26.7 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Tiongkok, Antara Bisnis dan Ideologi

PERKEMBANGAN bisnis di Tiongkok memang tidak bisa diduga-duga oleh
masyarakat global. Pada umumnya, ikon bisnis yang membesar akan
dibangga-banggakan oleh negaranya. Menjadi kebanggaan karena turut mengharumkan
tanah air. Namun, ini tidak terjadi di Negara Tirai Bambu tersebut.

Yang terjadi, ikon bisnis yang
sedang mekar-mekarnya seperti Ant Group baru-baru ini malah di-take down paksa,
padahal hanya beberapa hari akan mengumumkan listing di bursa Shanghai dan
Hongkong. Jutaan investor global panik. Unicorn Ant Group akhirnya batal IPO
dan rugi sampai USD 37 miliar.

Bank sentral Tiongkok, PBoC,
menekan Ant Group untuk merombak bisnis dan kemudian diinvestigasi karena
dugaan sangat kuat melakukan praktik monopoli sejak akhir 2020. Kerugian Ant
Group tidak kepalang karena dihantam pemerintahnya sendiri. Nilai kapitalisasinya
melorot dari semula USD 280 miliar menjadi USD 108 miliar dan terus terjun
bebas sampai sekarang.

Tidak dinyana oleh publik dunia,
penyelidik Tiongkok mendakwa Ant Group dengan sejumlah pelanggaran. Yakni,
melabrak peraturan keuangan, menerjang bisnis kredit, melanggar asuransi, dan
pelanggaran praktik bisnis pengelolaan manajemen kekayaan. PBoC akhirnya
memaksa Ant Group untuk memisahkan bisnisnya, wajib memenuhi kecukupan modal,
dan sekali lagi tidak terkecuali Ant Group wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan Tiongkok. Tidak ada hak istimewa atau privilese bagi Ant
Group, unicorn (seharusnya kebanggaan) bagi Tiongkok tersebut.

Tidak berhenti di Ant Group,
pemerintah Tiongkok makin membabi buta membersihkan iklim bisnis berplatform
teknologi. Regulator internet Tiongkok baru saja merilis aturan antimonopoli
untuk bisnis e-commerce yang pemain terbesarnya Alibaba. Terbaru, mereka bahkan
menjatuhkan sanksi denda kepada 12 korporasi teknologinya karena pelanggaran
terkait dengan 10 kesepakatan dan menunjukkan adanya perilaku monopoli. Sanksi
itu kini merembet ke unicorn lain. Yakni, Baidu Inc, Tencent Holdings, Didi
Chuxing, SoftBank, dan sejumlah start-up yang didanai oleh ByteDance.

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Ideologi Lebih Penting

Yang menggemparkan adalah cara
pemerintah Tiongkok dalam memberangus kedigdayaan Jack Ma, tokoh ajaib abad ini
yang terkenal di dunia. Ma yang mendapatkan kepopuleran dari perkembangan
teknologi memang menjadi tinggi hati dengan mengklaim melakukan apa saja karena
otak encernya. Ditambah pundi-pundi hartanya, Ma memang tidak diragukan lagi
mampu mengatur apa saja.

Kebablasan Ma terjadi saat pidato
mengkritik sistem keuangan Tiongkok pada akhir Oktober 2020. Jack Ma hilang
sejak saat itu dan baru muncul 50 detik pada 20 Januari 2021. Pemerintah
Tiongkok bahkan lebih digdaya. Ma hilang selama tiga bulan dan tidak ada satu
pun kecanggihan teknologi Alibaba atau Ant Group yang mampu mendeteksi
keberadaan Ma.

Dalam sejarahnya, Tiongkok sering
sekali menghilangkan tokoh ajaib warga negaranya sendiri. Misalnya, pebisnis
e-commerce Colin Huang, pendiri Tencent Holdings Pony Ma, pebisnis pembuat AMDK
Zhong Shanshan dari Nongfu Spring, dan pendiri Alibaba dan Ant Group Jack Ma
yang baru-baru saja terjadi.

Saat ini Ma adalah orang kaya
ke-20 kelas dunia versi Forbes dan menjadi orang terkaya ke-4 di daratan
Tiongkok. Sebelum insiden Ant Group, Ma seharusnya orang terkaya nomor satu di
Tiongkok. Apa pun bisa dibeli, siapa pun bisa diatur karena uang Ma, karena itu
Ma menjadi lepas kendali dan menuding PBoC sudah outdate atau tidak update
dengan perkembangan zaman.

Ini tentu saja karena Ma merasa
bisa menjadi pengatur lalu lintas keuangan global karena memang sudah bisa
dibuktikan dengan ratusan perusahaan fintech-nya yang selalu menjadi fenomena.
Kecerdasannya mampu menjadikan Alibaba waralaba modern pertama di dunia yang
dioperasikan mandiri oleh robot.

Secara matematis, jika
dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia, orang kaya Indonesia notabene
dapat mengatur segalanya, sesumbar Ma sebetulnya bisa diterima. Hanya, Ma salah
perhitungan dengan sistem politik ekonomi Tiongkok yang masih menggunakan
platform ekonomi komunis. Ini yang lepas dari kecerdasan Ma.

Baca Juga :  Partai Baru, Matematika dan Mati-matian Politik

Ma keliru bahwa di Tiongkok
ideologi lebih penting jauh melampaui ekonomi. Dan ideologi ternyata mampu
membungkam dia. Sekali lagi, tidak ada kuasa dan rekayasa teknologi yang mampu
menyelesaikan problem Ma yang notabene telah menantang ideologi.

Pelajaran Indonesia

Insiden Ma sebetulnya memberikan
pelajaran ke Indonesia. Ma sebetulnya menjadi kaya saat ini, menjadi
supercerdas, karena fasilitas dari pemerintah Tiongkok. Di antaranya, iklim
investasi yang mendukung kepopuleran Tiongkok dan mayoritas karena negara
memberikan ruang dan kesempatan kepada Ma. Sistem keuangan tradisional yang
dikritik Ma adalah ruang inovasi Ma. Sebetulnya Tiongkok sangat mampu
mendigitalisasi fintech-nya di semua lini, namun kesempatan itu diberikan ke
Ma. Ini yang tidak diakui Ma. Malah mengklaim dirinya lebih pintar dari
fasilitas negara.

Indonesia pun seharusnya
demikian. Munculnya start-up, little ponies, nexicom, bahkan unicorn pun tidak
terlepas dari fasilitas negara. Ruang ini sengaja diberikan ke setiap warga
negara untuk berkreasi, membantu negara menyelesaikan sebagian problem sosial
dan ekonomi. Namun, jika sudah berhasil, jangan sok mampu mengatur segalanya.

Pelajaran yang bisa dipetik bahwa
Tiongkok tegas sekali dalam mengatur kebebasan rakyatnya sendiri. Di Indonesia,
Ma pasti akan disebut tokoh ajaib dan membanggakan negara. Karena itu, pasti
seluruh fasilitas, diskresi, dan privilese akan datang dengan sendirinya.
Bahkan, bukan rahasia lagi, orang kaya Indonesia pasti menjadi warga negara
berpengaruh yang akan memengaruhi sosial, ekonomi, dan politik.

Tiongkok ternyata tidak bangga
dengan Ma, tidak surprised dengan Alibaba atau Ant Group yang notabene mampu
menggetarkan dunia. Tiongkok akan menghardik warga negaranya yang kurang ajar
terhadap pemerintahnya. (*)

(EFNU SUBIYANTO, Dosen dan
peneliti di UKWM Surabaya)

PERKEMBANGAN bisnis di Tiongkok memang tidak bisa diduga-duga oleh
masyarakat global. Pada umumnya, ikon bisnis yang membesar akan
dibangga-banggakan oleh negaranya. Menjadi kebanggaan karena turut mengharumkan
tanah air. Namun, ini tidak terjadi di Negara Tirai Bambu tersebut.

Yang terjadi, ikon bisnis yang
sedang mekar-mekarnya seperti Ant Group baru-baru ini malah di-take down paksa,
padahal hanya beberapa hari akan mengumumkan listing di bursa Shanghai dan
Hongkong. Jutaan investor global panik. Unicorn Ant Group akhirnya batal IPO
dan rugi sampai USD 37 miliar.

Bank sentral Tiongkok, PBoC,
menekan Ant Group untuk merombak bisnis dan kemudian diinvestigasi karena
dugaan sangat kuat melakukan praktik monopoli sejak akhir 2020. Kerugian Ant
Group tidak kepalang karena dihantam pemerintahnya sendiri. Nilai kapitalisasinya
melorot dari semula USD 280 miliar menjadi USD 108 miliar dan terus terjun
bebas sampai sekarang.

Tidak dinyana oleh publik dunia,
penyelidik Tiongkok mendakwa Ant Group dengan sejumlah pelanggaran. Yakni,
melabrak peraturan keuangan, menerjang bisnis kredit, melanggar asuransi, dan
pelanggaran praktik bisnis pengelolaan manajemen kekayaan. PBoC akhirnya
memaksa Ant Group untuk memisahkan bisnisnya, wajib memenuhi kecukupan modal,
dan sekali lagi tidak terkecuali Ant Group wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan Tiongkok. Tidak ada hak istimewa atau privilese bagi Ant
Group, unicorn (seharusnya kebanggaan) bagi Tiongkok tersebut.

Tidak berhenti di Ant Group,
pemerintah Tiongkok makin membabi buta membersihkan iklim bisnis berplatform
teknologi. Regulator internet Tiongkok baru saja merilis aturan antimonopoli
untuk bisnis e-commerce yang pemain terbesarnya Alibaba. Terbaru, mereka bahkan
menjatuhkan sanksi denda kepada 12 korporasi teknologinya karena pelanggaran
terkait dengan 10 kesepakatan dan menunjukkan adanya perilaku monopoli. Sanksi
itu kini merembet ke unicorn lain. Yakni, Baidu Inc, Tencent Holdings, Didi
Chuxing, SoftBank, dan sejumlah start-up yang didanai oleh ByteDance.

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Ideologi Lebih Penting

Yang menggemparkan adalah cara
pemerintah Tiongkok dalam memberangus kedigdayaan Jack Ma, tokoh ajaib abad ini
yang terkenal di dunia. Ma yang mendapatkan kepopuleran dari perkembangan
teknologi memang menjadi tinggi hati dengan mengklaim melakukan apa saja karena
otak encernya. Ditambah pundi-pundi hartanya, Ma memang tidak diragukan lagi
mampu mengatur apa saja.

Kebablasan Ma terjadi saat pidato
mengkritik sistem keuangan Tiongkok pada akhir Oktober 2020. Jack Ma hilang
sejak saat itu dan baru muncul 50 detik pada 20 Januari 2021. Pemerintah
Tiongkok bahkan lebih digdaya. Ma hilang selama tiga bulan dan tidak ada satu
pun kecanggihan teknologi Alibaba atau Ant Group yang mampu mendeteksi
keberadaan Ma.

Dalam sejarahnya, Tiongkok sering
sekali menghilangkan tokoh ajaib warga negaranya sendiri. Misalnya, pebisnis
e-commerce Colin Huang, pendiri Tencent Holdings Pony Ma, pebisnis pembuat AMDK
Zhong Shanshan dari Nongfu Spring, dan pendiri Alibaba dan Ant Group Jack Ma
yang baru-baru saja terjadi.

Saat ini Ma adalah orang kaya
ke-20 kelas dunia versi Forbes dan menjadi orang terkaya ke-4 di daratan
Tiongkok. Sebelum insiden Ant Group, Ma seharusnya orang terkaya nomor satu di
Tiongkok. Apa pun bisa dibeli, siapa pun bisa diatur karena uang Ma, karena itu
Ma menjadi lepas kendali dan menuding PBoC sudah outdate atau tidak update
dengan perkembangan zaman.

Ini tentu saja karena Ma merasa
bisa menjadi pengatur lalu lintas keuangan global karena memang sudah bisa
dibuktikan dengan ratusan perusahaan fintech-nya yang selalu menjadi fenomena.
Kecerdasannya mampu menjadikan Alibaba waralaba modern pertama di dunia yang
dioperasikan mandiri oleh robot.

Secara matematis, jika
dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia, orang kaya Indonesia notabene
dapat mengatur segalanya, sesumbar Ma sebetulnya bisa diterima. Hanya, Ma salah
perhitungan dengan sistem politik ekonomi Tiongkok yang masih menggunakan
platform ekonomi komunis. Ini yang lepas dari kecerdasan Ma.

Baca Juga :  Partai Baru, Matematika dan Mati-matian Politik

Ma keliru bahwa di Tiongkok
ideologi lebih penting jauh melampaui ekonomi. Dan ideologi ternyata mampu
membungkam dia. Sekali lagi, tidak ada kuasa dan rekayasa teknologi yang mampu
menyelesaikan problem Ma yang notabene telah menantang ideologi.

Pelajaran Indonesia

Insiden Ma sebetulnya memberikan
pelajaran ke Indonesia. Ma sebetulnya menjadi kaya saat ini, menjadi
supercerdas, karena fasilitas dari pemerintah Tiongkok. Di antaranya, iklim
investasi yang mendukung kepopuleran Tiongkok dan mayoritas karena negara
memberikan ruang dan kesempatan kepada Ma. Sistem keuangan tradisional yang
dikritik Ma adalah ruang inovasi Ma. Sebetulnya Tiongkok sangat mampu
mendigitalisasi fintech-nya di semua lini, namun kesempatan itu diberikan ke
Ma. Ini yang tidak diakui Ma. Malah mengklaim dirinya lebih pintar dari
fasilitas negara.

Indonesia pun seharusnya
demikian. Munculnya start-up, little ponies, nexicom, bahkan unicorn pun tidak
terlepas dari fasilitas negara. Ruang ini sengaja diberikan ke setiap warga
negara untuk berkreasi, membantu negara menyelesaikan sebagian problem sosial
dan ekonomi. Namun, jika sudah berhasil, jangan sok mampu mengatur segalanya.

Pelajaran yang bisa dipetik bahwa
Tiongkok tegas sekali dalam mengatur kebebasan rakyatnya sendiri. Di Indonesia,
Ma pasti akan disebut tokoh ajaib dan membanggakan negara. Karena itu, pasti
seluruh fasilitas, diskresi, dan privilese akan datang dengan sendirinya.
Bahkan, bukan rahasia lagi, orang kaya Indonesia pasti menjadi warga negara
berpengaruh yang akan memengaruhi sosial, ekonomi, dan politik.

Tiongkok ternyata tidak bangga
dengan Ma, tidak surprised dengan Alibaba atau Ant Group yang notabene mampu
menggetarkan dunia. Tiongkok akan menghardik warga negaranya yang kurang ajar
terhadap pemerintahnya. (*)

(EFNU SUBIYANTO, Dosen dan
peneliti di UKWM Surabaya)

Terpopuler

Artikel Terbaru