PENGARUH sosmed membuat jiwa dan hidup wanita ini hancur. Dia berusaha sembuh. Kelihatannya mulai berhasil. Tapi mungkin perlu waktu 20 tahun untuk benar-benar sembuh.
Semua itu terkait dengan Covid-19. Bagaimana wanita itu berubah dari kondisi jiwa yang ketakutan Covid, menjadi benci pada masker. Tekanan jiwa wanita itu kian tinggi lagi ketika suaminyi pun menjatuhkan ultimatum: pilih medsos atau keluarga.
Nama wanita itu Melissa Rein Lively. Umur 33 tahun. Seorang istri. Belum punya anak. Dia mempunyai usaha publikasi mandiri di Scottsdale, Arizona. Saya kenal kota Scottsdale. Hanya sepelemparan batu dari kota Tempe, dekat Phoenix.
Kisah wanita inilah yang dipilih Yahoo news untuk menandai ”ulang tahun” pertama masuknya Covid ke Amerika Serikat, 11 Maret lalu.
Melissa punya saudara laki-laki. Yang beristri wanita Tionghoa. Suami-istri itu lagi ke Tiongkok. Untuk merayakan tahun baru Imlek 2020 –kelihatannya di kota Wuhan.
Dari Tiongkok itu, kakaknyi kirim kabar yang mengerikan. Disertai foto-foto kejadiannya: orang bertumbangan di pinggir jalan. Sakit. Mati. Yang sakit tidak ada yang menolong. Yang mati tidak ada yang mengangkut mayat mereka.
Begitu ngerinya pemandangan itu sampai sang kakak ingin saat itu juga ke bandara. Untuk pulang ke Amerika. Dengan penerbangan apa saja yang ada.
Berita pertama dari kakaknyi itu datang tanggal 27 Januari 2020 –berarti baru dua hari setelah Tahun Baru Imlek. Hari-hari berikutnya berita tentang Wuhan kian mengerikan. Seperti itu pula yang kita terima di Indonesia.
Tiongkok seperti akan kiamat saja. (Tidak disangka, kelak, setahun kemudian, korban Covid di Tiongkok tidak sampai 90.000 orang. Sedangkan di Indonesia justru hampir 1,5 juta orang. Dan di Amerika mencapai 30 juta orang). Pun setahun kemudian. Penderita baru di Tiongkok tinggal di kisaran 10 orang/hari. Di Indonesia masih di atas 5.000 orang/hari. Dan di Amerika masih di sekitar 50.000/hari.
Hari-hari pertama pandemi itu kondisi Tiongkok memang sangat menakutkan.
Sang kakak terus mengingatkan Melissa agar jangan lengah. Wabah itu –waktu itu belum disebut pandemi– akan menjalar ke mana-mana. Termasuk ke Amerika. Melissa terbawa suasana kakaknyi itu. Dia pun mulai pakai masker –ketika banyak orang Amerika belum percaya Covid akan sampai di sana.
Ke kantor pun Melissa mulai memakai masker –orang pertama yang bermasker di kotanyi. Apalagi kalau Melissa ke supermarket. Dia orang pertama yang ke supermarket dengan mengenakan masker. Dia menyadari dirinyi dianggap aneh oleh orang sekitar kantor dan supermarket. Tapi dia tidak peduli. Sang kakak terus mengingatkannyi akan bahaya virus itu.
Ketika muncul berita baru bahwa virus sudah menyebar ke kapal pesiar, Melissa memutuskan untuk tidak masuk kantor. Dia pilih bekerja dari rumah. Biarlah dianggap berlebihan. Tidak peduli.
Ketika lebih banyak di rumah itulah Melissa menemukan satu berita yang menghibur jiwanya. Kok berita itu berbeda dari yang dia terima dari kakaknyi. Itulah berita yang penuh pengharapan. Yang datang dari kelompok ALIRAN QAnon.
“Semua yang Anda dengar tentang Covid-19 itu tidak benar. Itu hanya rekayasa,” bunyi berita itu.
Melissa begitu tertarik pada berita yang berlawanan dengan informasi dari sang kakak. Melissa pun terus mengikuti link-link medsos itu. Kian lama kian terseret ke dalam link-link itu. Dia merasa sehati dengan anggota aliran itu. Jiwanyi menjadi seperti terbebas.
Akhirnya Melissa percaya: berita tentang wabah itu sengaja dilebih-lebihkan. Terutama oleh penguasa media. Dengan tujuan menyebarkan ketakutan. Itulah, katanyi, bentuk teror yang dilakukan penguasa internet.
Melissa akhirnya juga percaya bahwa ada skenario besar di balik wabah itu: agar semua orang mau melakukan vaksinasi. Di dalam vaksin itu dimasukkan chip ukuran nano. Chip itulah yang akan mengubah gen manusia: menjadi tidak memercayai Jesus-Kristus.
Dia ikuti terus link-link kelompok QAnon. Melissa teperdaya oleh indoktrinasi di situ. “Awalnya kalian dipaksa memakai masker. Lama-lama kalian nanti dipaksa masuk sebuah kotak,” kata berita di sana.
Melissa pun ingat cerita waktu dia masih kecil. Salah satu keluarga leluhurnyi dipaksa masuk kamar gas di Jerman –menjadi korban holocaust. Dia pun membayangkan kalau kelak dipaksa harus masuk kotak berarti sama mengerikannya dengan masuk kamar gas itu.
Melissa juga percaya bahwa kelompok intelektual lagi mengembangkan aliran misterius. Yang ritualnya memakan janin manusia. Ada yang percaya penyiar TV CNN pun makan janin.
Tujuan aliran pemakan janin itu, kata Melissa, adalah memusuhi gereja –dengan cara memusuhi Donald Trump.
Melissa pun terbawa ke aliran QAnon. Kian lama kian jauh. Kian radikal. Dia tidak percaya lagi omongan siapa pun –termasuk omongan kakak dan suaminyi.
Melissa kian radikal –menjadi sangat anti masker dan anti Demokrat. Dia berkembang dari orang pertama yang sadar masker menjadi wanita yang anti-masker.
Suami Melissa terus menasihati sang istri. Gagal. Hubungan rumah tangga merenggang. Melissa pun meninggalkan rumah. Dia pindah ke hotel.
Puncaknya tanggal 4 Juli 2020 –tepat di Hari Kemerdekaan Amerika. Melissa kecewa: hari kemerdekaan Amerika menjadi hambar. Semua gara-gara orang percaya pada Covid-19.
Hari itu Melissa ke Target –supermarket di kota kecil itu. Dia perlu belanja. Target memang punya ratusan outlet di seluruh Amerika. Di dalam supermarket itu Melissa melihat banyak masker dipajang secara mencolok.
Dia pun emosi.
Suasana tegang di rumah tangga terbawa sampai ke supermarket. Dia marah saat melihat pajangan masker yang begitu banyak. Dia obrak-abrik pajangan masker itu. Dia siapkan Live Instagram untuk merekam kemarahannyi itu. Otomatis langsung tersiar secara live. Langsung viral.
Suami Melissa melihat viral itu. Lalu mengirim rekamannya ke Melissa. Tentu dengan kemarahan besar.
Melissa kian berontak. Tapi sang suami harus menyelamatkannyi. Akhirnya sang suami membawa polisi ke hotel. Posisi jiwa Melissa dianggap sudah membahayakan dirinyi sendiri. Sang suami membawa Melissa ke psikiater.
Tiga kali Melissa menjalani diagnosis. Kesimpulan pun diambil. Dia menderita pengidolaan yang berlebihan. Melissa terselamatkan. Dia terus menjalani perawatan itu. “Saya telah mengambil jalan yang salah,” kata Melissa. “Tapi mungkin perlu waktu 20 tahun untuk bisa sembuh sepenuhnya,” tambahnya.
Apalagi, sang suami ujung-ujung minta cerai.
Setahun pandemi telah membuat banyak kisah seperti Melissa. Kemampuan bersikap realistis dan mudah move-on perlu dimiliki kian banyak orang. (Dahlan Iskan)