"Menjadi kaya itu mulia". Bagaimana kalau menjadi terlalu kaya?
Deng Xiaoping sendiri, si pencetus mantra ajaib itu, mungkin tidak mengira kalau orang Tiongkok banyak yang keblabasan: setelah berhasil menjadi kaya lantas menjadi terlalu kaya.
Mantra ''menjadi kaya itu mulia'' tentu tepat diucapkan Deng Xiaoping di tahun awal 1980-an. Yakni ketika Tiongkok masih sangat miskin-miskinnya. Miskin fundamental pula. Kebijakan negaralah yang menyebabkan kemiskinan itu merata di sana: komunisme Mao Zedong.
Kini sudah 40 tahun usia kata-kata ajaib itu. Mantra itu sendiri merupakan fatwa lanjutan dari mantra pertamanya: tidak peduli kucing itu hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus.
''Fatwa kucing'' itu ditujukan kepada politisi. Terutama di jajaran elitnya. Agar politisi mau berubah. Dengan ''fatwa kucing'' politisi bisa menerima garis baru komunisme: jalan menuju kesejahteraan.
Sedang ''fatwa kaya'' ditujukan kepada rakyat pada umumnya. Agar mereka mau bekerja keras memperbaiki tingkat kehidupan.
Dua-duanya berhasil. Begitu meledak kemajuan ekonomi Tiongkok. Begitu meluas jumlah orang kaya di sana. Termasuk, bahkan, yang superkaya.
Amerika Serikat, menurut Bloomberg, memiliki 700 lebih orang superkaya. Tiongkok, pun dengan komunismenya, sudah memiliki 600 lebih jenis manusia kelas itu. Bisa jadi jumlahnya segera mengalahkan Amerika.
Di sektor jumlah orang terkaya pun Tiongkok segera menjadi yang terbanyak di dunia.
Itu kalau tidak ada mantra baru dari Xi Jinping.
Ternyata ada.
Mantra baru itu: Mimpi Tiongkok (ä¸Â国梦).
Tiongkok harus menjadi negara sejahtera yang merata.
Di zaman komunisme Mao Zedong sama rata sama rasa itu hampir tercapai: sama-sama miskin. Kelaparan meluas tidak ketulungan.
Kemiskinan itu yang diubah lewat doktrin Deng Xiaoping. Saya ikut mengaguminya. Saya sampai berkunjung ke kampung kelahirannya –di pedesaan antara Chengdu dan Chongqing. Naik pesawat dulu 2 jam dari Beijing. Lalu naik mobil dua jam lagi.
Xi Jinping menetapkan target: kemiskinan sudah harus hilang di tahun 2021. Praktis berhasil. Terutama kalau tidak ada Covid-19.
Perjuangan mengatasi kemiskinan di Tiongkok itu dicatat oleh dunia sebagai yang paling berhasil.
Tapi ketimpangan juga menganga. Tentu bukan kaya yang menganga itu yang dimaksud mantra ''menjadi kaya itu mulia''.
Presiden Xi Jinping terpanggil untuk mengatasi problem besar itu. Itu juga bagian dari perjuangan komunisme.
Menjelang ia menjadi presiden memang ada petisi keras. Sebanyak 179 pensiunan jenderal menandatangani petisi itu: Tiongkok sudah terlalu menjadi kapitalis, sudah semakin jauh meninggalkan cita-cita komunisme.
Xi Jinping naik panggung dengan membawa misi itu. Ayahnya memang pendukung utama Mao Zedong. Terutama ketika pasukan Mao sudah kelelahan di akhir Long March. Ayah Xi menyambutnya dengan semangat dan kekuatan baru. Sampai perjuangan merebut kekuasaan itu berhasil.
Di mata Xi Jinping perusahaan yang sudah terlalu besar sangat membahayakan negara. Bankrutnya raja real estate Evergrande misalnya, bisa mengguncang ekonomi nasional. Salah satu media di Amerika menyebut kebangkrutan Evergrande bisa berpengaruh sampai 1 persen pada GDP Tiongkok. Itu skenario yang paling optimistis. Bisa-bisa sampai 2 persen.
Amerika sendiri sudah mengalami. Di tahun 2008. Satu perusahaan bangkrut membuat negara sekuat Amerika pun mengalami krisis moneter: Lehman Brothers. Yang pengaruhnya pun sampai ke mana-mana. Pun ke Indonesia.
Pengaruh buruk Evergrande ini, menurut media di Amerika juga akan sampai ke Amerika. Setidaknya sudah ikut mengguncang Wall Street. Harga saham di Wall Street sudah mulai anjlok selama seminggu terakhir –meski banyak juga penyebab lainnya. Anda sudah pernah membayangkan ini. Saya lihat di komentar Disway: utang satu perusahaan itu saja sampai USD 300 miliar. Lebih besar dari utang sebuah negara seperti Indonesia.
Tanpa perusahaan itu, Tiongkok akan tetap maju. Punya perusahaan seperti itu ekonomi Tiongkok terganggu.
Saya sendiri tidak tahu banyak tentang Evergrande. Yang saya tahu hanyalah: Evergrande punya klub sepak bola. Di Guangzhou. Hebat. Juara liga Tiongkok setidaknya dua kali. Di klub itulah mantan kiper Persebaya bermain sampai menjadi kiper tim nasional Tiongkok: Zeng Cheng. Pada masanya. (Dahlan Iskan)