
kata perempuan 32 tahun itu sambil menunjukkan kepada Jawa Pos SS2
bercorak mencolok, agak kecokelatan, di ruang display PT Pindad, Bandung, Jawa
Barat.

Dia menjelaskan,
senapan tersebut sudah disesuaikan dengan keinginan user. Karena
itu, warnanya tidak hitam serupa SS2 yang belum di-customize.

Produsen senjata seperti
Pindad memang harus banyak mendengar. Khususnya dari konsumen yang memakai
produknya. Walau sudah punya pakem untuk setiap senjata, mereka tidak boleh
kaku. ”Harus mau menerima masukan apabila user menginginkan
penyesuaian,” terang dia.

Setelah menuntaskan
studi di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), Hera memang langsung
mengarahkan pandangan ke perusahaan BUMN. Nasib kemudian membawa dia ke Pindad.

Sebelum pindah ke
posisi sekarang, Hera pernah ditempatkan di bagian SHT atau surface and
heat treatment
. ”Di situ adalah divisi produksi banget, yang kerjaannya
pelapisan, pengecatan, dan pengolahan panas,” kata dia.

Kini Hera lebih banyak
bergelut dengan pemilihan material dan proses. Menerjemahkan produk-produk baru
Pindad supaya bisa diproduksi secara masal. ”Bisa dibikin, bisa diproses, bisa
dimanufaktur,” ujar perempuan kelahiran Maret 1987 itu.

Memang dia tidak ikut
merakit setiap senjata yang dibuat Pindad. Namun, Hera tetap harus punya
kemampuan merakit. Bahkan, dia juga harus bisa menembakkan senjata yang dibuat.

Dari ruang display,
tempat uji tembak senjata Pindad tidak jauh. Di sela-sela perbincangan dengan
Hera dan tim produksi Pindad lainnya Rabu siang lalu itu, desing peluru
beberapa kali terdengar.

Baca Juga :  Kisah Pedagang Pasar Kahayan, 11 Tahun Jualan, Baru Sekarang Lapak Kebanjiran

Di tempat itu pula
Hera pernah menjajal SPR-2, senjata dengan kaliber besar 12,7 mm. ”Saya harus
tahu ketika ditembakkan seperti apa,” imbuhnya.

Pengalaman menguji
coba SPR-2 sebelum dipakai prajurit TNI adalah salah satu momen berkesan bagi
Hera. Sebab, SPR-2 merupakan senjata kaliber besar yang pertama dia buat.

”Biasanya saya di 5,56
mm dan 9 mm,” ungkap dia. ”Dan saya nyobain nembak pada saat awal untuk pertama
kali,” tambahnya.

Ada lima perempuan
dari sekitar 45 staf di divisi tempatnya bekerja sekarang. Menurut Hera,
bekerja membuat senjata bukan hal yang mustahil bagi perempuan.

Dia sudah membuktikan
itu. Meski kebanyakan perempuan yang masuk Pindad ditempatkan di balik meja
kerja, Hera tidak merasa canggung saat harus turun ke tempat produksi. Mendesain
senjata, merakit, menjajal, sampai ikut uji di lapangan bersama user. Tentu ada
yang pernah meragukan kemampuannya saat pertama masuk divisi senjata. Maklum,
yang dia masuki dunia yang dicitrakan sangat maskulin.

Aktivis kesetaraan
gender Kalis Mardiasih dalam kolomnya di Jawa Pos (21/12)
mengaku juga pernah secara tak sadar sangat diskriminatif kepada perempuan.
Saat menyusun undangan untuk kalangan penerbit dan media, nama-nama yang dia
tulis semuanya laki-laki.

Demikianlah stigma
bekerja. Namun, keyakinan dan tekad kuat Hera untuk terus bekerja dan belajar
membawa dirinya sampai di posisi saat ini. Menjadi salah seorang yang
diandalkan oleh Pindad. Membuat senjata kelas atas yang mampu bersaing, bahkan
melampaui kualitas senjata buatan produsen di negara lain.(jpc)

 

Sudah delapan tahun
Hera Rosmiati ikut mendesain, merakit, dan menguji sejumlah produk PT Pindad.
”Bekerja membuat senjata bukan sesuatu yang mustahil bagi perempuan,” katanya.

SAHRUL YUNIZARBandung, Jawa Pos

—

PANAS begitu menyengat. Di sekeliling
perempuan itu. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi siang itu tak pernah lepas
dari ingatan Hera Rosmiati.

Saat dia harus
menapaki medan yang terik. Dan, ada beragam jenis senjata di sekelilingnya.

”Saya harus bawa-bawa
senjata, menyiapkan senjata, dan itu perempuannya cuma dua orang di lapangan,”
kenangnya.

Siang pada 2012 di
Baturaja, Lampung, itulah untuk kali pertama Hera ikut pengujian senjata yang
diadakan oleh PT Pindad, tempatnya bekerja sejak setahun sebelumnya, bareng
dengan PT Dirgantara Indonesia. Sempat ragu, Hera mau tidak mau akhirnya harus
ikut ke tempat pengujian tersebut.

Sebagai angkatan
pertama yang diterima setelah bertahun-tahun Pindad melakukan moratorium
penerimaan pegawai baru, Hera sering kali mendapat masukan dari para senior.
Termasuk soal pengujian. Bahwa engineer tidak cukup hanya bisa
membuat. Lebih dari itu, dia harus tahu betul performa senjata buatannya ketika
dipakai.

”Sehingga user benar-benar
maksimal saat menggunakan senjata tersebut,” tutur Hera, mengutip nasihat para
senior.

Tepat di Hari Ibu hari
ini, Hera adalah salah satu pengingat bagaimana stigma bisa ditendang
jauh-jauh. Stigma yang bekerja diam-diam, memenuhi kepala orang dengan ide
diskriminatif: bahwa suatu bidang pekerjaan tertentu ”sangat maskulin” atau
hanya cocok untuk laki-laki.

Sudah delapan tahun
Hera menjadi bagian penting dari Divisi Senjata Pindad. Berkutat dengan urusan
produksi senjata. Mengujinya bersama para personel TNI dan Polri. Bahkan, di
masa-masa awal bekerja, dia harus berhadapan dengan tungku pengolahan baja
setiap hari.

Baca Juga :  Resmikan PTSP, Diskusi, dan Pasar Murah

Tangan dingin ibu satu
anak itu turut berada di balik pembuatan Senapan Serbu 2 alias SS2, salah satu
produk unggulan Pindad. Selain SS2 yang merupakan pengembangan SS1, ada SS3,
SPR-2, dan G2.

”Yang ini SS2 customized,”
kata perempuan 32 tahun itu sambil menunjukkan kepada Jawa Pos SS2
bercorak mencolok, agak kecokelatan, di ruang display PT Pindad, Bandung, Jawa
Barat.

Dia menjelaskan,
senapan tersebut sudah disesuaikan dengan keinginan user. Karena
itu, warnanya tidak hitam serupa SS2 yang belum di-customize.

Produsen senjata seperti
Pindad memang harus banyak mendengar. Khususnya dari konsumen yang memakai
produknya. Walau sudah punya pakem untuk setiap senjata, mereka tidak boleh
kaku. ”Harus mau menerima masukan apabila user menginginkan
penyesuaian,” terang dia.

Setelah menuntaskan
studi di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), Hera memang langsung
mengarahkan pandangan ke perusahaan BUMN. Nasib kemudian membawa dia ke Pindad.

Sebelum pindah ke
posisi sekarang, Hera pernah ditempatkan di bagian SHT atau surface and
heat treatment
. ”Di situ adalah divisi produksi banget, yang kerjaannya
pelapisan, pengecatan, dan pengolahan panas,” kata dia.

Kini Hera lebih banyak
bergelut dengan pemilihan material dan proses. Menerjemahkan produk-produk baru
Pindad supaya bisa diproduksi secara masal. ”Bisa dibikin, bisa diproses, bisa
dimanufaktur,” ujar perempuan kelahiran Maret 1987 itu.

Memang dia tidak ikut
merakit setiap senjata yang dibuat Pindad. Namun, Hera tetap harus punya
kemampuan merakit. Bahkan, dia juga harus bisa menembakkan senjata yang dibuat.

Dari ruang display,
tempat uji tembak senjata Pindad tidak jauh. Di sela-sela perbincangan dengan
Hera dan tim produksi Pindad lainnya Rabu siang lalu itu, desing peluru
beberapa kali terdengar.

Baca Juga :  Kisah Pedagang Pasar Kahayan, 11 Tahun Jualan, Baru Sekarang Lapak Kebanjiran

Di tempat itu pula
Hera pernah menjajal SPR-2, senjata dengan kaliber besar 12,7 mm. ”Saya harus
tahu ketika ditembakkan seperti apa,” imbuhnya.

Pengalaman menguji
coba SPR-2 sebelum dipakai prajurit TNI adalah salah satu momen berkesan bagi
Hera. Sebab, SPR-2 merupakan senjata kaliber besar yang pertama dia buat.

”Biasanya saya di 5,56
mm dan 9 mm,” ungkap dia. ”Dan saya nyobain nembak pada saat awal untuk pertama
kali,” tambahnya.

Ada lima perempuan
dari sekitar 45 staf di divisi tempatnya bekerja sekarang. Menurut Hera,
bekerja membuat senjata bukan hal yang mustahil bagi perempuan.

Dia sudah membuktikan
itu. Meski kebanyakan perempuan yang masuk Pindad ditempatkan di balik meja
kerja, Hera tidak merasa canggung saat harus turun ke tempat produksi. Mendesain
senjata, merakit, menjajal, sampai ikut uji di lapangan bersama user. Tentu ada
yang pernah meragukan kemampuannya saat pertama masuk divisi senjata. Maklum,
yang dia masuki dunia yang dicitrakan sangat maskulin.

Aktivis kesetaraan
gender Kalis Mardiasih dalam kolomnya di Jawa Pos (21/12)
mengaku juga pernah secara tak sadar sangat diskriminatif kepada perempuan.
Saat menyusun undangan untuk kalangan penerbit dan media, nama-nama yang dia
tulis semuanya laki-laki.

Demikianlah stigma
bekerja. Namun, keyakinan dan tekad kuat Hera untuk terus bekerja dan belajar
membawa dirinya sampai di posisi saat ini. Menjadi salah seorang yang
diandalkan oleh Pindad. Membuat senjata kelas atas yang mampu bersaing, bahkan
melampaui kualitas senjata buatan produsen di negara lain.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru