PLANET Sebuah
Lament adalah karya terbaru Garin Nugroho sebagai sutradara panggung yang
dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada akhir pekan ini.
Pementasan di Jakarta tersebut menjadi pembuka dari serangkaian
pertunjukan Planet Sebuah Lament ke beberapa negara mulai bulan
depan. Dalam karya ini, Garin banyak mengambil bentuk-bentuk perpaduan budaya
dari kawasan timur Indonesia.
’’Februari nanti karya
ini akan dipentaskan di Melbourne,’’ terang Garin. Rencananya, Planet
Sebuah Lament akan hadir sebagai pembuka ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial
of Performing Arts) pada pertengahan bulan depan di Melbourne, Australia. Dalam
karya ini, Garin didukung oleh tim kerja dari berbagai negara yang disiapkan
oleh Arts Centre Melbourne untuk Asia TOPA 2020.
Setelah Australia,
karya yang memadukan unsur-unsur film, tari, musik hingga teater ini akan
dipanggungkan di Dusseldorf, Jerman dan Amsterdam,
Belanda. Lament yang dalam Bahasa Indonesia berarti ratapan kepedihan
secara langsung menempatkan kerusakan bumi dan alam oleh tingkah manusia
sebagai nadi utama pertunjukan. Persoalan lingkungan hidup yang rumpang menjadi
tema besar karya ini. Pada tiap pergantian babak, paduan suara dan musik yang
pilu menjadi bagian penting untuk menyambungkan narasi cerita.
Naskah pertunjukan ini
ditulis oleh sutradara teater dan opera asal Melbourne, Michael Kantor. Pada
bagian koreografi, ada nama-nama seniman tari seperti Joy Alpuerto Ritter,
Otniel Tasman, dan Boogie Papeda yang ikut bergabung. Mereka banyak
menggabungkan elemen koreografi tubuh yang berasal dari tradisi Nusa Tenggara
Timur (NTT) hingga Papua.
Sebagai
penari, Planet Sebuah Lament didukung oleh seniman dari beberapa
daerah berbeda di Indonesia. Ada Douglas D’Krumpers, Pricillia E.M Rumbiak,
Bekham Dwaa (Papua), Rianto (Solo), dan Galabby (Jakarta). Musik pertunjukan
ini dikerjakan oleh Septina Layan, Taufik Adam, dan Nursalim Yadi Anugerah,
sementara komposisi paduan suara digawangi oleh Mazmur Chorale Choir dari
Kupang.
Planet Sebuah
Lament bukanlah pertunjukan yang mengandalkan percakapan verbal. Namun
begitu, bukan berarti karya ini tidak menyodorkan cerita yang tak teraba oleh
penontonnya. Secara ringkas, karya ini mengisahkan situasi kalut usai terjangan
tsunami dan hanya ada sebutir telur sebagai simbol keberlanjutan hidup, sumber
pangan, dan energi yang tersisa bagi manusia.
Di saat sama, segala
sampah tak terurai seperti plastik hasil ciptaan manusia telah berubah menjadi
monster pemburu sebutir telur tersebut. Alam yang telah rumpang dan ratapan
kepedihan di sekitarnya dalam Planet Sebuah Lament pada akhirnya
menjadi peristiwa panggung yang mengetuk kesadaran penontonnya agar bersikap
bijak terhadap bumi dan seisinya. (jpc)