Resmi sudah: ada dua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kubu Kramat Raya dan kubu Hotel Sultan.
Setelah Selasa malam KH Zulfa Mustofa ditetapkan sebagai penjabat ketua umum (tanfidziyah) PBNU, Kamis siang ketua umum tanfidziyah yang menolak diberhentikan, KH Yahya Cholil Staquf, mengadakan sidang pleno PBNU –seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Di saat kubu Kramat Raya bersidang pleno, kubu Sultan melakukan kunjungan kerja pertama sebagai penjabat ketua umum PBNU. Kiai Zuhal ke Banten –tempat kelahirannya. Seluruh pengurus wilayah NU Banten menyambutnya.
Kubu Kramat Raya bersidang untuk membahas –saya tidak tahu. Saya hanya melihat spanduk yang dipasang di belakang meja pimpinan sidang: Rapat Koordinasi Penanganan Kebencanaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Tapi di surat undangan yang saya baca, acara kebencanaan itu ditempatkan di urutan tiga. Yang pertama membahas evaluasi program. Acara kedua: konsolidasi organisasi.
Kelihatannya yang kedua itu yang terpenting. Hanya saja perlu dibungkus acara ketiga agar tidak kelihatan reaksioner atas kondisi aktual di PBNU.
Awalnya saya mengira rapat pleno kubu Kramat Raya itu tidak akan jadi dilaksanakan. Misalnya, karena kantor PBNU sudah diduduki penjabat ketua umum. Atau sengaja dibatalkan agar suhu yang panas di bumi NU bisa agak reda.
Tepat pukul 13.00 saya hubungi sahabat Disway di sana. Ternyata PBNU Kramat Raya cukup ramai. Peserta rapat sudah banyak yang datang.
Gus Yahya memimpin rapat itu didampingi katib aam (sekretaris umum Syuriah) PBNU Kiai Said Asrori.
Kelihatannya dukungan ke kedua kubu sama-sama besar. Ini memperkuat kesimpulan di atas: resmilah terjadi dualisme PBNU.
Ini tidak baru di NU. Sudah beberapa kali pecah. Hanya saja di masa-masa nan silam, pecahan NU selalu tidak dapat angin. Lalu padam dengan sendirinya. Mirip yang terjadi di PDI-Perjuangan: yang memisahkan diri tidak ada yang jadi.
Tapi yang terjadi di PBNU kali ini beda. Ini seperti belah semangka: sama hijaunya, kulitnya. Bukan seperti belah durian.
Yang memihak kubu Kramat kelihatannya ada dua motif. Pertama, mereka yang menjunjung tinggi disiplin organisasi, taat AD/ART. Mereka mempersoalkan mengapa AD/ART dilanggar. Mengapa tidak muktamarnya saja yang dipercepat.
Motif kedua, mereka yang berpendapat bahwa NU perlu sumber dana yang jelas dalam jumlah besar: lewat tambang batu bara. Dari tambang itu setidaknya NU akan dapat uang Rp 30 triliun. Itu baru setidaknya. Bisa Rp 60 triliun. Kapan lagi NU bisa punya uang sebanyak itu. Dengan demikian tidak akan ada lagi budaya bikin proposal sumbangan. Sekaligus menghilangkan mental tangan di bawah di kalangan NU.
Kubu Sultan belum tentu menolak tambang batu bara itu. Belum pernah ada pernyataan seperti itu. Tapi orang seperti KH Said Aqil Siroj, 11 tahun menjabat ketua umum tanfidziyah PBNU, tegas minta agar tambang itu dikembalikan ke pemerintah.
Bahkan Said Aqil Siroj menggolongkan tambang itu sebagai barang haram. Ia mengutip hasil bahtsul masail di pondok Tebuireng, Jombang. Bahtsul masail adalah pembahasan status hukum berbagai soal kehidupan dari kacamata hukum Islam.
“Madorotnya lebih banyak dari manfaatnya,” ujar Said Aqil Siroj. Lalu ia menyebut bagaimana bisa, rais aam syuriah PBNU, seorang ulama yang paling dihormati, menjadi komisaris utama perusahaan tambang batubara. Lalu ketua umum tanfidziyah PBNU menjabat direktur utama.
Said Aqil menilai pucuk pimpinan PBNU akan lebih fokus ke perusahaan tambang batubara. Kapan mengurus NU-nya. Ia memberi contoh dirinya yang 11 tahun menjabat ketua umum. Tanpa punya tambang pun tetap bisa mengerjakan program-program besar di NU.
Kini, setelah resmi ada dualisme, ujung konflik belum bisa dilihat. Bahkan, seperti yang ditulis perusuh Disway Liang kemarin, pangkalnya pun belum kelihatan.
Tentu siapa yang menguasai gedung PBNU sembilan lantai di Jalan Kramat Raya menjadi penting. Juga siapa yang bisa menguasai Banser NU.
Banser, ”sayap militer” Gerakan Pemuda Ansor, bisa jadi kekuatan untuk penguasaan gedung Kramat Raya.
Hanya saja Ansor dan Banser pun kelihatannya terbelah ke dua kubu. Sekjen PBNU yang diberhentikan Gus Yahya, Saifullah Yusuf, pernah menjabat ketua umum GP Ansor. Tapi adik kandung Gus Yahya, Yaqut Cholil Qoumas, juga pernah jadi ketua umum GP Ansor.
Rupanya kubu Sultan khawatir: kalau lewat muktamar yang dipercepat Gus Yahya tetap terpilih. Itu karena pengurus cabang dan wilayah NU mayoritas diangkat oleh Gus Yahya.
Baiklah. Dengan demikian tidak perlu berharap konflik di PBNU cepat teratasi. Yang perlu cepat ditangani adalah bencana banjir bandang di Sumatera. (Dahlan Iskan)


