31.2 C
Jakarta
Monday, October 14, 2024

Endus Ketidakberesan TWK sejak Jauh Hari

Berkuliah S-2 di Swedia sejak tahun lalu, permintaan Lakso Anindito mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK) secara daring ditolak Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dia termasuk salah satu pemohon gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

AGUS DWI PRASETYO, Jakarta, Jawa Pos

JIKA proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak memicu kontroversi, Lakso Anindito semestinya bisa berfokus pada studi S-2 di Lund University, Swedia. Jika 75 rekannya tidak dinonaktifkan pimpinan, dia pun semestinya bisa tenang pulang ke Indonesia pada 17 Juni nanti.

Namun, polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK telah menyedot perhatiannya. Di Swedia, Lakso, satu di antara tiga pegawai KPK yang belum menjalani tes tersebut, intensif meng-update perkembangan kontroversi tersebut melalui jaringan sosial jarak jauh.

Ditampungnya keluh kesah para pegawai tentang TWK sembari tetap berkuliah S-2.

”Teman-teman (di KPK, Red) bercerita tentang pertanyaan-pertanyaan aneh waktu TWK. Kebanyakan berseberangan dengan nilai-nilai di KPK,” kata penyidik KPK yang menempuh studi di Swedia sejak Agustus tahun lalu tersebut saat dihubungi Jawa Pos dari Jakarta pada Kamis (3/6).

Pertanyaan-pertanyaan aneh saat wawancara TWK itu mencuat ke publik sebelum Lebaran bulan lalu. Sejumlah pegawai mendapat pertanyaan konyol. Misalnya, kenapa belum menikah, salat Subuh pakai kunut atau tidak, hingga memilih Alquran atau Pancasila.

Ada pula yang mendapat pertanyaan mau menerima donor darah dari nonmuslim atau tidak. Bahkan, ada pegawai yang ditanyai tentang aksi demonstrasi menolak revisi UU KPK dan kontroversi Firli Bahuri menjadi calon pimpinan KPK pada 2019.

Polemik TWK itu sama sekali tidak digubris pimpinan KPK. Tepat pada 1 Juni lalu, Ketua KPK Firli Bahuri memimpin pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan 1.271 pegawai menjadi ASN. Mereka yang dilantik adalah para pegawai yang memenuhi syarat (MS) menjadi ASN.

Sementara itu, 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi ASN dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, 51 pegawai, mendapat label warna merah dan diberhentikan per 1 November mendatang. Sisanya, 24 pegawai, masih diberi kesempatan mendapat pembinaan ulang.

Baca Juga :  Menikmati Wisata Sei Gohong, Dekat dan Murah Tidak Murahan

Selama tugas belajar di Swedia, Lakso terus mengikuti perkembangan alih status kepegawaian tersebut. Bahkan, Lakso ikut andil dalam perjuangan menuntut keadilan untuk rekan-rekannya. Dia masuk dalam sembilan pemohon gugatan uji materi (judicial review) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

”Saya ikut mengajukan karena legal standing saya kuat sebagai pegawai KPK yang belum ikut TWK,” terangnya. Pemohon uji materi lainnya merupakan perwakilan 75 pegawai yang tidak lolos TWK. Yakni, Hotman Tambunan, Harun Al Rasyid, Rasamala Aritonang, Novariza, Faisal, Andre D. Nainggolan, Benydictus Siumala Martin, dan Tri Artining Putri.

Ada dua pasal di UU 19/2019 tentang KPK yang dimohonkan untuk diuji di MK. Keduanya adalah pasal 69B ayat (1) yang mengatur ketentuan alih status penyelidik dan penyidik KPK yang belum berstatus ASN dapat diangkat menjadi ASN. Serta, pasal 69C yang mengatur jangka proses peralihan alih status selama dua tahun sejak UU KPK mulai berlaku. Dua pasal itu diuji terhadap pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (2), dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Pengajuan gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada Jumat (2/6) pekan lalu. ”Jadi, meski di sini (Swedia), saya tetap ikut (berjuang bersama pegawai KPK yang lain),” ujar pria yang mendapat beasiswa dari pemerintah Swedia tersebut.

Meski sedang belajar di luar negeri, Lakso sejatinya mengendus aroma ketidakberesan TWK jauh-jauh hari. Ketika gagasan TWK menjadi syarat alih status kepegawaian, Lakso sempat mengirimkan e-mail kepada pegawai dan pimpinan. ”Waktu itu saya sampaikan bahwa TWK tidak boleh untuk asesmen karena bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945,” jelasnya.

Namun, argumen itu seolah tidak didengar pimpinan. TWK tetap dilaksanakan. Pada 5 April lalu, Lakso mendapat e-mail dari bagian sumber daya manusia (SDM) KPK. Isinya meminta Lakso ikut TWK pada 9 April. Karena sedang menempuh studi di Swedia, Lakso pun meminta mengikuti TWK secara dalam jaringan (daring). ”Tapi, entah kenapa waktu itu mintanya (TWK dilakukan secara) offline,” ungkapnya.

Baca Juga :  Coba Kalau Jalannya Mulus, Pasti Guru-Guru Rajin ke Sekolah

Lakso tidak mendapat konfirmasi tentang alasan TWK harus diadakan secara offline. Namun, dia mendengar dari bagian SDM KPK bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ngotot meminta tes secara offline. ”Dari SDM menyampaikan bahwa BKN nggak bisa (TWK online),” ujarnya.

Dari situ, Lakso makin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan TWK. Menurut dia, tes tersebut terkesan dipaksakan dan tidak akuntabel. ”Kalau mereka (BKN) firm, segala pertanyaan (TWK) itu seharusnya bisa saja dilakukan secara online,” tuturnya.

Lakso terus berupaya menyemangati teman-temannya di KPK, terutama 75 pegawai yang tidak lolos TWK. Dia selalu mengatakan kepada rekan-rekannya, terutama yang telah dilantik menjadi ASN, untuk menjaga soliditas. ”Teman-teman yang belum tes dan yang menjadi ASN juga ikut berjuang. Ini menunjukkan bahwa teman-teman di KPK concern menolak pemecatan (51) pegawai,” paparnya.

Sepulang dari Swedia 17 Juni nanti, rencananya Lakso menyusul ikut TWK. Meski begitu, dia merasa tidak khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan konyol yang sangat mungkin akan muncul dalam tes tersebut. ”Kalau sesuatu (dalam pertanyaan TWK nanti) harus ditolak, kenapa harus disetujui?” katanya.

Lakso tidak punya strategi khusus untuk menghadapi pewawancara TWK. Dia bakal mengalir menjawab setiap pertanyaan. ”Kalau mereka mengarahkan (pertanyaan) ke suatu hal, menurut saya, itu berbahaya,” ujar penyidik yang kerap menangani kasus korupsi korporasi tersebut.

Terakhir, dia berpesan kepada seluruh masyarakat untuk memberikan dukungan yang murni terhadap pemberantasan korupsi. Dia menekankan bahwa persoalan TWK dalam alih status kepegawaian itu adalah upaya sistematis untuk melemahkan pemberantasan korupsi. ”Jadi, TWK ini adalah bagian dari upaya sistematis itu,” tandasnya.

Berkuliah S-2 di Swedia sejak tahun lalu, permintaan Lakso Anindito mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK) secara daring ditolak Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dia termasuk salah satu pemohon gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

AGUS DWI PRASETYO, Jakarta, Jawa Pos

JIKA proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak memicu kontroversi, Lakso Anindito semestinya bisa berfokus pada studi S-2 di Lund University, Swedia. Jika 75 rekannya tidak dinonaktifkan pimpinan, dia pun semestinya bisa tenang pulang ke Indonesia pada 17 Juni nanti.

Namun, polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK telah menyedot perhatiannya. Di Swedia, Lakso, satu di antara tiga pegawai KPK yang belum menjalani tes tersebut, intensif meng-update perkembangan kontroversi tersebut melalui jaringan sosial jarak jauh.

Ditampungnya keluh kesah para pegawai tentang TWK sembari tetap berkuliah S-2.

”Teman-teman (di KPK, Red) bercerita tentang pertanyaan-pertanyaan aneh waktu TWK. Kebanyakan berseberangan dengan nilai-nilai di KPK,” kata penyidik KPK yang menempuh studi di Swedia sejak Agustus tahun lalu tersebut saat dihubungi Jawa Pos dari Jakarta pada Kamis (3/6).

Pertanyaan-pertanyaan aneh saat wawancara TWK itu mencuat ke publik sebelum Lebaran bulan lalu. Sejumlah pegawai mendapat pertanyaan konyol. Misalnya, kenapa belum menikah, salat Subuh pakai kunut atau tidak, hingga memilih Alquran atau Pancasila.

Ada pula yang mendapat pertanyaan mau menerima donor darah dari nonmuslim atau tidak. Bahkan, ada pegawai yang ditanyai tentang aksi demonstrasi menolak revisi UU KPK dan kontroversi Firli Bahuri menjadi calon pimpinan KPK pada 2019.

Polemik TWK itu sama sekali tidak digubris pimpinan KPK. Tepat pada 1 Juni lalu, Ketua KPK Firli Bahuri memimpin pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan 1.271 pegawai menjadi ASN. Mereka yang dilantik adalah para pegawai yang memenuhi syarat (MS) menjadi ASN.

Sementara itu, 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi ASN dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, 51 pegawai, mendapat label warna merah dan diberhentikan per 1 November mendatang. Sisanya, 24 pegawai, masih diberi kesempatan mendapat pembinaan ulang.

Baca Juga :  Menikmati Wisata Sei Gohong, Dekat dan Murah Tidak Murahan

Selama tugas belajar di Swedia, Lakso terus mengikuti perkembangan alih status kepegawaian tersebut. Bahkan, Lakso ikut andil dalam perjuangan menuntut keadilan untuk rekan-rekannya. Dia masuk dalam sembilan pemohon gugatan uji materi (judicial review) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

”Saya ikut mengajukan karena legal standing saya kuat sebagai pegawai KPK yang belum ikut TWK,” terangnya. Pemohon uji materi lainnya merupakan perwakilan 75 pegawai yang tidak lolos TWK. Yakni, Hotman Tambunan, Harun Al Rasyid, Rasamala Aritonang, Novariza, Faisal, Andre D. Nainggolan, Benydictus Siumala Martin, dan Tri Artining Putri.

Ada dua pasal di UU 19/2019 tentang KPK yang dimohonkan untuk diuji di MK. Keduanya adalah pasal 69B ayat (1) yang mengatur ketentuan alih status penyelidik dan penyidik KPK yang belum berstatus ASN dapat diangkat menjadi ASN. Serta, pasal 69C yang mengatur jangka proses peralihan alih status selama dua tahun sejak UU KPK mulai berlaku. Dua pasal itu diuji terhadap pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (2), dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Pengajuan gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada Jumat (2/6) pekan lalu. ”Jadi, meski di sini (Swedia), saya tetap ikut (berjuang bersama pegawai KPK yang lain),” ujar pria yang mendapat beasiswa dari pemerintah Swedia tersebut.

Meski sedang belajar di luar negeri, Lakso sejatinya mengendus aroma ketidakberesan TWK jauh-jauh hari. Ketika gagasan TWK menjadi syarat alih status kepegawaian, Lakso sempat mengirimkan e-mail kepada pegawai dan pimpinan. ”Waktu itu saya sampaikan bahwa TWK tidak boleh untuk asesmen karena bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945,” jelasnya.

Namun, argumen itu seolah tidak didengar pimpinan. TWK tetap dilaksanakan. Pada 5 April lalu, Lakso mendapat e-mail dari bagian sumber daya manusia (SDM) KPK. Isinya meminta Lakso ikut TWK pada 9 April. Karena sedang menempuh studi di Swedia, Lakso pun meminta mengikuti TWK secara dalam jaringan (daring). ”Tapi, entah kenapa waktu itu mintanya (TWK dilakukan secara) offline,” ungkapnya.

Baca Juga :  Coba Kalau Jalannya Mulus, Pasti Guru-Guru Rajin ke Sekolah

Lakso tidak mendapat konfirmasi tentang alasan TWK harus diadakan secara offline. Namun, dia mendengar dari bagian SDM KPK bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ngotot meminta tes secara offline. ”Dari SDM menyampaikan bahwa BKN nggak bisa (TWK online),” ujarnya.

Dari situ, Lakso makin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan TWK. Menurut dia, tes tersebut terkesan dipaksakan dan tidak akuntabel. ”Kalau mereka (BKN) firm, segala pertanyaan (TWK) itu seharusnya bisa saja dilakukan secara online,” tuturnya.

Lakso terus berupaya menyemangati teman-temannya di KPK, terutama 75 pegawai yang tidak lolos TWK. Dia selalu mengatakan kepada rekan-rekannya, terutama yang telah dilantik menjadi ASN, untuk menjaga soliditas. ”Teman-teman yang belum tes dan yang menjadi ASN juga ikut berjuang. Ini menunjukkan bahwa teman-teman di KPK concern menolak pemecatan (51) pegawai,” paparnya.

Sepulang dari Swedia 17 Juni nanti, rencananya Lakso menyusul ikut TWK. Meski begitu, dia merasa tidak khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan konyol yang sangat mungkin akan muncul dalam tes tersebut. ”Kalau sesuatu (dalam pertanyaan TWK nanti) harus ditolak, kenapa harus disetujui?” katanya.

Lakso tidak punya strategi khusus untuk menghadapi pewawancara TWK. Dia bakal mengalir menjawab setiap pertanyaan. ”Kalau mereka mengarahkan (pertanyaan) ke suatu hal, menurut saya, itu berbahaya,” ujar penyidik yang kerap menangani kasus korupsi korporasi tersebut.

Terakhir, dia berpesan kepada seluruh masyarakat untuk memberikan dukungan yang murni terhadap pemberantasan korupsi. Dia menekankan bahwa persoalan TWK dalam alih status kepegawaian itu adalah upaya sistematis untuk melemahkan pemberantasan korupsi. ”Jadi, TWK ini adalah bagian dari upaya sistematis itu,” tandasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru