25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Ditipu Seragam

PROKALTENG.CO – “TNI gadungan tipu banyak wanita.” Demikian berita
utama sebuah media. Modusnya gampang, cuma modal seragam, meskipun kalau
diteliti, jelas seragamnya “KW” alias palsu. Cuma modal loreng-loreng hijau.

Saya teringat berita semacam itu
setelah tempo hari ramai pembicaraan tentang pilih pacar yang berseragam.
Seragam di sini tak hanya mengacu pada tentara, tapi terutama pada kemapanan
karir orang yang mengenakannya.

Tentu untuk kebanyakan orang tak
mudah membedakan mana seragam tentara yang asli dan mana yang kaleng-kaleng.

Seragam itu tak hanya menipu
gadis-gadis lugu, tapi juga bisa memberinya sejenis hak di masyarakat yang
biasanya diperoleh tentara sungguhan.

Sebegitu ampuhnya sehelai
seragam? Ya. Seragam dalam hal tertentu seperti bahasa. Ia penanda, mewakili
berbagai predikat, sifat, nilai.

Itulah kenapa tentara sungguhan,
bahkan ketika ia pulang kampung, harus tetap memakai seragamnya agar ia juga
menjaga nilai-nilai yang dilekatkan pada seragam tersebut.

Dalam industri sepak bola,
penghasilan terbesar sebuah klub di luar sponsor dan jual beli pemain adalah
jualan jersey, sebutan lain untuk kaus seragam klub. Sebuah klub tentu mewakili
banyak hal: prestasi, komunitas lokal, juga nilai.

Bayangkan berapa banyak dalam
minggu-minggu ini fans membeli jersey Liverpool yang baru saja menjuarai Liga
Inggris. Jersey musim ini bukan jersey biasa saja. Ia memiliki nilai yang
langka: tentang penantian tiga puluh tahun, misalnya.

Sebagai penanda, ia berkembang
menjadi identitas. Timbal balik, seragam juga bisa menciptakan imaji kepada
yang diwakilinya. Seorang fans dengan bangga memakai jersey kesayangannya,
tentu ingin menjadi bagian dari identitas klub tersebut.

Baca Juga :  Ayo Isi Piringku dengan Pangan Lokal

Dalam hidup sehari-hari, bahkan
orang partikelir sekalipun, sulit terbebas dari seragam. Setiap Lebaran,
adik-adik saya merepotkan diri membuat baju seragam keluarga.

Setiap reuni, kita memperoleh
kaus seragam. Mau gowes hari Minggu dengan tetangga kompleks saja, kadang kita
merepotkan diri bikin seragam.

Imajinasi kita dalam banyak hal
memang membutuhkan perwujudan. Seperti produk membutuhkan merek, negara
membutuhkan lagu kebangsaan hingga bendera, seperti grup musik membutuhkan logo
nama. Seragam berfungsi kurang lebih seperti itu.

Karena seragam umumnya dikenakan
manusia, ia juga membentuk ikatan imajinasi di antara pemakainya. Yang memakai
baju tentara, tentu ia mengkhayal dirinya sebagai tentara. Yang memakai jersey
Real Madrid, ia bisa memberi batas-batas imajinasinya: ’’Saya bukan penggemar
Barcelona”, misalnya.

Di balik seragam, segala
perwujudan individu melebur menjadi perwujudan kelompok. Ketika seseorang
mengenakan jubah putih denga serban, orang lain bisa menganggapnya sebagai
’’ulama”. Melakukan tindakan kriminal pun bisa dibela hanya karena nilai-nilai
keagamaan yang melekat.

Di titik inilah kasus semacam
’’TNI gadungan tipu banyak wanita” bisa terjadi, ketika seseorang memanipulasi
imajinasi orang dengan seragam. Seperti si kerudung merah dalam cerita Charles
Perrault tertipu oleh serigala yang ’’berseragam” baju neneknya.

Seragam tak hanya menciptakan
identitas bagi sebuah kelompok di mana semua individu lebur di dalamnya. Dengan
sifatnya yang seperti itu, ia juga bisa menjadi lanskap luas tempat keunikan
individu lenyap, dan karenanya tersembunyi.

Baca Juga :  Bencana, Jangan Salahkan Alam

Bayangkan warna kulit pohon yang
menyembunyikan bunglon. Bayangkan hamparan padang rumput sabana yang kering
menyembunyikan tubuh singa. Hijau dedaunan menyembunyikan ular.

Para politikus merupakan
sekelompok orang yang paling jago mempermainkan identitas melalui baju seragam
ini, untuk menciptakan hamparan padang sabana yang ideal mengubur segala
keunikan individu. Masih ingat seragam kotak-kotak gubernur DKI? Seragam putih
kampanye Jokowi?

Partai politik sadar akan seragam
semacam ini. PDIP identik dengan segala baju berwarna merah, sebagaimana Golkar
dengan warna kuning. Seragam itu tentu, sekali lagi, mewakili imajinasi tentang
nilai-nilai politik yang diusung. Kita bergabung, memilih mereka, juga dengan
bayangan memilih nilai-nilai tersebut.

Bagaimana jika ternyata kita
tertipu oleh nilai-nilai seragam putih bersih ’’revolusi mental” ala Jokowi,
misalnya? Ya, biasa saja. Anggap saja kita gadis-gadis lugu yang mudah
terpesona oleh lelaki tegap berseragam tentara yang cuma dibeli di Tanah Abang.

Tertipu seragam itu biasa karena
ia memberi peluang untuk itu. Lagi pula, kadang kita suka menipu diri sendiri
dengan seragam. Berapa banyak suami istri bermesraan sambil bermain cosplay?
Istri pura-pura pakai baju perawat, suami pakai baju petugas ledeng? Setidaknya
di video dewasa, hal demikian terjadi.

Wong saya sendiri kadang senang
dan terharu jika di setiap kesempatan melihat Pak Presiden mengenakan pakaian
adat daerah dari berbagai tempat. Wah, saya pikir, kita sangat menghargai
keberagaman. Wah, negara sangat memperhatikan masyarakat adat. Saya bisa
menitikkan air mata saking terharu. (*)

PROKALTENG.CO – “TNI gadungan tipu banyak wanita.” Demikian berita
utama sebuah media. Modusnya gampang, cuma modal seragam, meskipun kalau
diteliti, jelas seragamnya “KW” alias palsu. Cuma modal loreng-loreng hijau.

Saya teringat berita semacam itu
setelah tempo hari ramai pembicaraan tentang pilih pacar yang berseragam.
Seragam di sini tak hanya mengacu pada tentara, tapi terutama pada kemapanan
karir orang yang mengenakannya.

Tentu untuk kebanyakan orang tak
mudah membedakan mana seragam tentara yang asli dan mana yang kaleng-kaleng.

Seragam itu tak hanya menipu
gadis-gadis lugu, tapi juga bisa memberinya sejenis hak di masyarakat yang
biasanya diperoleh tentara sungguhan.

Sebegitu ampuhnya sehelai
seragam? Ya. Seragam dalam hal tertentu seperti bahasa. Ia penanda, mewakili
berbagai predikat, sifat, nilai.

Itulah kenapa tentara sungguhan,
bahkan ketika ia pulang kampung, harus tetap memakai seragamnya agar ia juga
menjaga nilai-nilai yang dilekatkan pada seragam tersebut.

Dalam industri sepak bola,
penghasilan terbesar sebuah klub di luar sponsor dan jual beli pemain adalah
jualan jersey, sebutan lain untuk kaus seragam klub. Sebuah klub tentu mewakili
banyak hal: prestasi, komunitas lokal, juga nilai.

Bayangkan berapa banyak dalam
minggu-minggu ini fans membeli jersey Liverpool yang baru saja menjuarai Liga
Inggris. Jersey musim ini bukan jersey biasa saja. Ia memiliki nilai yang
langka: tentang penantian tiga puluh tahun, misalnya.

Sebagai penanda, ia berkembang
menjadi identitas. Timbal balik, seragam juga bisa menciptakan imaji kepada
yang diwakilinya. Seorang fans dengan bangga memakai jersey kesayangannya,
tentu ingin menjadi bagian dari identitas klub tersebut.

Baca Juga :  Ayo Isi Piringku dengan Pangan Lokal

Dalam hidup sehari-hari, bahkan
orang partikelir sekalipun, sulit terbebas dari seragam. Setiap Lebaran,
adik-adik saya merepotkan diri membuat baju seragam keluarga.

Setiap reuni, kita memperoleh
kaus seragam. Mau gowes hari Minggu dengan tetangga kompleks saja, kadang kita
merepotkan diri bikin seragam.

Imajinasi kita dalam banyak hal
memang membutuhkan perwujudan. Seperti produk membutuhkan merek, negara
membutuhkan lagu kebangsaan hingga bendera, seperti grup musik membutuhkan logo
nama. Seragam berfungsi kurang lebih seperti itu.

Karena seragam umumnya dikenakan
manusia, ia juga membentuk ikatan imajinasi di antara pemakainya. Yang memakai
baju tentara, tentu ia mengkhayal dirinya sebagai tentara. Yang memakai jersey
Real Madrid, ia bisa memberi batas-batas imajinasinya: ’’Saya bukan penggemar
Barcelona”, misalnya.

Di balik seragam, segala
perwujudan individu melebur menjadi perwujudan kelompok. Ketika seseorang
mengenakan jubah putih denga serban, orang lain bisa menganggapnya sebagai
’’ulama”. Melakukan tindakan kriminal pun bisa dibela hanya karena nilai-nilai
keagamaan yang melekat.

Di titik inilah kasus semacam
’’TNI gadungan tipu banyak wanita” bisa terjadi, ketika seseorang memanipulasi
imajinasi orang dengan seragam. Seperti si kerudung merah dalam cerita Charles
Perrault tertipu oleh serigala yang ’’berseragam” baju neneknya.

Seragam tak hanya menciptakan
identitas bagi sebuah kelompok di mana semua individu lebur di dalamnya. Dengan
sifatnya yang seperti itu, ia juga bisa menjadi lanskap luas tempat keunikan
individu lenyap, dan karenanya tersembunyi.

Baca Juga :  Bencana, Jangan Salahkan Alam

Bayangkan warna kulit pohon yang
menyembunyikan bunglon. Bayangkan hamparan padang rumput sabana yang kering
menyembunyikan tubuh singa. Hijau dedaunan menyembunyikan ular.

Para politikus merupakan
sekelompok orang yang paling jago mempermainkan identitas melalui baju seragam
ini, untuk menciptakan hamparan padang sabana yang ideal mengubur segala
keunikan individu. Masih ingat seragam kotak-kotak gubernur DKI? Seragam putih
kampanye Jokowi?

Partai politik sadar akan seragam
semacam ini. PDIP identik dengan segala baju berwarna merah, sebagaimana Golkar
dengan warna kuning. Seragam itu tentu, sekali lagi, mewakili imajinasi tentang
nilai-nilai politik yang diusung. Kita bergabung, memilih mereka, juga dengan
bayangan memilih nilai-nilai tersebut.

Bagaimana jika ternyata kita
tertipu oleh nilai-nilai seragam putih bersih ’’revolusi mental” ala Jokowi,
misalnya? Ya, biasa saja. Anggap saja kita gadis-gadis lugu yang mudah
terpesona oleh lelaki tegap berseragam tentara yang cuma dibeli di Tanah Abang.

Tertipu seragam itu biasa karena
ia memberi peluang untuk itu. Lagi pula, kadang kita suka menipu diri sendiri
dengan seragam. Berapa banyak suami istri bermesraan sambil bermain cosplay?
Istri pura-pura pakai baju perawat, suami pakai baju petugas ledeng? Setidaknya
di video dewasa, hal demikian terjadi.

Wong saya sendiri kadang senang
dan terharu jika di setiap kesempatan melihat Pak Presiden mengenakan pakaian
adat daerah dari berbagai tempat. Wah, saya pikir, kita sangat menghargai
keberagaman. Wah, negara sangat memperhatikan masyarakat adat. Saya bisa
menitikkan air mata saking terharu. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru