PADA detik-detik itu, sempat terlintas, barangkali inilah akhir perjalanan hidup Argo Semeru berangkat dari Stasiun Jogjakarta pukul 12.56. Seingat saya, seluruh kursi di gerbong eksekutif 4 penuh. Saya pilih kursi single nomor 1C eksekutif 4 yang letaknya berseberangan dengan pintu penghubung antargerbong.
Di depan tempat duduk saya cukup longgar dan membuat kaki saya leluasa.
Memasuki Kalimenur, Sentolo, Kulon Progo, Jogjakarta, sekitar pukul 13.15, yang tak terbayangkan itu terjadi. Setelah bunyi kreeekk keras, gerbong saya berjalan ke kiri. Saat itu, saya sudah tahu kalau kereta keluar dari rel. Suara gesekan besi dan batu-batu rel terdengar. Belakangan saya tahu bahwa kecepatan kereta sekitar 120 km/jam.
Koper-koper dari sisi kanan berjatuhan. Dua ibu-ibu di kursi samping saya, nomor 1A dan 1B, tertimpa koper.
Ibu yang duduk di nomor 1B malah sampai terpelanting hingga tersungkur di depan ibu yang duduk di 1A. Sementara saya mempertahankan diri agar tidak tersungkur. Selain berpegangan, saya tekankan kaki di lantai kuat-kuat. Saya tidak melindungi kepala karena saya hanya meletakkan tas ransel dan 10 kardus bakpia di tempat meletakkan barang di atasnya.
Dalam waktu singkat, saya juga melihat penumpang berbaju kuning yang masuk kembali ke gerbong eksekutif 4. Sepertinya dia dari kamar kecil. Ketika masuk, dia tidak bisa berdiri tegak dan membuatnya jatuh ke arah ibu 1B. Memang kereta eksekutif 4 miring ke kiri, sekitar 45 derajat.
Saya pastikan tak ada gerakan lagi di kereta ketika saya berniat membantu dua orang yang kesusahan berdiri di samping saya. Di saat yang bersamaan, suara laki-laki di belakang saya meminta seluruh penumpang untuk tarik napas.
Namun, suara itu cepat hilang. Saya sudah berdiri dan berusaha menolong ibu 1B. Namun, dari sudut mata kiri saya, laki-laki baju kuning yang jaraknya kurang lebih 1 meter di kanan saya dan satu laki-laki lainnya menunjuk arah depan dan berlari ke pintu keluar.
Insting saya menyatakan saya harus kembali ke kursi. Belum sepenuhnya tubuh kembali ke kursi, suara klakson kereta diikuti dentuman besi bertemu besi terdengar. Kereta kembali berguncang. Debu-debu masuk dan memenuhi gerbong.
Saya lihat dari kaca di pintu dan jendela kalau ada kereta yang berlawanan menabrak gerbong ini. Yang saya lakukan adalah sembunyi di depan kursi. Jongkok. Berusaha merapatkan tubuh ke dinding sisi kanan. Pada detik-detik inilah sempat terlintas inilah akhir perjalanan hidup.
Setelah kereta yang menabrak berhenti dan debu-debu mulai menipis, beberapa penumpang berdiri. Tapi, ibu yang tersungkur masih belum. Sementara yang duduk di 1A terlihat menyorongkan tubuh ke kanan.
Laki-laki di belakang saya, yang belakangan saya tahu bernama Alex, kembali meminta kami untuk menarik napas. Saya bantu ibu 1B untuk berdiri. Saya ambil tas ransel abu-abu milik saya dan meletakkannya di kursi. Membetulkan letak koper agar ibu 1A bisa pindah. Penumpang lain berusaha untuk membuka pintu keluar. Macet.
Penumpang saya arahkan keluar dari pintu belakang dengan membawa barang yang bisa dibawa saja. Dibantu dengan Pak Alex. Tapi, ada penumpang di pintu depan yang berada di dekat saya dengan suara lantang bilang, ”depan bisa.”
Sontak saya dan beberapa penumpang yang sudah berjalan ke arah belakang kembali ke depan. Ibu 1A dan 1B di depan saya. Namun, mereka kesusahan turun karena kereta yang miring ke kiri menyebabkan pintu sebelah kanan lebih tinggi. Saya tawarkan untuk turun dulu agar bisa membantu mereka turun.
Sejam setelahnya, PT KAI menyediakan kereta bandara untuk mengangkut penumpang korban Argo Semeru ke Stasiun Wates. Kami kemudian diminta ganti kereta.
Satpam hilir mudik membawa barang-barang kami dari kereta Argo Semeru. Termasuk 10 kardus bakpia milik saya.
Karena resto kereta belum siap, akhirnya 10 bungkus bakpia itu kami makan bersama. Ada juga yang membagikan enting-enting, biskuit, dan makanan yang mungkin dipersiapkan pula buat bekal atau oleh-oleh. Meriah! (*)
*FERLYNDA PUTRI, Wartawan Jawa Pos, salah seorang penumpang Argo Semeru yang mengalami kecelakaan tersebut.