26.4 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Turbulensi Ekonomi Global Akibat Pandemi Covid-19

PANDEMI Covid-19 sejak awal 2020 telah menimbulkan dampak serius
secara global. Worldometer mencatat sebanyak 216 negara terkena dampaknya. WHO
mencatat, tanggal 29 Oktober 2020 terdapat 479.417 kasus baru. Terdiri dari
44.351.506 akumulasi kasus terkonfirmasi dan 1.171.225 akumulasi kasus
kematian. Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi
telah meluas ke bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya.

Pandemi Covid-19 terjadi ketika
dunia sudah sedemikian eratnya terhubung satu sama lain dalam jaringan
interaksi politik, ekonomi, dan sosial budaya, dalam satu proses yang disebut
globalisasi. Di era globalisasi, pergerakan barang, jasa, dan manusia semakin
cepat dan masif dengan berkembangnya teknologi transportasi, komunikasi dan
informasi.

Akibat Pandemi Covid-19, ekonomi
global tengah mengalami turbulensi. Selayaknya pesawat udara, ancaman
turbulensi di bidang ekonomi perlu ditindaklanjuti secara tepat. Turbulensi
diekspresikan sebagai ketidakstabilan pasar, karena beberapa hal antara lain
terorisme global, perang, kenaikan harga minyak, inovasi dan pandemi wabah
(Lawton 2003).

Sektor yang Terdampak

Salah satu sektor ekonomi global
yang terdampak turbulensi atau goncangan adalah Rantai Nilai Global (Global
Value Chain). Perdagangan, produksi, dan pasar keuangan akan berkontraksi
akibat turbulensi ini. Banyak negara dan hampir semua sektor akan mengalami
penurunan ekspor, dan akan diperparah jika suatu negara atau kawasan telah
bergantung pada perdagangan internasional.

Dalam kondisi ini, trade off antara pemulihan ekonomi dan
proteksi kesehatan masyarakat menjadi pilihan yang cukup sulit. Kebijakan pembatasan
interaksi sosial yang diikuti dengan penutupan tempat kerja, serta pembatasan
akses transportasi berdampak pada hambatan produksi dan distribusi barang.

Baca Juga :  6165 KPM Sasaran Penyaluran BTS

Perlunya Keseimbangan Supply and Demand

Ekonomi global dapat terjaga
apabila terdapat keseimbangan antara penawaran dan permintaan (supply and
demand). Akibat pandemi Covid-19, turbulensi di bidang permintaan terdampak
lebih parah dibandingkan faktor penawaran (World Bank, 2020). Selain itu,
negara berkembang yang memiliki kecenderungan bergantung pada pendanaan dengan
Dolar Amerika Serikat akan meningkatkan risiko lebih tinggi akibat depresiasi
mata uang.

Menurut World Bank (2020),
turbulensi ekonomi global akibat pandemi Covid-19 meliputi goncangan di
beberapa sektor. Pertama, sektor Pekerjaan yang akan turun karena karantina
wilayah, penutupan pabrik, pengetatan jarak sosial. Kedua, sektor Biaya
Perdagangan akan naik pada biaya impor dan ekspor, yang juga didorong oleh
kombinasi pengurangan jam operasi, penutupan akses/jalan, perbatasan, dan
kenaikan biaya transportasi.

Ketiga, Pariwisata akan turun
tajam sejalan dengan perkiraan World Travel and Tourist Council tahun 2020.
Keempat, Layanan akan beralih, dari layanan yang membutuhkan interaksi seperti
transportasi massal, pariwisata, restoran, dan aktivitas rekreasi menjadi konsumsi
barang dan layanan lainnya.

Turbulensi ekonomi global akibat
pandemi Covid-19 terjadi bersamaan dengan memburuknya hubungan dagang antara
Amerika dan Tiongkok. Hal ini menyebabkan negara-negara yang tergabung dalam
Global Value Chain harus mengoreksi kembali kelangsungan jaringan produksinya.
Akibatnya, banyak negara cenderung lebih menyelamatkan kondisi ekonomi
nasionalnya dengan menerapkan proteksi dan nasionalisasi produk dalam negeri untuk
menjaga stabilitas ekonomi.

Baca Juga :  Penetapan RTR-KPN Menjadi Komitmen Pemerintah

Praktik tersebut memang tidak
bertentangan dengan konsep perdagangan global yang mengacu pada ketentuan World
Trade Organization (WTO). Artikel 11 GATT-WTO membolehkan proteksi ekspor produk
tertentu dalam waktu sementara untuk mencegah atau mengatasi krisis. Proteksi
dan nasionalisasi tersebut sejalan dengan paradigma Jhon Maynard Keynes yang
dikuti oleh Presiden Amerika Serikat Theodore D Roosvelt , saat menghadapi
resesi hebat tahun 1993 dengan menerapkan prinsip national self-sufficiency.

Di tingkat makro ekonomi,
kebijakan tentang proteksi dan nasionalisasi, jika diterapkan dalam jangka
panjang, akan meningkatkan volatilitas harga dan menghambat pertumbuhan. Untuk
menjaga stabilitas ekonomi global, sangat diperlukan kerjasama global antar
pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta pada sektor kesehatan
dan ekonomi.

Secara lebih luas, menegakkan
sistem perdagangan internasional berbasis aturan yang stabil akan sangat penting
untuk melaksanakan pemulihan ekonomi global yang kuat dan tahan lama (IMF
2020).

Seperti ras evolusi Darwin, tidak
selalu yang terkuat yang bertahan, tetapi yang paling mudah beradaptasi. Kita
optimis, semua pihak dapat memainkan peran, sehingga dapat “beradaptasi” di
tengah turbulensi ekonomi global akibat pandemi Covid-19. (*)

(Penulis adalah Mahasiswa Sekolah
Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia)

PANDEMI Covid-19 sejak awal 2020 telah menimbulkan dampak serius
secara global. Worldometer mencatat sebanyak 216 negara terkena dampaknya. WHO
mencatat, tanggal 29 Oktober 2020 terdapat 479.417 kasus baru. Terdiri dari
44.351.506 akumulasi kasus terkonfirmasi dan 1.171.225 akumulasi kasus
kematian. Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi
telah meluas ke bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya.

Pandemi Covid-19 terjadi ketika
dunia sudah sedemikian eratnya terhubung satu sama lain dalam jaringan
interaksi politik, ekonomi, dan sosial budaya, dalam satu proses yang disebut
globalisasi. Di era globalisasi, pergerakan barang, jasa, dan manusia semakin
cepat dan masif dengan berkembangnya teknologi transportasi, komunikasi dan
informasi.

Akibat Pandemi Covid-19, ekonomi
global tengah mengalami turbulensi. Selayaknya pesawat udara, ancaman
turbulensi di bidang ekonomi perlu ditindaklanjuti secara tepat. Turbulensi
diekspresikan sebagai ketidakstabilan pasar, karena beberapa hal antara lain
terorisme global, perang, kenaikan harga minyak, inovasi dan pandemi wabah
(Lawton 2003).

Sektor yang Terdampak

Salah satu sektor ekonomi global
yang terdampak turbulensi atau goncangan adalah Rantai Nilai Global (Global
Value Chain). Perdagangan, produksi, dan pasar keuangan akan berkontraksi
akibat turbulensi ini. Banyak negara dan hampir semua sektor akan mengalami
penurunan ekspor, dan akan diperparah jika suatu negara atau kawasan telah
bergantung pada perdagangan internasional.

Dalam kondisi ini, trade off antara pemulihan ekonomi dan
proteksi kesehatan masyarakat menjadi pilihan yang cukup sulit. Kebijakan pembatasan
interaksi sosial yang diikuti dengan penutupan tempat kerja, serta pembatasan
akses transportasi berdampak pada hambatan produksi dan distribusi barang.

Baca Juga :  6165 KPM Sasaran Penyaluran BTS

Perlunya Keseimbangan Supply and Demand

Ekonomi global dapat terjaga
apabila terdapat keseimbangan antara penawaran dan permintaan (supply and
demand). Akibat pandemi Covid-19, turbulensi di bidang permintaan terdampak
lebih parah dibandingkan faktor penawaran (World Bank, 2020). Selain itu,
negara berkembang yang memiliki kecenderungan bergantung pada pendanaan dengan
Dolar Amerika Serikat akan meningkatkan risiko lebih tinggi akibat depresiasi
mata uang.

Menurut World Bank (2020),
turbulensi ekonomi global akibat pandemi Covid-19 meliputi goncangan di
beberapa sektor. Pertama, sektor Pekerjaan yang akan turun karena karantina
wilayah, penutupan pabrik, pengetatan jarak sosial. Kedua, sektor Biaya
Perdagangan akan naik pada biaya impor dan ekspor, yang juga didorong oleh
kombinasi pengurangan jam operasi, penutupan akses/jalan, perbatasan, dan
kenaikan biaya transportasi.

Ketiga, Pariwisata akan turun
tajam sejalan dengan perkiraan World Travel and Tourist Council tahun 2020.
Keempat, Layanan akan beralih, dari layanan yang membutuhkan interaksi seperti
transportasi massal, pariwisata, restoran, dan aktivitas rekreasi menjadi konsumsi
barang dan layanan lainnya.

Turbulensi ekonomi global akibat
pandemi Covid-19 terjadi bersamaan dengan memburuknya hubungan dagang antara
Amerika dan Tiongkok. Hal ini menyebabkan negara-negara yang tergabung dalam
Global Value Chain harus mengoreksi kembali kelangsungan jaringan produksinya.
Akibatnya, banyak negara cenderung lebih menyelamatkan kondisi ekonomi
nasionalnya dengan menerapkan proteksi dan nasionalisasi produk dalam negeri untuk
menjaga stabilitas ekonomi.

Baca Juga :  Penetapan RTR-KPN Menjadi Komitmen Pemerintah

Praktik tersebut memang tidak
bertentangan dengan konsep perdagangan global yang mengacu pada ketentuan World
Trade Organization (WTO). Artikel 11 GATT-WTO membolehkan proteksi ekspor produk
tertentu dalam waktu sementara untuk mencegah atau mengatasi krisis. Proteksi
dan nasionalisasi tersebut sejalan dengan paradigma Jhon Maynard Keynes yang
dikuti oleh Presiden Amerika Serikat Theodore D Roosvelt , saat menghadapi
resesi hebat tahun 1993 dengan menerapkan prinsip national self-sufficiency.

Di tingkat makro ekonomi,
kebijakan tentang proteksi dan nasionalisasi, jika diterapkan dalam jangka
panjang, akan meningkatkan volatilitas harga dan menghambat pertumbuhan. Untuk
menjaga stabilitas ekonomi global, sangat diperlukan kerjasama global antar
pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta pada sektor kesehatan
dan ekonomi.

Secara lebih luas, menegakkan
sistem perdagangan internasional berbasis aturan yang stabil akan sangat penting
untuk melaksanakan pemulihan ekonomi global yang kuat dan tahan lama (IMF
2020).

Seperti ras evolusi Darwin, tidak
selalu yang terkuat yang bertahan, tetapi yang paling mudah beradaptasi. Kita
optimis, semua pihak dapat memainkan peran, sehingga dapat “beradaptasi” di
tengah turbulensi ekonomi global akibat pandemi Covid-19. (*)

(Penulis adalah Mahasiswa Sekolah
Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia)

Terpopuler

Artikel Terbaru