Tidak punya uang pusing. Dapat uang Rp 2 triliun juga pusing.
Coba pikir, mau diapakan uang sebanyak itu.
Misalkan saya jadi Irjen Pol Eko Indra Heri, Kapolda Sumsel. Yang tiba-tiba mendapat sumbangan Rp 2 triliun itu. Saya akan pusing.
Saya memang menjadi sangat terkenal. Melebihi kapolri. Tapi saya juga bisa celaka. Celaka yang tidak membawa nikmat –tidak serupiah pun uang itu bisa saya ambil.
Pusing pertama: bagaimana saya harus menerima uang itu. Pasti tidak mungkin dalam bentuk uang kontan: rumah ''saya'' tidak akan cukup untuk gudang uang Rp 2 triliun.
Tidak mungkin pula ditransfer lewat rekening Polda Sumsel. Itu bukan uang Polri. Bukan pula uang negara.
Tapi juga tidak mungkin ditransfer ke rekening pribadi ''saya''. Nanti tercampur dengan uang pribadi. Tercampurnya tidak apa-apa. Tapi akan membuat publik tahu berapa uang pribadi saya.
Yang paling aman tentunya lewat rekening khusus. Rekening baru. Itu pun masih akan menyisakan pertanyaan: siapa yang akan membuka rekening itu. Atas nama siapa. Kalau rekening baru itu atas nama ''saya'' bisa bahaya. Kalau atas nama instansi tidak boleh.
Pusing. Pusing sekali.
Pun kalau uang Rp 2 triliun itu jadi benar-benar diterima. Yang mestinya Rabu kemarin –seperti dikatakan Prof Dr dr Hardi Darmawan, guru besar Universitas Sriwijaya, kepada saya (Disway 28 Juli 2021: Bantuan 2 T).
Akan saya apakan uang itu?
''Saya'' bingung. Untuk dibagi ke semua rumah sakit di seluruh Sumsel? Bagaimana cara membaginya?
Atau untuk membeli obat dan vaksin? Obat apa saja dan vaksin yang mana? Bukankah obat dan vaksin itu tanggung jawab pemerintah?
Atau diberikan kepada seluruh orang miskin di Sumsel? Sesuai dengan daftar orang miskin yang ada di pemerintah?
Atau pakai model Tung Dasem saja? Uang itu disebar pakai helikopter?
Orang juga ingin tahu: uang itu akan dihabiskan cepat atau pelan-pelan? Ataukah akan dijadikan dana abadi –bunganya saja yang dipakai Covid?
Kalau ingin dihabiskan, gampang: dua hari bisa habis. Padahal Covid ini mungkin masih ada 2 tahun lagi. Kalau pun dengan uang itu Covid di Sumsel bisa beres minggu depan belum juga aman. Kan masih akan ada gelombang baru yang datang dari Jawa, dari Lampung, Jambi, Bengkulu, dan dari mana saja.
Maka keluarga Akidi Tio harus bicara. Maunya bagaimana. Atau benar-benar terserah kapolda.
Menyumbang pun ternyata tidak mudah –justru karena jumlahnya yang begitu besar. Ada yang berpendapat itu sumbangan terbesar kedua di dunia. Setelah Bill Gates. Datuk Tahir –bos grup Mayapada– yang memosisikan diri sebagai filantropi terbesar di Indonesia pun menjadi bukan siapa-siapa lagi.
Tapi orang seperti Bill Gates tidak pusing. Juga tidak membuat orang lain pusing. Dana sumbangan Bill Gates itu masuk ke lembaga not for profit. Untuk diputar. Hasil perputaran itu yang dipakai untuk program sosial. Sumbangan Bill Gates sendiri tetap utuh, tidak habis, bahkan terus berkembang.
Dulu juga ada orang kaya Hong Kong yang iba. Terutama melihat banyaknya orang dari daratan Tiongkok yang cari selamat ke Hong Kong. Yakni di sekitar perang dunia ke-2. Mereka tidak punya tempat tinggal. Tidak bisa makan. Sumbangan tersebut menjadi dana abadi. Permukiman teratasi. Makan tertanggulangi. Dana sumbangan itu sendiri tidak habis. Bahkan sekarang sudah jauh lebih besar: menjadi sekitar USD 25 miliar.
Sayangnya tidak ada penjelasan rinci dari ahli waris Akidi Tio. Pokoknya: menyumbang kapolda Rp 2 triliun.
Saya tidak tahu apakah akan ada dokumen yang menyertai transfer dana itu. Yang jelas tidak ada dokumen apa pun yang ditandatangani Selasa lalu.
Hari itu, Selasa siang lalu, dikira hanya ada acara rutin di ruang rapat lantai 3 Polda Sumsel.
Wartawan tulis tidak boleh naik ke lantai 3. Hanya fotografer yang diizinkan. Wartawan menunggu di lantai bawah, menunggu para pejabat itu turun untuk diwawancarai secara door stop.
Saat para pejabat itu turun Kapolda memberikan keterangan pers: ia baru saja menerima sumbangan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio.
Saya pun mewawancarai fotografer harian Sumatera Ekspres, Evan Zurmali. Ia ada di ruang rapat lantai 3 itu. Saya meminjam mata Evan untuk menggambarkan acara hari itu.
Di depan sana duduk berderet gubernur Sumsel, kapolda, dan danrem. Di sisi kiri depan terlihat empat tokoh dari empat agama. Di deretan itu juga ada seorang wanita Tionghoa setengah baya.
Di meja sisi kanan duduk Prof Dr Hardi dan beberapa pejabat Polda.
Sebelum acara dimulai Evan sempat bertanya kepada pejabat yang ada di ruang itu: ini acara apa?
“Penyerahan bantuan dari keluarga Akidi," jawab pejabat itu.
"Berapa sumbangannya?" tanya Evan.
"Tidak tahu".
Pikir Evan, sumbangan itu pasti miliaran rupiah. Kok sampai dilakukan di depan pejabat tertinggi di Sumsel.
MC pun membuka acara "penyerahan bantuan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio". Lalu mempersilakan perwakilan keluarga Akidi memberi sambutan.
Prof Hardi pun berbicara. Ia tetap duduk di kursinya. Sudah ada mikrofon di situ. Prof Hardi berbicara selama lima menit. Ia menceritakan bahwa dirinya, keluarga Akidi, dan kapolda itu sudah lama bersahabat.
Prof Hardi tidak detail menceritakan seperti apa persahabatan lama itu. Lantas Prof Hardi mengatakan bahwa keluarga Akidi ingin menyumbang Rp 2 triliun.
MC pun lantas mempersilakan gubernur Sumsel untuk juga memberi sambutan. Tapi sang Gubernur nyeletuk: agar penyerahan sumbangannya yang didahulukan.
Maka MC pun memanggil keluarga Akidi maju ke depan. Kapolda mengajak Prof Hardi untuk ikut maju. Beliau tidak mau. "Cukup yang mewakili keluarga. Saya hanya menemani," katanya.
Siapa yang mewakili keluarga Akidi? Ternyata wanita Tionghoa yang duduk bersama para tokoh agama di sisi kiri itu tadi. Evan kaget. Lho ternyata dia yang keluarga Akidi. Menyumbang Rp 2 triliun hanya duduk di tempat seperti itu.
Sang wanita didampingi seorang laki-laki berbaju batik. Kepala laki-laki itu botak. Evan tidak tahu siapa bapak itu. Kok ia ikut memegang papan sumbangan. Yang jelas ia bukan suami wanita tadi. Sang suami tidak ikut di acara itu. Dari file foto yang dikirim ke saya, rambut sang suami tidak seperti itu.
Tokoh-tokoh agama tidak ikut berdiri di depan.
Seorang petugas Polda lantas menuju meja dekat MC. Ia mengambil papan kecil terbuat dari stereo form yang ada di meja itu.
Papan kecil itu diserahkan ke wanita tadi untuk diserahkan ke kapolda. Lalu foto bersama. Di papan yang dicat warna merah itulah tertulis: Sumbangan untuk penanggulangan Covid-19 dan Kesehatan di Palembang-Sumsel.
Tulisan itu berwarna kuning.
Lalu ada tulisan lagi di bawahnya. Berwarna putih: Dari ALM BPK AKIDI TIO DAN KELUARGA BESAR SEBESAR Rp 2 TRILIUN.
Di sebelah tulisan putih itu tertampang foto kecil Alm Akidi Tio. Sangat kecil. Pakai jas dan dasi. Ada bunga kecil di bagian dada.
Jelaslah, di samping untuk Covid, sumbangan itu juga untuk kesehatan. Atau sebenarnya terserah saja.
Setelah acara itu selesai mereka turun untuk bertemu wartawan di bawah. Tidak ada wartawan yang mewawancarai si wanita.
Saya akhirnya tahu nama wanita itu: Heryanti. Alias Ahong. Dia adalah salah seorang dari tujuh anak Akidi. Saya juga mendapatkan nomor telepon Heryanti. Saya hubungi. Tidak menjawab. Saya juga menghubungi suami Heryanti: Rudy Sutadi. Juga tidak berhasil.
Saya juga ingin menghubungi Prof Hardi sekali lagi kemarin sore. Saya ingin bertanya apakah dana itu jadi ditransfer kemarin. Telepon saya itu di-reject. WA saya juga tidak dibalas –meski ada tanda sudah dibaca beliau. Tapi saya tetap hormat. Sehari sebelumnya beliau telah banyak menjawab pertanyaan saya.
Saya pun menghubungi Ibnu Holdun, wartawan Sumatera Ekspres yang telah ke rumah Heryanti. Rumah itu, kata Holdun, kosong. Pagarnya ditutup dan dikunci. Rumah itu lebih bagus dari tetangga sekitar, tapi tidak mencerminkan rumah orang kaya raya. Lihatlah sendiri foto rumah itu di bagian lain tulisan ini.
Rumah anak Akidi Tio di Palembang (Foto: Ibnu Choldun/Sumeks).
Saya menyadari masih begitu banyak pertanyaan di seputar sumbangan Rp 2 triliun ini. Akidi telah menampar begitu banyak konglomerat negeri ini. Dan ia tidak peduli. Ia sudah 11 tahun mati.
Akidi telah lama meninggal dunia. Tapi namanya hidup kembali. Ia telah mengalahkan orang-orang yang masih hidup menjadi seolah-olah sudah lama mati. (Dahlan Iskan)