32.7 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Merasa Benar dan Merasa Salah

KETIKA saya berkunjung ke Ho Chi Minh tempo
hari, saya melihat lalu lintas di kota itu jauh lebih semrawut daripada
Jakarta. Tapi, pada saat bersamaan, jarang saya mendengar keributan karena
kekacauan itu.

Saking semrawutnya, pernah taksi daring yang saya pakai terjebak di
pertigaan.

Lalu lintas terkunci karena dari semua arah kendaraan saling menyerobot.
Sepeda motor naik ke trotoar, juga terjebak saling berhadap-hadapan dengan
sesamanya yang melawan arus.

Dari balik kaca mobil, saya memandangi kesemrawutan itu dengan takjub. Tak
ada pengemudi yang keluar dan ngomel-ngomel ke mobil di depannya. Hanya satu
dua yang memijit klakson, itu pun terdengar malas. Tak ada pak ogah maupun
polisi yang datang untuk mengurai keadaan.

Taksi daring saya berhasil keluar dari jebakan tersebut dengan memutar ke
kanan, melawan arus, padahal niatnya belok ke kiri. Itu pun nyaris serempetan
dengan bus. Sopir bus tetap melajukan busnya dengan pelan. Taksi daring saya
pun tetap melaju, hanya menyisakan cukup ruang untuk kaca spion saja.

Penasaran, saya bertanya kepada si pengemudi taksi daring itu, ”Kenapa
kalian tidak marah? Ada orang menyerobot lampu merah. Ada yang melawan arus.
Ada yang naik trotoar. Saya heran kenapa kalian tenang-tenang saja?”

Jawaban sopir taksi daring itu mengejutkan saya, meskipun dikatakannya
sambil tertawa: ”Karena semua orang tahu dirinya salah.”

Tiba-tiba saya membayangkan skenario yang berbeda. Bayangkan jika para
pengemudi itu semuanya merasa benar. Yang bergerak selepas lampu hijau akan
keluar dari mobil dan memaki mobil yang menerobos lampu merah. Tapi, si
penerobos lampu merah merasa benar juga, karena lampunya ”terlalu cepat ganti”.

Baca Juga :  Kisah Wartawan Istana, Ani Yudhoyono dan Jus Kacang Hijau

Perang mulut dan perang klakson akan terjadi. Bahkan gebrak-gebrakan di
kaca mobil. Itu sering saya lihat di jalanan Jakarta, di mana mantra baru
diciptakan: ”Lo yang salah, lo yang marah.”

Kalau dipikir-pikir, betul juga. Konflik sering kali terjadi ketika dua
pihak atau lebih sama-sama merasa benar, atau mengklaim diri/kelompoknya lebih
benar dari yang lain. Klaim kebenaran sering kali tak memerlukan bukti, tapi
orang bisa memperjuangkannya, mengorbankan apa pun, demi klaim tersebut.

Mereka bersedia adu jotos di jalanan, jika menyangkut orang per orang. Atau
saling lempar rudal, jika itu terjadi antarnegara.

Di kisah Mahabharata, konflik antara keluarga Pandawa dan Kurawa juga bisa
disederhanakan karena kedua pihak sama-sama mengklaim kebenaran versi
masing-masing. Keluarga Kurawa merasa berhak sebagai ahli waris kerajaan karena
ayah mereka adalah raja. Keluarga Pandawa juga merasa berhak karena ayah
keluarga Kurawa buta dan tak berhak jadi raja.

Siapa yang lebih benar? Mereka harus memutuskannya dalam perang besar yang
penuh tragedi dan pertumpahan darah. Sebuah perang yang nyaris menyerupai
perang dunia, karena melibatkan begitu banyak sekutu di kedua pihak.

Begitu juga dalam kisah legenda dua murid Aji Saka. Kedua muridnya
bertengkar karena sama-sama merasa benar. Yang pertama merasa benar karena
bersikukuh pada perintah sang guru untuk diam menjaga pusaka. Yang kedua merasa
benar karena juga bersikukuh pada perintah sang guru untuk pergi menemui guru
mereka. Keduanya akhirnya bertarung hingga maut menjemput.

Siapa di antara mereka yang benar? Bahkan jika ternyata keduanya berada
dalam kebenaran masing-masing, apa gunanya ketika keduanya sudah berkalang
tanah? Kematian mereka pada akhirnya menjadi sejenis tragedi, yang tentu
disesali sang guru. Perkelahian mereka, saya rasa, tak akan terjadi jika
keduanya merasa bersalah.

Baca Juga :  Rasa Daging Manusia Menurut Para Kanibal – Part 7: Armin Meiwas

Tapi, tunggu. Sikap merasa bersalah mungkin akan mengurangi banyak konflik
atau pertengkaran, bahkan peperangan. Kita sering mendengar di perbincangan
sesama kawan atau pasangan, ”Sudahlah, kita sama-sama salah.” Lalu, perdamaian
tercipta. Atau, setidaknya mereka sama-sama terdiam dan menyesali kesalahan
masing-masing.

Meskipun begitu, sikap untuk selalu sama-sama merasa salah seperti yang
saya saksikan di pertigaan Ho Chi Minh adalah kesemrawutan. Kesalahan
dinormalisasi. Orang menjadi permisif kepada kesalahan. Orang merasa bebas
berbuat salah, karena tahu orang lain juga berbuat salah, dan tak ada yang merasa
berhak untuk memperbaikinya.

Saya tak merasa sikap merasa salah merupakan antitesis yang baik untuk
sikap merasa benar.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari tradisi dan praktik keilmuan di mana
sikap merasa benar dan salah diberlakukan bersamaan. Tanpa sikap merasa benar,
kita tak akan menemukan perdebatan sengit saling merontokkan argumen. Tapi,
tanpa sikap merasa salah, kita juga tak akan menyaksikan ilmu pengetahuan terus
mengoreksi dirinya sendiri, menguji dan mengumpulkan bukti-bukti pendukung
argumennya.

Merasa benar dan salah hanya bisa terjadi dengan sehat jika ia memiliki
batas. Dan batas itu sangat sederhana: sebuah kerendahan hati untuk berhenti di
titik ”jika terbukti sebaliknya”. Silakan merasa benar, sampai terbukti
sebaliknya. Silakan merasa salah, juga sampai terbukti sebaliknya.

Dengan begitu, kita tak juga perlu menciptakan mantra baru, ”Gue yang
bener, gue yang minta maaf.” (***)

(Penulis adalah novelis dan essais)

KETIKA saya berkunjung ke Ho Chi Minh tempo
hari, saya melihat lalu lintas di kota itu jauh lebih semrawut daripada
Jakarta. Tapi, pada saat bersamaan, jarang saya mendengar keributan karena
kekacauan itu.

Saking semrawutnya, pernah taksi daring yang saya pakai terjebak di
pertigaan.

Lalu lintas terkunci karena dari semua arah kendaraan saling menyerobot.
Sepeda motor naik ke trotoar, juga terjebak saling berhadap-hadapan dengan
sesamanya yang melawan arus.

Dari balik kaca mobil, saya memandangi kesemrawutan itu dengan takjub. Tak
ada pengemudi yang keluar dan ngomel-ngomel ke mobil di depannya. Hanya satu
dua yang memijit klakson, itu pun terdengar malas. Tak ada pak ogah maupun
polisi yang datang untuk mengurai keadaan.

Taksi daring saya berhasil keluar dari jebakan tersebut dengan memutar ke
kanan, melawan arus, padahal niatnya belok ke kiri. Itu pun nyaris serempetan
dengan bus. Sopir bus tetap melajukan busnya dengan pelan. Taksi daring saya
pun tetap melaju, hanya menyisakan cukup ruang untuk kaca spion saja.

Penasaran, saya bertanya kepada si pengemudi taksi daring itu, ”Kenapa
kalian tidak marah? Ada orang menyerobot lampu merah. Ada yang melawan arus.
Ada yang naik trotoar. Saya heran kenapa kalian tenang-tenang saja?”

Jawaban sopir taksi daring itu mengejutkan saya, meskipun dikatakannya
sambil tertawa: ”Karena semua orang tahu dirinya salah.”

Tiba-tiba saya membayangkan skenario yang berbeda. Bayangkan jika para
pengemudi itu semuanya merasa benar. Yang bergerak selepas lampu hijau akan
keluar dari mobil dan memaki mobil yang menerobos lampu merah. Tapi, si
penerobos lampu merah merasa benar juga, karena lampunya ”terlalu cepat ganti”.

Baca Juga :  Kisah Wartawan Istana, Ani Yudhoyono dan Jus Kacang Hijau

Perang mulut dan perang klakson akan terjadi. Bahkan gebrak-gebrakan di
kaca mobil. Itu sering saya lihat di jalanan Jakarta, di mana mantra baru
diciptakan: ”Lo yang salah, lo yang marah.”

Kalau dipikir-pikir, betul juga. Konflik sering kali terjadi ketika dua
pihak atau lebih sama-sama merasa benar, atau mengklaim diri/kelompoknya lebih
benar dari yang lain. Klaim kebenaran sering kali tak memerlukan bukti, tapi
orang bisa memperjuangkannya, mengorbankan apa pun, demi klaim tersebut.

Mereka bersedia adu jotos di jalanan, jika menyangkut orang per orang. Atau
saling lempar rudal, jika itu terjadi antarnegara.

Di kisah Mahabharata, konflik antara keluarga Pandawa dan Kurawa juga bisa
disederhanakan karena kedua pihak sama-sama mengklaim kebenaran versi
masing-masing. Keluarga Kurawa merasa berhak sebagai ahli waris kerajaan karena
ayah mereka adalah raja. Keluarga Pandawa juga merasa berhak karena ayah
keluarga Kurawa buta dan tak berhak jadi raja.

Siapa yang lebih benar? Mereka harus memutuskannya dalam perang besar yang
penuh tragedi dan pertumpahan darah. Sebuah perang yang nyaris menyerupai
perang dunia, karena melibatkan begitu banyak sekutu di kedua pihak.

Begitu juga dalam kisah legenda dua murid Aji Saka. Kedua muridnya
bertengkar karena sama-sama merasa benar. Yang pertama merasa benar karena
bersikukuh pada perintah sang guru untuk diam menjaga pusaka. Yang kedua merasa
benar karena juga bersikukuh pada perintah sang guru untuk pergi menemui guru
mereka. Keduanya akhirnya bertarung hingga maut menjemput.

Siapa di antara mereka yang benar? Bahkan jika ternyata keduanya berada
dalam kebenaran masing-masing, apa gunanya ketika keduanya sudah berkalang
tanah? Kematian mereka pada akhirnya menjadi sejenis tragedi, yang tentu
disesali sang guru. Perkelahian mereka, saya rasa, tak akan terjadi jika
keduanya merasa bersalah.

Baca Juga :  Rasa Daging Manusia Menurut Para Kanibal – Part 7: Armin Meiwas

Tapi, tunggu. Sikap merasa bersalah mungkin akan mengurangi banyak konflik
atau pertengkaran, bahkan peperangan. Kita sering mendengar di perbincangan
sesama kawan atau pasangan, ”Sudahlah, kita sama-sama salah.” Lalu, perdamaian
tercipta. Atau, setidaknya mereka sama-sama terdiam dan menyesali kesalahan
masing-masing.

Meskipun begitu, sikap untuk selalu sama-sama merasa salah seperti yang
saya saksikan di pertigaan Ho Chi Minh adalah kesemrawutan. Kesalahan
dinormalisasi. Orang menjadi permisif kepada kesalahan. Orang merasa bebas
berbuat salah, karena tahu orang lain juga berbuat salah, dan tak ada yang merasa
berhak untuk memperbaikinya.

Saya tak merasa sikap merasa salah merupakan antitesis yang baik untuk
sikap merasa benar.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari tradisi dan praktik keilmuan di mana
sikap merasa benar dan salah diberlakukan bersamaan. Tanpa sikap merasa benar,
kita tak akan menemukan perdebatan sengit saling merontokkan argumen. Tapi,
tanpa sikap merasa salah, kita juga tak akan menyaksikan ilmu pengetahuan terus
mengoreksi dirinya sendiri, menguji dan mengumpulkan bukti-bukti pendukung
argumennya.

Merasa benar dan salah hanya bisa terjadi dengan sehat jika ia memiliki
batas. Dan batas itu sangat sederhana: sebuah kerendahan hati untuk berhenti di
titik ”jika terbukti sebaliknya”. Silakan merasa benar, sampai terbukti
sebaliknya. Silakan merasa salah, juga sampai terbukti sebaliknya.

Dengan begitu, kita tak juga perlu menciptakan mantra baru, ”Gue yang
bener, gue yang minta maaf.” (***)

(Penulis adalah novelis dan essais)

Terpopuler

Artikel Terbaru