“NAMA lengkap Anda siapa?” tanya
saya. “Syafril saja,” jawabnya. “Berarti Anda satu-satunya orang
Padang yang namanya hanya satu kata,” komentar saya.
Ia hanya tertawa.
“Di KTP dan SIM juga hanya satu
kata?” ”Iya.” “Kalau di paspor?”
“Di paspor nama saya Syafril Abdul Rahim,
Pak,” jawabnya. Ia cantumkan nama ayahnya di belakang kata Syafril. Kantor
imigrasi memang tidak mau membuatkan paspor kalau nama pemohonnya hanya satu
kata.
“Sebenarnya waktu kecil saya punya nama
tiga kata: Andhika Syafril Tanjung, tetapi ruwet. Lalu pakai Syafril
saja,” katanya.
“Kenapa ruwet?” “Ibu saya Padang.
Marga Koto. Sesuai adat Minang berarti saya harus pakai marga ibu, tetapi ayah
saya Batak. Marganya Tanjung. Menurut budaya Batak saya juga harus pakai marga
Tanjung. Lalu tidak saya pakai dua-duanya,” ujar Syafril. Ayahnya memang
datang dari kampung dekat Sibolga itu. Satu marga dengan tokoh seperti Akbar
Tanjung. Atau Jenderal Faisal Tanjung.
“Sebenarnya waktu kecil saya punya nama
tiga kata: Andhika Syafril Tanjung, tetapi ruwet. Lalu pakai Syafril
saja,” katanya.
“Kenapa ruwet?” “Ibu saya Padang.
Marga Koto. Sesuai adat Minang berarti saya harus pakai marga ibu, tetapi ayah
saya Batak. Marganya Tanjung. Menurut budaya Batak saya juga harus pakai marga
Tanjung. Lalu tidak saya pakai dua-duanya,” ujar Syafril. Ayahnya memang
datang dari kampung dekat Sibolga itu. Satu marga dengan tokoh seperti Akbar
Tanjung. Atau Jenderal Faisal Tanjung.
Syafril ke rumah saya tadi malam. Disambut
hujan deras yang panjang. “Pak Dahlan sehat sekali,” komentarnya.
Berarti tidak meninggal dunia seperti beredar di medsos. Kami ngobrol sampai
jam 10 malam. Hujan belum juga reda. Syafril dan rombongan –dari pengurus pusat
sebuah partai baru– itu pamit. Langsung balik ke Jakarta. Saya tertarik dengan
Syafril karena disertasi doktornya. Yang ia pertahankan dua tahun lalu.
Judulnya pun sudah terasa baru: Pengadaan Barang di Kementerian Sosial yang
Rawan Korupsi.
Sekarang judul itu terasa lebih aktual lagi
–karena korupsi bansos besar-besaran di Kemensos terbongkar. Syafril memang
meneliti sistem pengadaan barang di Kementerian Sosial. Beberapa tahun lalu.
Penelitian itu ia jadikan disertasi gelar doktor hukum. Kesimpulan Syafril,
hanya ini cara yang harus dilakukan agar tidak terjadi korupsi di Kementerian
Sosial: hapuskan tender. Selama masih ada tender tetap saja akan ada
sosok-menyogok.
Apakah sistem tender elektronik tidak bisa
menghapuskan korupsi? “Kenyataannya tetap ada korupsi,” katanya.
Kelebihan cara yang ia temukan itu ialah terjadinya keadilan di kalangan
pengusaha. Dengan sistem sekarang hanya yang besar yang terus diuntungkan.
Tentu cara yang ia usulkan itu tidak bisa dilaksanakan sekarang. Peraturan
pengadaan yang berlaku tidak memperbolehkan.
Maka Syafril mengusulkan memang harus ada
perombakan besar sampai ke soal menyusun kembali peraturan.
Syafril sendiri pernah jadi pengusaha. Ia
menjadi rekanan di Kementerian Sosial. Lalu di Pertamina. Namun ia tidak pernah
mau menyogok. Akhirnya sering sekali kalah. Bahkan belum lama ini ia masih juga
ditawari untuk memasok kebutuhan bansos di Kemensos. Syafril menolak.
“Kalau saya mau sudah ikut ditangkap
KPK,” katanya. Syafril adalah sarjana hukum dari Universitas Jayabaya. Di
kampus itu pula ia meraih S-2 bidang hukum. Lalu di Jayabaya pula mengajukan
disertasi doktornya itu.
Sekarang ia jadi pengacara. Istrinya notaris
di Serang, Banten. Ia memang taat pada agama. Pun dalam mengelola keuangan keluarga.
Keluarga ini tidak punya tabungan di bank. Alasannya: riba. Semua uangnya
disimpan di kotak khusus di rumahnya di Jakarta. Tidak takut kemakan inflasi?
“Sebagian disimpan dalam bentuk emas batangan. Sebagian lagi dalam bentuk
dolar. Lalu ada juga dalam bentuk rupiah,” katanya. Hampir semua transaksi
ia lakukan dengan cash.
Ia perlu menyimpan dolar untuk jaga-jaga
perlu uang kontan mendadak. Bisa ditukar ke rupiah dengan mudah. Bagaimana
kalau harus isi pulsa dan beli token listrik? Yang hanya menerima dari transfer
bank? “Kami punya tabungan kecil di bank,” ujar sang istri menimpali.
“Lho kan riba juga,” sela saya.
“Tabungan kami kecil sekali. Cukup untuk
beli makanan lewat online, beli pulsa, dan listrik,” kata Syafril.
“Biar kecil kan riba juga,” sela saya. “Oh, begini,”
jawabnya. “Misalnya saya menabung Rp 10 juta. Saya tidak pernah berharap
bunga. Di hati saya tetap bahwa uang saya di bank Rp 10 juta,” katanya.
“Kan secara
otomatis bank memberi bunga. Yang otomatis pula masuk ke tabungan,” kata
saya. “Saya sudah hitung, nilai tabungan saya itu terbatas. Kalau pun
dapat bunganya, bunga itu habis untuk uang administrasi bank,” jawabnya.
Hujan tidak berhenti. Rombongan itu tahu. Bahwa saya harus berangkat tidur pada
jam seperti itu.