KEMARAU yang panjang memang merupakan waktu yang buruk dan
berdampak buruk bagi beberapa kepentingan di satu sisi. Tetapi, di lain sisi
merupakan waktu yang baik untuk membenahi drainase perkotaan agar pada musim
hujan tidak memunculkan dampak buruk dalam versi yang tentunya berkebalikan
dengan dampak buruk musim kemarau.
Kiranya hal ini sudah sangat
disadari oleh para pemegang kebijakan sehingga program, kegiatan dan pekerjaan
drainase perkotaan secara terus menerus dilakukan.
Namun demikian, patut pula
disadari dan disegarkan pemahaman kita bersama bahwa drainase perkotaan itu
adalah suatu sistem. Oleh karenanya, dan apabila ditinjau dari aspek fisik,
perbaikan kapasitas pengaliran jaringan saluran dan bangunan pelengkap drainase
kiranya akan memberi hasil lebih optimal apabila disertai dengan perbaikan
pengelolaan yang membebaninya: debit.
Sebagai Sistem
Drainase perkotaan yang ada di
lapangan, pada umumnya bersifat multi fungsi. Drainase perkotaan yang demikian,
sebagaimana dijelaskan dalam Wesli (2008), fungsinya tidak hanya mengalirkan
debit yang berasal dari limpasan air hujan tetapi juga debit yang berasal dari
sumber-sumber lain seperti air limbah dari kawasan permukiman, perkantoran,
perniagaan, bahkan mungkin juga air limbah dari kawasan perindustrian.
Memperhatikan hasil-hasil
penelitian mengenai debit dan kapasitas pengaliran drainase perkotaan, salah
satu contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Elma Yulius (2018),
maka dapat dilihat bahwa debit drainase perkotaan cendrung meningkat. Dalam
Suripin (2004) dan Bayu Wicaksono, dkk (2018) dijelaskan beberapa faktor
pendorong peningkatan debit drainase perkotaan, antara lain intensitas hujan
yang tinggi, perubahan tutupan lahan yang tak terekendali, dan aktivitas di
semua sektor meningkat.
Sementara itu, disisi lain,
kapasitas pengaliran drainase perkotaan yang telah dibangun di lapangan tidak
mungkin langgeng, pasti mengalami perubahan. Perubahannya itu cendrung mengarah
pada penurunan kapasitas pengaliran. Memperhatikan lebih lanjut hasil penelitian
Bayu Wicaksono, dkk (2018), Elma Yulius (2018), dan juga hasil-hasil penelitian
lainnya, maka dapat dikatakan bahwa sampah, sedimen, dan semak belukar adalah
beberapa faktor yang berperan dalam penurunan kapasitas pengaliran.
Selain karena beberapa faktor
yang diuraikan sebelumnya, penurunan kapasitas pengaliran juga dapat disebabkan
oleh penyempitan saluran drainase. Penyempitan ini bisa juga disebabkan oleh
adanya bangunan-bangunan yang tidak tertata dengan baik. Sebagai contoh kasus
dapat dilihat dalam berita di Kompas.com (26/11/2016), dengan judul “Banjir di
Malang akibat Saluran Drainase Menyempitâ€. Dalam berita ini dikatakan bahwa
penyempitan saluran drainase terjadi karena ada bangunan-bangunan yang
mengokupasi saluran drainase sehingga menyebabkan banjir. Barangkali kasus yang
sama juga ada di kota-kota lain namun tidak tereskpose dalam media pemberitaan.
Ketika faktor-faktor penyebab
peningkatan debit drainase dan faktor-faktor penyebab penurunan kapasitas
pengaliran drainase tidak dikendalikan, terlebih-lebih apabila hal itu
berlangsung lama, maka peluang kejadian banjir akan semakin meningkat atau
intensitas banjir akan semakin meningkat.
Fungsi drainase perkotaan dalam
paradigma baru seperti dijelaskan dalam Suripin (2004) adalah untuk menampung,
meresapkan, dan mengalirkan debit secara aman atau tanpa menimbulkan banjir
hingga mencapai badan air terakhir. Lebih lanjut dijelaskan juga dalam Suripin
(2004) bahwa drainase perkotaan adalah infrastruktur yang berbentuk sistem.
Apabila ditinjau berdasarkan pendekatan komponen seperti dijelaskan dalam
Jogiyanto (2005), sistem adalah sekumpulan sub-sub sistem atau
komponen-komponen sistem yang saling berhubungan membentuk kesatuan tertentu.
Mengacu pada pengertian sistem
berdasarkan pendekatan komponen, maka komponen-komponen sistem pada sistem
drainase dapat dilustrasikan sebagai berikut. Limpasan air hujan dan debit dari
berbagai sumber sebagai komponen masukan, jaringan saluran beserta bangunan
pengatur lainnya sebagai komponen proses, tampungan, resapan, dan aliran
sebagai komponen luaran. Dengan memandang drainase sebagai sekumpulan komponen
yang terintegrasi atau yang juga disebut sistem, maka kegiatan perbaikan yang
diperlukan agar drainase perkotaan tetap berkinerja optimal adalah kegiatan yang
berbasis pada permasalahan komponen-komponen sistem dan berorientasi pada
sistem secara utuh.
Di setiap tempat, permasalahan
komponen sistem drainase perkotaan belum tentu sama sehingga kegiatan yang
diperlukan dalam perbaikannya belum tentu sama untuk setiap tempat. Mungkin
saja di suatu tempat, hanya perlu kegiatan untuk perbaikan pada komponen
masukan atau hanya untuk perbaikan komponen proses, dan di tempat lain mungkin
dibutuhkan kegiatan untuk perbaikan dua komponen sekaligus.
Kapasitas Pengaliran
Hingga saat ini, kegiatan yang
jamak dilakukan dalam perbaikan sistem drainase perkotaan adalah pada komponen
proses, yakni kegiatan-kegiatan untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas
pengaliran, terutama pengaliran secara horisontal.
Hal ini dapat dilihat dari
upaya-upaya yang dilakukan seperti kegiatan pemeliharaan, peningkatan, dan
pembangunan saluran drainase maupun gorong-gorong. Di antara berbagai kegiatan yang telah disebutkan tadi, apabila
dilihat secara sekilas dari intensitas kegiatan di lapangan, sepertinya
anggaran untuk kegiatan pemeliharaan menempati urutan terkecil. Barangkali hal
ini karena keterbatasan anggaran, sementara itu anggaran harus lebih banyak
dialokasikan untuk kegiatan peningkatan dan pembangunan saluran drainase maupun
gorong-gorong baru.
Intensitas kegiatan pemeliharaan
drainase yang relatif kecil akibat keterbatasan anggaran, tentu membawa
konsekwensi kurang baik bagi upaya mempertahankan kapasitas pengaliran pada
saluran-saluran drainase maupun gorong-gorong yang sudah dibangun.
Debit Drainase
Upaya-upaya yang mesti dilakukan
agar frekwensi banjir dapat dikurangi bahkan kalau bisa dihilangkan, tidak
cukup hanya berfokus pada upaya perbaikan kapasitas pengaliran, harus juga
diimbangi dengan upaya-upaya perbaikan pada komponen masukan.
Upaya ini, hingga saat sekarang,
tampaknya masih perlu ditingkatkan secara terus menerus, termasuk dari segi
implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ada. Misalnya, implementasi: Permen
LH Nomor 08 tahun 2010 Tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah
Lingkungan, Permen PU Nomor 11/PRT/M/2014 Tentang Pengelolaan Air Hujan Pada
Bangunan Gedung dan Persilnya, dan Permen PU Nomor 12/PRT/M/2014 Tentang
Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.
Dalam upaya konservasi air
khususnya di kawasan bangunan gedung maka perlu dilakukan penerapan sistem
pemanfaatan air hujan seperti yang dijelaskan dalam pasal 4 ayat b butir 2
dalam Permen LH Nomor 08 tahun 2010. Jenis sistem pemanfaatan air hujan yang
digunakan tentu harus disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan persyaratan
yang berlaku. Seperti dijelaskan dalam Permen PU Nomor 11/PRT/M/2014 pasal 14
ayat 2, beberapa sistem pemanfaatan air hujan yang dapat diterapkan pada suatu
kawasan bangunan gedung, antara lain: sarana penampungan air hujan, sarana
retensi, dan sarana detensi. Dengan adanya sarana-sarana pemanfaatan air hujan
ini, sebagaimana dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh
Merry Yelza, dkk (2010), Andiri Rahardian dan Imam Buchori (2016), dan
hasil-hasil penelitian lainnya, air hujan yang melimpas ke saluran drainase
perkotaan dapat diperkecil.
Hal itu mungkin saja karena efek
dari sebagian air hujan ada yang diresapkan, ada yang ditampung, dan ada pula
yang diparkir sementara di persil bangunan gedung kemudian dilepas secara
bertahap setelah elevasi muka air di saluran drainase perkotaan mulai menurun.
Cara memperkecil debit drainase
perkotaan dengan cara mengelola terlebih dahulu air hujan yang jatuh di kawasan
atau di persil bangunan gedung, efektivitasnya akan bertambah besar apabila
dilakukan secara simultan. Hal ini tentu membutuhkan pihak yang memiliki
otoritas pengelolaan bangunan gedung berskala kawasan dan dukungan komitmen
dari pihak-pihak pemilik bangunan gedung maupun penyelenggara aktivitas di
dalam bangunan gedung.
Barangkali karena alasan itulah
maka ditegaskan dalam Permen PU Nomor 12/PRT/M/2014 pasal 31 ayat 1 sampai
dengan ayat 3, bahwa dalam pemeliharaan sistem drainase, termasuk dalam upaya
memperkecil debit drainase, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
melainkan juga menjadi tanggung jawab pihak swasta dan masyarakat. Sebagai
bentuk peran dan tanggung jawab itu, pihak swasta dan masyarakat seharusnya
juga ikut serta melakukan pembuatan sistem pemanfaatan air hujan, baik secara
individual ataupun komunal sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan persyaratan
atau disesuaikan dengan perkembangan teknologi pemanfaatan air hujan.
Penutup
Sebagai salah satu infrastruktur
sebuah kota, sekali lagi, drainase merupakan suatu sistem, sehingga upaya untuk
menjaga kinerjanya agar tetap optimal tidak boleh terjebak hanya pada perbaikan
satu komponen, harus dilihat akar permasalahannya, dan solusinya dapat
dilakukan secara bertahap namun terintegrasi sebagai suatu sistem.
Kebijakan-kebijakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem drainase sudah
ada.
Terlepas dari apakah
kebiajakan-kebijakan itu sudah memadai atau belum, kiranya hal yang menjadi
sangat penting sekarang adalah bagaimana implemementasi dari
kebijakan-kebijakan itu, termasuk implementasi kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan memperkecil debit drainase yang bersumber dari limpasan air
hujan maupun dari sumber-sumber lainnya. (*)
(Penulis adalah Pengajar Jurusan
Teknik Sipil Universitas Palangka Raya)