Akhirnya: negatif.
Tepat di hari ke 14.
Covid saya ini seperti jadwal kereta api saja: tidak bisa dimajukan.
Minggu pagi-pagi kemarin saya memang diswab lagi. Yakni setelah lima hari sebelumnya hasil Swabnya masih positif. Maka kemarin sore –sampai malam– keluarga tanya terus: sudah negatif?
Tentu belum tahu. Hasilnya belum keluar.
Senin pagi kemarin lebih banyak lagi yang bertanya. Saya jawab: saya belum menanyakan hasilnya.
Kok belum tanya sih?
Saya memang menahan diri untuk bisa tidak bertanya. Akhirnya anak wedok saya, Isna Iskan, yang tahu duluan. Jam 11.00 Senin kemarin: negatif. Rupanya dia yang bertanya terus ke RS.
Saya memang yakin hasilnya negatif. Kan enam hari sebelumnya sudah tahu. Dari hasil pengecekan darah: IgG saya reaktif. Dengan angka yang sangat bagus.
Memang IgM saya masih nonreaktif. Tapi empat hari kemudian –dari hasil pengecekan darah lanjutan– IgM itu sudah pula reaktif. Dengan angka yang juga sangat bagus.
Awalnya saya menduga hanya IgG yang bisa reaktif. Yakni hasil dari transfusi konvalesen. Dokter memang memberi saya transfusi plasma dari darah orang yang sudah sembuh dari Covid-19. Sedang dari tubuh sendiri mungkin tidak akan muncul. Itu akibat tiap hari, selama 15 tahun, saya minum obat menurun imunitas.
Ternyata tidak begitu. Tubuh saya tetap bisa melahirkan imunitas terhadap virus Covid-19. Hanya munculnya belakangan. Selisih tiga hari.
Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya secara medis. Juga tidak tahu harus kepada siapa menanyakannya: apa akibat buruk tingginya imunitas saya itu –pada transplantasi saya yang tidak menghendaki imun yang kuat.
Saya kena Covid di hari yang sama dengan ustad Misbahul Huda, sesama pimpinan pesantren keluarga. Juga negatif di hari yang sama. Bedanya: saya berobat ke rumah sakit Premier Surabaya. Ustad Huda isolasi di rumah.
Total ada enam orang sepupu saya yang meninggal karena Covid-19. Bahkan adik kandung saya, ustad Zainuddin, ternyata juga kena Covid. Itulah satu-satunya saudara kandung yang masih hidup. Tinggal di Madiun.
Saya telat tahu bahwa adik saya kena Covid. Tahu saya justru setelah ia sembuh. Saya pun bertanya bagaimana ceritanya. Ternyata ia menengok sepupu yang lagi Covid parah. Ia masuk kamar rumah sepupu itu di desa. Ia tahu: sepupu itu lagi menderita Covid berat. Yang tetap di rumah karena tidak bisa masuk RS. Penuh.
“Apa pun risikonya saya harus menjenguknya,” kata adik saya. “Saya tidak tega untuk tidak menjenguk. Ia terus-menerus menyebut nama saya dalam sakitnya,” ujar Zainuddin.
Dua hari kemudian keponakan itu meninggal dunia. Adik saya menderita sakit panas. Parah sekali. Demam. Batuk. Sakit perut. Sakit tenggorokan. Ia tidak mau masuk rumah sakit. Ia tidak mau minum obat. Ia pilih melawan dengan keyakinan dan zikir.
Kalau saja saya tahu, saya pasti marah sekali. Tapi tahu saya sudah sangat terlambat. Saya hanya bisa tertawa mendengar ceritanya.
Apalagi setelah mendengar istrinya tidak tertular.
Covid ini benar-benar aneh. Ada yang diobati baru sembuh. Ada yang diobati mati. Ada yang tidak diobati sembuh. Ada yang tidak diobati mati.
Setelah sembuh adik saya itu talon. Ia mendengar kalau saya terkena Covid. “Tenang saja,” katanya.
Saya memang tidak panik. Ada alasan lain mengapa saya optimistis hasil akhirnya ini negatif. Itu bisa dilihat dari hasil pemeriksaan harian oleh dokter.
Jelas: semua indikator tubuh saya bagus. Tekanan darah saya justru yang terbaik itu selama di RS ini: 120/70. Sekitar itu terus. Stabil.
Penyerapan oksigen saya bagus: 97. Sekitar itu terus. Stabil. Suhu badan: 36,5. Sekitar itu terus. Stabil.
Rasanya saya ini jenis OTG –hanya saja saya harus “kiashu” karena saya ini residivis.
”Kiashu” adalah istilah Robert Lai dan dokter Singapura Benjamin Chua. “Saya harus bersikap kiashu,” begitu ujar ahli pembuluh darah itu. Artinya: sesal kemudian tidak berguna.
Tiap hari saya mendapat satu lembar kertas: obat apa saja yang diberikan untuk hari itu. Ada obat yang tetap, ada yang berubah. Disesuaikan dengan hasil pemeriksaan harian.
Jadi, kalau saya ditanya diberi obat apa, jawabnya bisa panjang sekali.
Yang jelas ada dua antivirus: zithromax dan covifor. Ada obat batuk codipront. Ada pengencer darah. Ada obat kembung perut. Ada obat untuk menjaga liver. Ada obat menjaga paru-paru.
Lalu, ada obat ini: neurobion 5000. Vitamin B untuk saraf. Ada pula obat diare probiotic interlac. Lalu ada obat untuk tukak usu, lexmodine. Juga ada suplemen untuk bantu memenuhi kebutuhan Vitamin A, Vitamin C, Vitamin E, zinc, dan selenium. Kaitannya sama sel.
Saya pun cari tahu di internet. Mengapa saya diberi obat saraf, neurobion itu. Oh, saya dapat jawabnya: banyak terjadi kasus aneh: orang yang sudah berhasil sembuh dari Covid muncul gangguan baru. Yakni sulit konsentrasi. Bahkan ada yang menjadi lebih pelupa.
Saya diberi neurobion dengan maksud agar tidak tergolong itu.
Tentu saya juga diberi vitamin C. Dosis tinggi. Tidak hanya lewat obat pil. Juga disuntikkan. Lewat terminal infus di tangan itu.
Vitamin lain adalah, Anda sudah tahu: vitamin D dosis tinggi. Kan sewaktu masuk RS darah saya dicek. Ternyata kandungan vitamin D saya hanya 23,4. Itu kurang sekali. Jauh dari angka minimal yang sebaiknya 40.
Tiga hari lalu, vitamin D saya sudah di level 35. Jangan-jangan hari ini sudah 39,9 haha.
Begitulah, begitu banyak obat yang diminum. Sampai saya mengkhawatirkan liver saya. Juga ginjal saya. Maka tiap pagi, sebelum menelan begitu banyak pil, saya ucapkan permintaan maaf kepada liver saya.
“Tolonglah Anda kuat ya… Ini terpaksa, karena ada Covid,” kata saya sambil memandang bagian kanan perut saya.
Saya pun seperti mendengar jawaban liver saya: “Saya kuat kok”.
Lalu obat-obat itu saya telan satu per satu.
Tentu saya bersyukur dengan hasil negatif itu. Kepada para kiai yang bertanya, saya jawab: Alhamdulillah. Kepada teman-tekan Kristen –ada yang sampai berdoa di Gua Maria –saya sampaikan Puji Tuhan. Kepada Bikhu dan Bante, saya sampaikan Amithofo.
Yang sulit hanya cari istilah apa, ketika saya harus memberitahu teman-teman di Tiongkok yang komunis.(Dahlan Iskan)