Punya waktu sehari –sebelum peresmian pabrik kopi Kapal Api– saya pilih pergi melihat dua objek: Superdome dan Jeddah Tower.
Biasanya, setiap kali umrah, hanya diajak mampir Jeddah untuk ke Al-Balad –pasar belanja oleh-oleh sebelum pulang ke Indonesia. Kali ini saya mau melihat kemajuan Jeddah sebagai calon kota metropolitan dunia –dan ingin mengalahkan Dubai.
“Sejak lima tahun lalu semua event besar dilaksanakan di Superdome. Tidak lagi di stadion. Termasuk konser-konser besar musik dari seluruh dunia,” ujar Thobib dari Kementerian Haji dan Umrah yang menemani saya.
Nama lengkapnya Thobibuddin. Asli Dukun, Gresik. Alumnus Tebuireng, Jombang. Ia sudah 20 tahunan di Arab Saudi. Sejak ada Kementerian Haji, Thobib bertugas di Jeddah.
Awalnya, dulu, Thobib ke Saudi untuk melaksanakan niat ”napak tilas”. Yakni mengikuti jejak pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Di Makkah, Thobib pun mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga yang dulu Kiai Hasyim belajar di Makkah.
Saya pun bisa nebeng mobil Kementerian Haji ke Superdome. Mereka ada kepentingan di sana. Ada acara pameran besar bisnis terkait haji. Saya ingin tahu: untuk apa ada pameran haji dan umrah di Saudi. Rasanya tanpa ada promosi pun haji dan umrah meningkat terus. Pun kebutuhan mereka.
Wow! Pameran ini mewah sekali. Lobi masuknya luas. Berkelas. Selalu ada petugas yang keliling menawarkan minuman. Apa saja. Kopi. Teh. Jus. Juga ada konter untuk makan dan kue. Gratis. Pun pamerannya: gratis.
Memasuki arena pameran saya terpana. Di Indonesia, pameran haji dan umrah biasanya termasuk kelas yang mutunya paling rendah –dibanding pameran-pameran bisnis lainnya. Hanya sekelas pameran UMKM.
Di Jeddah ini mutu pameran haji dan umrah sekelas pameran mobil –di sektor mobil mewah. Booth-nya besar-besar. Luas. Kualitas booth-nya kelas satu. Pun desain-desainnya.
Saya punya kenalan kontraktor booth untuk pameran internasional. Tionghoa. Orang Surabaya. Saya ingin tahu dari ia kontraktor mana yang mengerjakan booth di Arab Saudi. Kok serba gemerlap.
Yang ikut pameran adalah hotel-hotel di Makkah dan Madinah. Saya kenal nama-nama hotel bintang lima itu. Lalu perusahaan transportasi. Juga perusahaan katering. Aneh. Mereka ternyata perlu promosi.
Saya amati konstruksi Superdome seluas 3,4 hektare ini. Diameternya 210 meter –bagian dalamnya. Tinggi kubahnya 46 meter. Bisa untuk 40.000 penonton untuk konser musik.
Konser musik terakhir adalah penyanyi dari Lebanon: Nancy Ajram. Penyanyi pop nomor satu di dunia Arab. Pernah konser di Jakarta. Penggemarnya di Indonesia menyebut diri mereka Majelis Nancy Ajram.
Dari Superdome saya ke Jeddah Tower –yang akan menjadi gedung tertinggi di dunia. Akan mengalahkan juara saat ini: Burj Al-Khalifa di Dubai.
Jeddah Tower akan sulit dikejar. Tingginya dua kali lipat Burj: setinggi 1 km.
Dari jauh pun tower itu sudah kelihatan: sedang dibangun. Sudah menjulang tinggi. Rasanya sudah sampai lantai 70. Baru akan selesai tahun 2030.
Tentu sulit untuk mendekat ke proyek yang sedang dikerjakan. Apalagi bagi orang asing yang tidak dikenal seperti saya. Yang tidak punya hubungan apa-apa dengan proyek itu.
“Coba saja,” pinta saya pada Mas Thobib. “Ditolak kan tidak apa-apa. Yang penting sudah dicoba,” kata saya.
Mas Thobib turun dari mobil. Ia menuju pos penjagaan yang berpalang pintu. Novi Basuki, yang juga diundang untuk peresmian pabrik kopi Kapal Api di Jeddah, ikut ke pos penjagaan. Ia alumnus pesantren Nurul Jadid yang memperoleh doktornya di Tiongkok. Ia redaktur rubrik ”Cheng Yu” di Harian Disway.
Ternyata Novi ikut turun hanya ingin membuat video diri. Dengan latar belakang proyek fenomenal itu. Untuk TikToknya yang sangat populer.
Di pos jaga, Thobib tidak sekadar mencoba. Ia bersungguh-sungguh. Ajaib. Mobil kami diperbolehkan menuju proyek. Letaknya masih sekitar 1 km dari pos jaga itu. Alhamdulillah. Amitaba!
Kami pun bisa mendekat. Mengambil gambar. Memang masih proyek. Foto ini akan bermanfaat untuk dilihat lagi di tahun 2030 nanti.
Masih ada waktu.
Juga belum lapar.
Saya hubungi rombongan Kapal Api dari Indonesia: sedang di mana mereka. Ternyata sedang di mal. Red Sea Mall. Mal Laut Merah. Tidak baru tapi masih baru. Di sebelah mal ini –menjadi bagian dari mal– ada gedung bioskop. Itulah gedung bioskop pertama di Jeddah.
Tentu di mal ini kami melihat kehidupan orang Jeddah masa kini. Sudah tidak terlalu beda dengan mal kelas atas di mana saja. Termasuk soal cara wanita berpakaian.
Saya pun balik hotel. Bukan untuk istirahat. Ada info lain: di depan hotel kami itulah sirkuit balap mobil F-1 Jeddah. Saya harus melihatnya. Fotonya harus saya kirim ke cucu Pak Iskan yang sedang mengantar anaknya lomba debat di Yale University, New Heaven, tidak jauh dari New York. Ia sudah nonton F-1 di mana pun kecuali Jeddah.
Malamnya saya ke sirkuit itu lagi. Dengan pakaian olahraga. Bersama Novi Basuki. Kami bertekad jalan kaki mengelilingi sirkuit itu. Lewat sisi pinggir pantainya dulu. Sambil melihat water front Jeddah yang tertata indah.
Di dalam sirkuit sedang ada balapan –atau latihan. Saya intip dari pagar jeruji besinya: balap mobil Formula 4.
Masa depan Jeddah-modern kelihatannya mengarah ke sekitar sirkuit ini. Sudah mulai banyak gedung pencakar langit di kawasan baru itu. Dugaan saya, kelak, akan dibangun jembatan panjang antara kawasan ini dengan kawasan sekitar gedung tertinggi di dunia itu. Saat ini dua kawasan itu dipisahkan oleh teluk sempit namun menjorok jauh ke dalam daratan.
Jeddah sudah terlihat kerja keras mengejar Dubai –dan sayangnya yang dikejar tidak berhenti berlari. (Dahlan Iskan)
