HARUSNYA ia membayar sekitar Rp 100 miliar. Harus bayar di depan. Bukan karena yang harus membayar itu suka licik, tapi aturannya memang begitu.
Kalau tidak bayar di depan permintaan hitung ulang di negara bagian Wisconsin itu tidak bisa dilakukan.
Maka Presiden Donald Trump pun membayar di depan. Hanya saja tidak Rp 100 miliar. Trump pilih membayar sekitar Rp 50 miliar saja. Ia ingin berhemat. Atau dana kampanyenya sudah menipis. Ia merasa cukup kalau yang dihitung ulang di beberapa distrik saja. Terutama distrik yang perolehan suara Joe Biden tinggi sekali.
Untuk menggugat di dapil lain masih menunggu tambahan sumbangan dari suporternya. Kini Trump memang lagi menggalang dana. Temanya: untuk biaya menggugat kecurangan Pemilu.
Maka sekarang ini menghemat itu perlu. Di banyak negara bagian memang mengenakan ketentuan itu: yang minta hitung ulang harus membayar biaya penghitungan itu.
Untuk satu negara bagian Wisconsin biayanya itu tadi, sekitar Rp 100 miliar. Tapi Trump hanya kirim uang Rp 50 miliar. Mungkin pilih minta hitung ulang di kota besarnya saja: Milwaukee dan Madison. Di situlah sumber kemenangan Biden.
Trump sudah mentransfer sekitar Rp 50 miliar itu kemarin. Tapi belum menentukan dapil mana yang harus dihitung ulang. Ia harus pikirkan baik-baik agar uang itu tidak sia-sia. Kan belum tentu hitung ulang itu mengubah kekalahannya di Pilpres 3 November lalu.
Trump memang berang: bagaimana bisa kalah di Wisconsin –juga di Michigan. Juga di Pennsylvania. Juga di Georgia. Juga di Arizona. Padahal ia menang di negara-negara bagian itu. Dulu.
Trump bukan orang pertama yang minta hitung ulang. Di Wisconsin pernah dilakukan hitung ulang. Empat tahun lalu. Waktu itu Hillary Clinton kalah tipis dari Trump. Tapi yang minta hitung ulang bukan Hillary. Permintaan itu datang dari Partai Hijau.
Hasilnya tidak banyak beda. Trump justru dapat tambahan suara 131.
Dari pengalaman hitung ulang di berbagai dapil di masa lalu hasilnya memang beda. Tapi perbedaan itu tidak berarti. Selalu saja selisihnya hanya sedikit. Tidak sampai 2.000 suara. Padahal kekalahan Trump di Wisconsin kali ini 20.000 suara.
Bahwa Trump minta hitung ulang di Wisconsin itu karena hukum setempat lebih longgar: boleh hitung ulang di dapil tertentu. Yang biayanya lebih murah.
Di Michigan misalnya, tidak boleh hitung ulang di sebagian dapil. Harus satu negara bagian. Demikian juga di banyak negara bagian lain.
Hampir pasti Trump akan pilih hitung ulang di Milwaukee dan Madison. Dua kota utama di Wisconsin. Biden selalu menang telak di kota-kota besar seperti itu. Yang penduduknya memang sudah campur-aduk.
Jarak antara Milwaukee dan Madison dua jam dengan mobil. Saya pernah mondar-mandir setir mobil sendiri di antara dua kota itu.
Milwaukee adalah pusat Harley Davidson. Letaknya di pinggir danau –yang karena besarnya tampak seperti laut: Danau Michigan. Di pinggir danaunya dibangun water front city yang baru. Ada cable cat-nya segala.
Kota Chicago juga berada di pinggir danau ini –tiga jam di selatannya.
Sedang Madison juga di pinggir danau, tapi danau yang lain, di pedalaman. Danaunya tidak terlalu besar tapi indah. Wisconsin University ada di kota Madison itu.
Di luar dua kota besar itu Wisconsin adalah wilayah pertanian. Yang belakangan terpukul hebat akibat perang dagang dengan Tiongkok. Hasil bumi Wisconsin tidak banyak bisa diekspor.
Wisconsin juga pernah di banggakan oleh Trump. Ia berhasil mengajak investor besar masuk ke Wisconsin. Yang akan investasi lebih dari Rp 150 triliun. Investornya sudah diajak ke Gedung Putih. Pun sang presiden sudah meletakkan batu pertama pembangunannya. Sudah dibangga-banggakan sebagai simbol kembalinya investasi ke Amerika.
Sampai Trump kalah Pilpres kemarin pabrik TV itu belum juga dibangun.
Nama investornya, Anda sudah tahu: Terry Gou. Salah satu konglomerat terbesar di Taiwan. Yang punya pabrik terbesar iPhone di Tiongkok itu.
Permintaan hitung ulang Trump itu kelihatannya agak terlambat. Apa pun yang terjadi tanggal 1 Desember sudah harus final. Padahal hitung ulang itu perlu waktu antara 10 sampai 15 hari: harus manual.
Permintaan hitung ulang yang hanya di beberapa dapil itu, kelihatannya juga untuk mengejar deadline 1 Desember 2020. Agar bisa selesai dalam waktu satu minggu.
Mungkin Trump juga tidak terlalu mengharap kemenangan. Bisa jadi ia hanya ingin sedikit data: bahwa bisa ditemukan selisih angka. Biar pun tidak mengubah hasil yang penting terbukti ada yang salah hitung. Agar tuduhan curangnya selama ini sedikit ada alasan.
Misalnya ia begitu berkibar ketika akhirnya diakui ada 2.600 suara yang terlewat dihitung di Georgia. Itu akibat mesin yang rewel.
Meski jumlahnya jauh dari selisih kekalahannya tapi Trump menjadi punya bahan untuk berkoar di Twitter-nya.
Apalagi uang yang sudah dibayar oleh Trump itu tidak sepenuhnya hilang. Kalau hasil hitung ulang terbukti mengubah hasil –Trump menjadi menang– uang itu bisa diminta kembali.
Bahkan biar pun Trump tetap kalah uang itu hanya dipakai sebatas biaya penghitungan ulang. Kelebihannya bisa diminta kembali.
Mempersoalkan kecurangan Pilpres lewat jalur hukum sudah mentok. Pengacara sekaliber Rudy Giuliani pun hanya mempermalukan diri saat harus hadir sendiri di ruang sidang pengadilan.
Maka minta hitung ulang adalah upaya terakhir. Sekaligus bisa dipakai gincu untuk sedikit mempercantik bibir.(Dahlan Iskan)