25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Hak Warga Indonesia untuk Mengenal Sejarahnya

Setiap bulan Mei dan Juni, jadwal saya lebih penuh dibandingkan bulan-bulan lainnya. Ini disebabkan banyak institusi, kampus, dan lembaga kebudayaan yang mengundang untuk berbincang mengenai reformasi dengan mengambil latar belakang novel Laut Bercerita.

NOVEL ini terbit Desember 2017 dan dari tahun ke tahun selalu saja ada ”pembaca baru” –yang ternyata generasi yang lahir setelah tahun 2000– memberi komentar bahwa mereka sangat terkejut dengan berbagai ”fakta” yang tercantum dalam novel tersebut. Antara lain bagaimana di masa Orde Baru mereka yang mendiskusikan buku Pramoedya Ananta Toer atau betapa Kejaksaan Agung mempunyai wewenang melarang peredaran buku. Dan yang paling mengejutkan mereka adalah bagaimana aparat di masa lalu, para mahasiswa, dan aktivis yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru mengalami kekerasan.

Salah satu hal yang membuat generasi milenial dan generasi Z masih terkejut-kejut saat membaca karya fiksi sejarah, demikianlah sebutan dari pembaca, tentu saja karena pelajaran sejarah di sekolah sampai saat ini belum mengurai secara lengkap dengan analisis apa yang sesungguhnya terjadi di bulan Mei 1998.

Di dalam diskusi Reformasi: Pemutaran Film dan Diskusi yang diselenggarakan RumataArtSpace akhir Mei lalu, Prof Melani Budianta, guru besar Universitas Indonesia yang menjadi salah satu pembahas novel (dan film pendek) Laut Bercerita, menyampaikan bahwa soal penculikan dan penghilangan paksa adalah satu dari begitu banyak kekerasan yang terjadi pada bulan Mei: penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan tiga hari yang terasa tak sekadar sebagai ”akibat sporadis” belaka, dan memakan begitu banyak korban nyawa dan harta akibat pembakaran. Di samping itu, peristiwa yang selama ini ”terbungkam” adalah perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa yang selama ini masih dianggap ”tak terbukti” yang kemudian kelak dilanjutkan lagi dengan Tragedi Semanggi.

Penyelesaian dan pertanggungjawaban atas peristiwa Mei 1998 yang menggantung di udara seperti halnya kekerasan yang terjadi di Indonesia di tahun 1965–1966 adalah hal-hal yang hanya bisa dibaca dari buku-buku penelitian para akademikus, karya jurnalistik yang secara berkala menerbitkan edisi khusus sebagai peringatan. Cara lain untuk ”mencari” atau mengulik sejarah masa lalu tampaknya dilakukan dengan menikmati karya seni seperti berbagai karya fiksi Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iksaka Banu, Ratna Indraswari Ibrahim, hingga karya panggung (salah satunya adalah Clara: Sebuah Opera Penggalan Kisah Tragedi Mei 1998 yang diadaptasi musikus Ananda Sukarlan dari cerita pendek Seno Gumira Ajidarma). Harus diingat, para siswa SD, SMP, dan SMA masih menerima versi ringkas dari apa yang terjadi pada tahun 1998 yang kurang lebih isinya hanya pernyataan pengunduran diri Presiden Soeharto.

Baca Juga :  Simak Empat Manfaat Luar Biasa dari Berpegangan Tangan

Pemerintah dan sejarawan sudah pasti mempunyai alasan tersendiri –yang tidak sekadar akademis, tetapi politis– untuk tak kunjung melakukan revisi atau bahkan mengisi sejarah Indonesia kontemporer. Apa pun alasan mereka, pada akhirnya generasi muda Indonesia akan tetap bernasib seperti generasi saya (yang lahir di tahun 1960-an) yang dicabut haknya untuk memperoleh akses sejarah yang lengkap, jujur, terbuka, dan objektif.

Bahwa karya jurnalistik –katakanlah seperti edisi khusus majalah Tempo yang senantiasa membuat laporan panjang pada hari-hari bersejarah seperti Kartini atau Soekarno atau Hatta atau 17 Agustus serta film dokumenter yang juga sering diproduksi berbagai televisi nasional atau majalah Historia dan Tirto.id– tentu saja lebih merupakan informasi penting yang akhirnya bisa mengisi sebagian ”kekosongan sejarah tertulis”.

Tetapi, apa yang disajikan media tentu saja tak cukup karena materi tersebut masih merupakan pengumpulan materi yang dilakukan berdasar prinsip jurnalistik. Meski prinsip cek dan ricek sudah dilakukan, berbagai elemen masyarakat masih merasa mencari validitas dari liputan, atau minimal masih bertanya-tanya sejauh apa kebenaran liputan tersebut. Terlebih membaca liputan media merupakan ”pilihan”, sedangkan membaca pelajaran sejarah di sekolah seharusnya merupakan kewajiban kita.

Hal lain yang menjadi menarik adalah bagaimana pembaca generasi milenial (yang lahir dari tahun 1981–1996) dan generasi Z (lahir 1997–2012) kini memperlakukan pelbagai buku fiksi dan nonfiksi sebagai pengisi kekosongan sejarah itu. Genre yang biasa disematkan pada berbagai novel ini adalah historical fiction atau fiksi sejarah yang berarti penekanan hasil kerja ini adalah fiksi. Tokoh-tokohnya, terlepas memang terinspirasi dari tokoh nyata, tetap sebuah sosok bentukan baru dengan jagat baru. Bahwa kemudian ada unsur ”sejarah” di dalam nama genre itu, karena setting yang digunakan adalah tempat dan periode di sebuah negara yang saat itu tengah mengalami sebuah tonggak sejarah. Karena itu, pada akhirnya pembaca tetap tengah berada di dunia fiktif, dunia kehidupan kedua –menggunakan istilah sastrawan Turki Orhan Pamuk– dunia rekaan yang mungkin saja terasa begitu ”dekat” dengan pembaca.

Baca Juga :  Ketersinggungan dan Bom Waktu

Jika seorang atau lebih pembaca merasa ”belajar banyak” tentang sebuah masa karena novel yang dinikmatinya, atau ”merasa tambah pengetahuan”, atau mengaku bahwa dia jadi tertarik mencari tahu lebih dalam tentang Aksi Kamisan dan berita lama soal penculikan, itu adalah reaksi yang bagus. Namun, tak berarti fungsi pengetahuan sejarah sang pembaca (Indonesia) sudah terpenuhi hanya dengan membaca media dan karya fiksi.

Sekali lagi, fungsi fiksi (meski dengan genre fiksi sejarah) selain untuk menikmati storytelling adalah mengasah nurani. Fiksi (sejarah) sama sekali bukan untuk mengisi kekosongan sejarah kontemporer, apalagi menggantikan. Sejarah adalah sebuah studi ilmiah tentang peristiwa penting di masa lalu. Tentu saja dalam penulisan sejarah para penguasa cenderung menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan tekanan penulisan. Ini hal klise yang nyata. Namun, yang diharapkan di masa reformasi ini adalah kalangan akademis mampu memperlihatkan harkat dan wewenang mereka dalam penyusunan sejarah kontemporer Indonesia dan berani berhadapan dan bernegosiasi dengan para penguasa.

Dan kami para penulis fiksi akan tetap menggunakan imajinasi kami untuk membangun jagat baru dan menulis untuk mengasah nurani. (*)

(LEILA S. CHUDORI. Jurnalis dan penulis)

Setiap bulan Mei dan Juni, jadwal saya lebih penuh dibandingkan bulan-bulan lainnya. Ini disebabkan banyak institusi, kampus, dan lembaga kebudayaan yang mengundang untuk berbincang mengenai reformasi dengan mengambil latar belakang novel Laut Bercerita.

NOVEL ini terbit Desember 2017 dan dari tahun ke tahun selalu saja ada ”pembaca baru” –yang ternyata generasi yang lahir setelah tahun 2000– memberi komentar bahwa mereka sangat terkejut dengan berbagai ”fakta” yang tercantum dalam novel tersebut. Antara lain bagaimana di masa Orde Baru mereka yang mendiskusikan buku Pramoedya Ananta Toer atau betapa Kejaksaan Agung mempunyai wewenang melarang peredaran buku. Dan yang paling mengejutkan mereka adalah bagaimana aparat di masa lalu, para mahasiswa, dan aktivis yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru mengalami kekerasan.

Salah satu hal yang membuat generasi milenial dan generasi Z masih terkejut-kejut saat membaca karya fiksi sejarah, demikianlah sebutan dari pembaca, tentu saja karena pelajaran sejarah di sekolah sampai saat ini belum mengurai secara lengkap dengan analisis apa yang sesungguhnya terjadi di bulan Mei 1998.

Di dalam diskusi Reformasi: Pemutaran Film dan Diskusi yang diselenggarakan RumataArtSpace akhir Mei lalu, Prof Melani Budianta, guru besar Universitas Indonesia yang menjadi salah satu pembahas novel (dan film pendek) Laut Bercerita, menyampaikan bahwa soal penculikan dan penghilangan paksa adalah satu dari begitu banyak kekerasan yang terjadi pada bulan Mei: penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan tiga hari yang terasa tak sekadar sebagai ”akibat sporadis” belaka, dan memakan begitu banyak korban nyawa dan harta akibat pembakaran. Di samping itu, peristiwa yang selama ini ”terbungkam” adalah perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa yang selama ini masih dianggap ”tak terbukti” yang kemudian kelak dilanjutkan lagi dengan Tragedi Semanggi.

Penyelesaian dan pertanggungjawaban atas peristiwa Mei 1998 yang menggantung di udara seperti halnya kekerasan yang terjadi di Indonesia di tahun 1965–1966 adalah hal-hal yang hanya bisa dibaca dari buku-buku penelitian para akademikus, karya jurnalistik yang secara berkala menerbitkan edisi khusus sebagai peringatan. Cara lain untuk ”mencari” atau mengulik sejarah masa lalu tampaknya dilakukan dengan menikmati karya seni seperti berbagai karya fiksi Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iksaka Banu, Ratna Indraswari Ibrahim, hingga karya panggung (salah satunya adalah Clara: Sebuah Opera Penggalan Kisah Tragedi Mei 1998 yang diadaptasi musikus Ananda Sukarlan dari cerita pendek Seno Gumira Ajidarma). Harus diingat, para siswa SD, SMP, dan SMA masih menerima versi ringkas dari apa yang terjadi pada tahun 1998 yang kurang lebih isinya hanya pernyataan pengunduran diri Presiden Soeharto.

Baca Juga :  Simak Empat Manfaat Luar Biasa dari Berpegangan Tangan

Pemerintah dan sejarawan sudah pasti mempunyai alasan tersendiri –yang tidak sekadar akademis, tetapi politis– untuk tak kunjung melakukan revisi atau bahkan mengisi sejarah Indonesia kontemporer. Apa pun alasan mereka, pada akhirnya generasi muda Indonesia akan tetap bernasib seperti generasi saya (yang lahir di tahun 1960-an) yang dicabut haknya untuk memperoleh akses sejarah yang lengkap, jujur, terbuka, dan objektif.

Bahwa karya jurnalistik –katakanlah seperti edisi khusus majalah Tempo yang senantiasa membuat laporan panjang pada hari-hari bersejarah seperti Kartini atau Soekarno atau Hatta atau 17 Agustus serta film dokumenter yang juga sering diproduksi berbagai televisi nasional atau majalah Historia dan Tirto.id– tentu saja lebih merupakan informasi penting yang akhirnya bisa mengisi sebagian ”kekosongan sejarah tertulis”.

Tetapi, apa yang disajikan media tentu saja tak cukup karena materi tersebut masih merupakan pengumpulan materi yang dilakukan berdasar prinsip jurnalistik. Meski prinsip cek dan ricek sudah dilakukan, berbagai elemen masyarakat masih merasa mencari validitas dari liputan, atau minimal masih bertanya-tanya sejauh apa kebenaran liputan tersebut. Terlebih membaca liputan media merupakan ”pilihan”, sedangkan membaca pelajaran sejarah di sekolah seharusnya merupakan kewajiban kita.

Hal lain yang menjadi menarik adalah bagaimana pembaca generasi milenial (yang lahir dari tahun 1981–1996) dan generasi Z (lahir 1997–2012) kini memperlakukan pelbagai buku fiksi dan nonfiksi sebagai pengisi kekosongan sejarah itu. Genre yang biasa disematkan pada berbagai novel ini adalah historical fiction atau fiksi sejarah yang berarti penekanan hasil kerja ini adalah fiksi. Tokoh-tokohnya, terlepas memang terinspirasi dari tokoh nyata, tetap sebuah sosok bentukan baru dengan jagat baru. Bahwa kemudian ada unsur ”sejarah” di dalam nama genre itu, karena setting yang digunakan adalah tempat dan periode di sebuah negara yang saat itu tengah mengalami sebuah tonggak sejarah. Karena itu, pada akhirnya pembaca tetap tengah berada di dunia fiktif, dunia kehidupan kedua –menggunakan istilah sastrawan Turki Orhan Pamuk– dunia rekaan yang mungkin saja terasa begitu ”dekat” dengan pembaca.

Baca Juga :  Ketersinggungan dan Bom Waktu

Jika seorang atau lebih pembaca merasa ”belajar banyak” tentang sebuah masa karena novel yang dinikmatinya, atau ”merasa tambah pengetahuan”, atau mengaku bahwa dia jadi tertarik mencari tahu lebih dalam tentang Aksi Kamisan dan berita lama soal penculikan, itu adalah reaksi yang bagus. Namun, tak berarti fungsi pengetahuan sejarah sang pembaca (Indonesia) sudah terpenuhi hanya dengan membaca media dan karya fiksi.

Sekali lagi, fungsi fiksi (meski dengan genre fiksi sejarah) selain untuk menikmati storytelling adalah mengasah nurani. Fiksi (sejarah) sama sekali bukan untuk mengisi kekosongan sejarah kontemporer, apalagi menggantikan. Sejarah adalah sebuah studi ilmiah tentang peristiwa penting di masa lalu. Tentu saja dalam penulisan sejarah para penguasa cenderung menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan tekanan penulisan. Ini hal klise yang nyata. Namun, yang diharapkan di masa reformasi ini adalah kalangan akademis mampu memperlihatkan harkat dan wewenang mereka dalam penyusunan sejarah kontemporer Indonesia dan berani berhadapan dan bernegosiasi dengan para penguasa.

Dan kami para penulis fiksi akan tetap menggunakan imajinasi kami untuk membangun jagat baru dan menulis untuk mengasah nurani. (*)

(LEILA S. CHUDORI. Jurnalis dan penulis)

Terpopuler

Artikel Terbaru