Di jantung Kota Bukittinggi, berdiri anggun sebuah menara waktu yang tak hanya menjadi penunjuk jam, tapi juga penanda jiwa: Jam Gadang.
Shyntia Aprizani — Bukittinggi
SEBUAH mahakarya arsitektur kolonial yang sejak lama telah menjadi denyut nadi Sumatera Barat. Di tengah riuhnya kehidupan kota, di antara hiruk-pikuk pasar dan lantunan budaya Minangkabau yang mengalun tak henti, Jam Gadang tetap tegak berdiri—gagah, megah, dan tak tergoyahkan oleh zaman.
Tahun ini, ada yang berbeda. Ada bisik-bisik dari sosial media, ada desas-desus yang mengalir cepat ke telinga para perantau—bahwa Jam Gadang dicat baru.
Dan bukan sembarang cat. Lapisan warnanya kini tampak lebih cerah, lebih segar. Seolah ada tangan seni yang dengan lembut mengusap masa lalu dan meniupkan napas baru ke wajah tua yang penuh cerita.
Tapi tenang saja. Meskipun tampil lebih modern, Jam Gadang tetap mempertahankan napas sejarahnya. Ia bukan berubah, tapi berkembang.
Ia bukan berganti wajah, tapi mempercantik diri. Perpaduan sempurna antara estetika masa kini dan nilai-nilai masa silam yang dijaga sepenuh hati.
Getaran Nostalgia Para Perantau
Olyanti, seorang perantau asal Pasir Pengarayan, tak mampu menahan rindu. Ia sudah lama melihat unggahan-unggahan tentang perubahan Jam Gadang lewat layar ponselnya.
Tapi layar tak pernah bisa menyamai nyata. Maka ia pulang. Ia dan keluarganya datang berbondong-bondong ke Bukittinggi, membawa rindu yang telah lama menggumpal.
“Kami ingin merasakan kembali getaran nostalgia dan kebanggaan melihat Jam Gadang yang kini semakin anggun. Ini bukan sekadar tempat wisata. Ini rumah bagi kenangan,” ujarnya dengan mata berkaca.
Tak lama, ratusan kamera diangkat. Jepretan demi jepretan mengabadikan momen, wajah-wajah bahagia di bawah bayang-bayang menara. Selfie, wefie, candid—semuanya berlatar Jam Gadang yang kini tampak segar dan memukau.
Yuni Sharawati, perantau lainnya dari Pekanbaru, turut berdecak kagum. Ia melihat bukan hanya jam yang berubah, tapi lingkungan sekitarnya juga.
Dulu pohon-pohon rindang, sekarang tertata menjadi taman yang rapi. Sentuhan modern menyatu dengan kerinduan akan suasana dulu. Dan itu bukan penghilangan, tapi transformasi.
Namun pesona Jam Gadang bukan hanya soal menaranya. Sekelilingnya hidup, ramai, dan penuh warna. Pedagang kaki lima menjajakan kuliner khas Minang yang menggoda: sate Padang, lemang yang masih mengepul, hingga rendang yang harum menggoda. Aroma-aroma ini menyatu dalam udara sore Bukittinggi, membawa pulang siapa pun ke masa kecilnya.
Anak-anak berlarian di alun-alun. Bola menggelinding, tawa pecah, dan obrolan para perantau terdengar di sana-sini—tentang masa lalu, tentang kampung halaman, tentang perubahan yang mereka syukuri.
Kini, Jam Gadang bukan hanya tempat berswafoto atau pelengkap itinerary liburan. Ia adalah pengikat hati, titik temu antara masa lalu dan masa kini. Ia menjadi pengingat bahwa Bukittinggi bukan hanya kota, tapi juga rumah—bagi mereka yang pernah tinggal, dan mereka yang selalu kembali.
Dan di tengah cahaya senja yang menyapu lembut wajah menara, ada bisikan dari tanah Minang yang abad;“Kami masih di sini. Kami tetap menjaga. Dan kami bangga akan warisan ini.” (jpg)