Alhamdulillah: hujan mulai reda di Sumatra bagian utara. Sejak tiga hari lalu. Sebelum itu tujuh hari hujan turun terus-menerus. Deras. Sepanjang hari. Sepanjang malam.
Rasanya lega tiga hari terakhir hujan tidak turun lagi. Hanya gerimis di beberapa tempat.
Bukan berarti penderitaan sudah berakhir. Banjir bandang, genangan, dan kehancuran sudah terlalu besar. Di Sumatra Utara. Di Sumatra Barat. Di Aceh. Total yang meninggal dunia 631 orang –angka dari BNPB Pusat.
Pengungsi di Aceh saja hampir 500.000 orang. “Ini bencana terbesar kedua setelah tsunami tahun 2004,” ujar tokoh Aceh kepada Disway.
Sawah pun hancur: 130.000 hektare. Rumah yang rusak 71.000. Sekolah yang terkena 165, termasuk empat pesantren. Itu baru di Aceh. Lima kabupaten di Aceh bagian selatan sampai terisolasi.
Lima kabupaten ini hampir sama parahnya: Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Luwes, Singkil, Takengon.
Sebenarnya banjir bandang di Takengon ini bin ajaib. Wilayah Takengon bukan dataran rendah. Takengon letaknya di perbukitan. Kenapa juga banjir?
Itu karena banyaknya penggalian tambang di sana: mengais emas. Tambang ilegal. Sedang di Bener Meriah dan kabupaten lainnya akibat banyaknya hutan yang berubah jadi kebun sawit. Juga hutan yang jadi bahan baku kertas.
Saat hujan mulai tumpah dari langit, Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh sedang punya acara di Takengon. Mereka terkurung banjir di situ. Selama lima hari. Semua akses keluar terputus oleh bah yang meluas.
Bahkan banjir akhir November itu sampai ke Subulussaman. Sebelum itu seluruh Tapanuli dan sekitarnya juga dilanda banjir. Bahkan sampai ke bawah lagi: sampai Sumatera Barat.
Baru kali ini seluruh Aceh –dan sebagian wilayah Sumut yang berbatasan dengan Aceh– dilanda banjir sebesar ini.
Memang, akhir pekan lalu, hujan turun luar biasa deras. Sepanjang hari. Selama tujuh hari. Tapi banyaknya kayu gelondongan yang hanyut, menandakan penebangan hutan masih terus terjadi.
Ada pejabat di sana yang beralasan itu kayu tumbang. Tentu dengan mudah terbantahkan. Ukuran panjang kayunya sama. Bahkan begitu hujan reda truk-truk besar sudah mulai terlihat kembali mengangkut kayu gelondongan –seolah mengejek korban bencana yang ditimbukkannya.
Meski sudah dua hari tidak lagi hujan masih banyak daerah di kabupaten Bener Meriah yang masih terisolasi. Sangat sulit menyalurkan bantuan ke kantong-kantong isolasi itu.
Di Sumatera Utara, ketika jalan masih becek akibat banjir yang baru saja surut, truk-truk sudah berani mengangkut kayu hasil tebangan. Berarti seminggu lagi para penebang sudah lebih berani. Apalagi sebulan kemudian –dan hari-hari setelah itu.
Saya tidak tahu di mana bencana yang paling parah: Sumbar, Sumut atau Aceh. Dari jumlah korban Sumut 293 jiwa, Sumbar 165 jiwa dan Aceh 173 jiwa. Jumlah meninggal dunia 631 jiwa.
Maka wajar kalau kemarahan publik sangat luas. Bukan hanya di Sumatra, juga di Jawa. Apalagi ketika melihat parahnya kerusakan dan banyaknya penderitaan. Misalnya terlihat di video bagaimana rumah hanyut dalam keadaan hanya terlihat atapnya. Juga satu kampung yang tergerus serentak bersama longsoran tanah.
Kelihatannya tidak hanya manusia yang marah pada manusia. Alam pun marah pada manusia serakah.(Dahlan Iskan)


