31.8 C
Jakarta
Tuesday, May 6, 2025

Jadi Pimpinan KPK, Berikut Pernyataan Paling Kontroversial Firli Cs

Komisi III DPR
RI telah menetapkan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
periode 2019-2023. Mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri terpilih
sebagai Ketua KPK jilid V.

Irjen Firli Bahuri ditetapkan sebagai Ketua KPK berdasarkan hasil
voting suara tertinggi. Firli memperoleh 56 suara. Berturut-turut setelahnya
ada Alexander Marwata dengan 53 suara, Nurul Ghufron dengan 51 suara, Nawawi
Pomolango dengan 50 suara, dan Lili Pintauli Siregar dengan 44 suara.

Meski sudah terpilih menjadi pimpinan KPK jilid V, beberapa di
antaranya masih menjadi kontroversi. Publik menilai, proses pemilihan pimpinan
KPK kali ini kental nuansa politik.

Kelima orang pimpinan KPK terpilih itu dipilih melalui voting
Komisi III DPR RI. Hal ini dilakukan setelah 10 nama calon pimpinam KPK yang
telah diserahkan Presiden Joko Widodo menjalani tahapan uji kepatutan dan
kelayakan atau fit and proper test.

Terdapat sejumlah argumen yang masih dipertanyakan dalam fit and
proper test lima pimpinan KPK terpilih tersebut, di antaranya:

1. Irjen Firli Bahuri

Yang paling fenomenal, Irjen Firli ditetapkan sebagai pelanggar
kode etik berat oleh KPK sehari sebelum menjalani fit and proper test di DPR
RI. Irjen Firli diyakini melanggar etik pada Rabu (11/9).

Irjen Firli menjelaskan dugaan masalah etik yang dituduhkan
kepada dirinya saat menjadi Deputi Penindakan KPK. Dugaan kode etik itu
lantaran bertemu dengan TGB Zainul Majdi.

Pada 13 Mei 2018, dia mengakui bertemu dengan TGB saat masih
menjadi Gubernur NTB. Pertemuan tersebut dilakukan di lapangan tenis dalam
kegiatan Danrem.

Dia pun menyebut, saat itu TGB belum menjadi tersangka. Kasus
Newmont itu, kata Firli, masih tahap penyelidikan dan masih proses audit
kerugian negara.

“Mohon maaf, apa salah saya bertemu orang di lapangan tenis,
bertemu bukan mengadakan pertemuan, di dalam Pasal 36 Pak, di situ disebutkan
mengadakan hubungan dengan seseorang, tersangka atau pihak lain yang ada
perkaranya di KPK. Saat saya bertemu dengan TGB, TGB ini bukan tersangka dan sampai
hari ini belum pernah jadi tersangka,” jelas Firli di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9) kemarin.

Baca Juga :  Gejala Sakit Ini Paling Sering Dirasakan Pasien Covid-19 Varian Delta

Selain itu, soal masifnya operasi tangkap tangan (OTT). Menurut
Firli, jika KPK ingin fokus kepada terhadap penindakan, seharusnya lembaga
antirasuah itu bisa mengembalikan kerugian negara.
Caranya dengan melakukan penyitaan terhadap barang-barang hasil korupsi.

Dalam pandangan Firli, pengembalian kerugian negara menjadi
faktor penting. Untuk itu mantan direktur penindakan KPK itu ingin membenahi
lembaga antirasuah tersebut. Bagi dia, salah satu tujuan utama pemberantasan
bukanlah melakukan penghukuman terhadap orang yang berbuat salah.

“Karena sesungguhnya tujuan penegakan hukum terhadap
pemberantasan korupsi tidak hanya menghukum seseorang, memasukkan ke penjara,”
ungkapnya.

2. Alexander Marwata

Alexander Marwata menilai bahwa pengumuman soal pelanggaran etik
berat mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri oleh pihak KPK tidak
sah. Pengumuman tersebut dilakukan oleh koleganya, Wakil Ketua KPK Saut
Situmorang melalui konferensi pers di Gedung Merah-Putih KPK, pada Rabu (11/9).
Sebab, Firli sudah diberhentikan dengan hormat dari jabatan Deputi Penindakan
KPK dan kembali ke institusi asalnya.

“Kalau yang tiga menyatakan berhenti dan yang satu masih terus
berjalan bertentangan dengan apa yang dikehendaki ketiga pimpinan saya rasa itu
ya tidak sah juga. Menurut pendapat saya,” ujar Alexander saat menjalani uji
kepatutan dan Kelayakan di Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Kamis (12/9).

3. Nurul Ghufron

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini menginginkan adanya
revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK). Dalam sesi fit and proper test, Gufron mengaku menulis
makalah terkait perlunya komisi antirasuah bisa mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan (SP3).
Dalam makalahnya, Ghufron mengatakan, mekanisme penghentian penyidikan
merupakan hal yang alami.

“Dalam makalah saya menyampaikan bahwa penghentian penyidikan
itu adalah mekanisme yang alami. Dalam sebuah sistem. Itu tidak mesti setiap
penyidikan akan berakhir dan menghasilkan berkas perkara berupa tuntutan dan
pemeriksaan di sidang,” kata Ghufron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta
pada Rabu (11/9).

Hal ini, kata dia, sama seperti sebuah penyidikan yang belum
tentu menghasilkan kebenaran. Untuk itu, menurut Ghufron, sudah sewajarnya SP3
diterapkan dalam kerja KPK.

“Sehingga, di hadapan kami SP3 atau penghentian penyidikan itu
adalah sistem yang niscaya, karena sistem peradilan pidana kita adalah sistem
yang berbasis Pancasila, yang religius,” jelasnya.

Baca Juga :  Kuota Penerima Kartu Prakerja Gelombang Ke-12 Hanya 600 Ribu Peserta

4. Nawawi Pomolango

Hakim Pengadilan Tinggi ini secara terang-terangan mengritik
Wadah Pegawai (WP) saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III
DPR. Baginya, entitas itu tak punya dasar hukum dalam struktur Aparatur Sipil
Negara (ASN). Baginya, WP KPK bak oposisi dalam struktur pemerintahan.

“Seakan-akan KPK mengawang-awang. Mereka berasa di awan-awan,
kita yang buat seperti itu menjadi lembaga super,” ucap Nawawi di Kompleks DPR
RI, Rabu (11/9).

Ia kemudian menuding KPK tebang pilih dalam menerapkan kasus
pencucian uang. Hal itu ia sebut berdasarkan data Transparency International
Indonesia (TII), bahwa KPK menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
terhadap 15 dari 313 kasus korupsi yang ditanganinya.

“KPK seperti memilih-milih saja, yang mana dia pakai TPPU, yang
mana enggak, yang mana wajah miskin, yang mana wajah kaya,” jelas Nawawi.

5. Lili Pantauli Siregar

Mantan Wakil Ketua LPSK ini merupakan satu-satunya perempuan
dalam masa kepemimpinan KPK untuk periode 2019-2023. Lili Pintauli Siregar
mengaku tak setuju adanya pembentukan Dewan Pengawas dalam revisi Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU
KPK.

“Kalau Dewan Pengawas, saya tidak setuju. Karena berhubungan
dengan teknis, karena teknis banget kalau saya lihat dari media bagaimana
mungkin soal perizinan itu,” ujar dia saat fit and proper test di ruang rapat
Komisi III DPR, Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (11/9).

Dalam revisi UU KPK, Dewan Pengawas bertugas untuk mengawasi
pimpinan KPK. Selain itu, sebelum lembaga antirasuah melakukan penyadapan dan
penyitaan harus meminta izin kepada Dewan Pengawas.

Di sisi lain, dia mengaku menyetujui salah satu usulan revisi,
yaitu menyangkut dibolehkannya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3). Menurutnya, SP3 bisa dikeluarkan Komisioner KPK untuk
memperjelas proses hukum seseorang.

“Saya setuju adanya SP3. Saya pikir ini menjawab kegelisahan
mereka yang begitu lama jadi tersangka, rekeningnya terblokir, enggak bisa
keluar negeri, usaha tidak berjalan, macet bank, ini bisa menjawab karena
seharusnya pemberantasan korupsi tidak bikin macet hal lain,” jelas Lili.(jpg)

 

Komisi III DPR
RI telah menetapkan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
periode 2019-2023. Mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri terpilih
sebagai Ketua KPK jilid V.

Irjen Firli Bahuri ditetapkan sebagai Ketua KPK berdasarkan hasil
voting suara tertinggi. Firli memperoleh 56 suara. Berturut-turut setelahnya
ada Alexander Marwata dengan 53 suara, Nurul Ghufron dengan 51 suara, Nawawi
Pomolango dengan 50 suara, dan Lili Pintauli Siregar dengan 44 suara.

Meski sudah terpilih menjadi pimpinan KPK jilid V, beberapa di
antaranya masih menjadi kontroversi. Publik menilai, proses pemilihan pimpinan
KPK kali ini kental nuansa politik.

Kelima orang pimpinan KPK terpilih itu dipilih melalui voting
Komisi III DPR RI. Hal ini dilakukan setelah 10 nama calon pimpinam KPK yang
telah diserahkan Presiden Joko Widodo menjalani tahapan uji kepatutan dan
kelayakan atau fit and proper test.

Terdapat sejumlah argumen yang masih dipertanyakan dalam fit and
proper test lima pimpinan KPK terpilih tersebut, di antaranya:

1. Irjen Firli Bahuri

Yang paling fenomenal, Irjen Firli ditetapkan sebagai pelanggar
kode etik berat oleh KPK sehari sebelum menjalani fit and proper test di DPR
RI. Irjen Firli diyakini melanggar etik pada Rabu (11/9).

Irjen Firli menjelaskan dugaan masalah etik yang dituduhkan
kepada dirinya saat menjadi Deputi Penindakan KPK. Dugaan kode etik itu
lantaran bertemu dengan TGB Zainul Majdi.

Pada 13 Mei 2018, dia mengakui bertemu dengan TGB saat masih
menjadi Gubernur NTB. Pertemuan tersebut dilakukan di lapangan tenis dalam
kegiatan Danrem.

Dia pun menyebut, saat itu TGB belum menjadi tersangka. Kasus
Newmont itu, kata Firli, masih tahap penyelidikan dan masih proses audit
kerugian negara.

“Mohon maaf, apa salah saya bertemu orang di lapangan tenis,
bertemu bukan mengadakan pertemuan, di dalam Pasal 36 Pak, di situ disebutkan
mengadakan hubungan dengan seseorang, tersangka atau pihak lain yang ada
perkaranya di KPK. Saat saya bertemu dengan TGB, TGB ini bukan tersangka dan sampai
hari ini belum pernah jadi tersangka,” jelas Firli di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9) kemarin.

Baca Juga :  Gejala Sakit Ini Paling Sering Dirasakan Pasien Covid-19 Varian Delta

Selain itu, soal masifnya operasi tangkap tangan (OTT). Menurut
Firli, jika KPK ingin fokus kepada terhadap penindakan, seharusnya lembaga
antirasuah itu bisa mengembalikan kerugian negara.
Caranya dengan melakukan penyitaan terhadap barang-barang hasil korupsi.

Dalam pandangan Firli, pengembalian kerugian negara menjadi
faktor penting. Untuk itu mantan direktur penindakan KPK itu ingin membenahi
lembaga antirasuah tersebut. Bagi dia, salah satu tujuan utama pemberantasan
bukanlah melakukan penghukuman terhadap orang yang berbuat salah.

“Karena sesungguhnya tujuan penegakan hukum terhadap
pemberantasan korupsi tidak hanya menghukum seseorang, memasukkan ke penjara,”
ungkapnya.

2. Alexander Marwata

Alexander Marwata menilai bahwa pengumuman soal pelanggaran etik
berat mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri oleh pihak KPK tidak
sah. Pengumuman tersebut dilakukan oleh koleganya, Wakil Ketua KPK Saut
Situmorang melalui konferensi pers di Gedung Merah-Putih KPK, pada Rabu (11/9).
Sebab, Firli sudah diberhentikan dengan hormat dari jabatan Deputi Penindakan
KPK dan kembali ke institusi asalnya.

“Kalau yang tiga menyatakan berhenti dan yang satu masih terus
berjalan bertentangan dengan apa yang dikehendaki ketiga pimpinan saya rasa itu
ya tidak sah juga. Menurut pendapat saya,” ujar Alexander saat menjalani uji
kepatutan dan Kelayakan di Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Kamis (12/9).

3. Nurul Ghufron

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini menginginkan adanya
revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK). Dalam sesi fit and proper test, Gufron mengaku menulis
makalah terkait perlunya komisi antirasuah bisa mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan (SP3).
Dalam makalahnya, Ghufron mengatakan, mekanisme penghentian penyidikan
merupakan hal yang alami.

“Dalam makalah saya menyampaikan bahwa penghentian penyidikan
itu adalah mekanisme yang alami. Dalam sebuah sistem. Itu tidak mesti setiap
penyidikan akan berakhir dan menghasilkan berkas perkara berupa tuntutan dan
pemeriksaan di sidang,” kata Ghufron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta
pada Rabu (11/9).

Hal ini, kata dia, sama seperti sebuah penyidikan yang belum
tentu menghasilkan kebenaran. Untuk itu, menurut Ghufron, sudah sewajarnya SP3
diterapkan dalam kerja KPK.

“Sehingga, di hadapan kami SP3 atau penghentian penyidikan itu
adalah sistem yang niscaya, karena sistem peradilan pidana kita adalah sistem
yang berbasis Pancasila, yang religius,” jelasnya.

Baca Juga :  Kuota Penerima Kartu Prakerja Gelombang Ke-12 Hanya 600 Ribu Peserta

4. Nawawi Pomolango

Hakim Pengadilan Tinggi ini secara terang-terangan mengritik
Wadah Pegawai (WP) saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III
DPR. Baginya, entitas itu tak punya dasar hukum dalam struktur Aparatur Sipil
Negara (ASN). Baginya, WP KPK bak oposisi dalam struktur pemerintahan.

“Seakan-akan KPK mengawang-awang. Mereka berasa di awan-awan,
kita yang buat seperti itu menjadi lembaga super,” ucap Nawawi di Kompleks DPR
RI, Rabu (11/9).

Ia kemudian menuding KPK tebang pilih dalam menerapkan kasus
pencucian uang. Hal itu ia sebut berdasarkan data Transparency International
Indonesia (TII), bahwa KPK menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
terhadap 15 dari 313 kasus korupsi yang ditanganinya.

“KPK seperti memilih-milih saja, yang mana dia pakai TPPU, yang
mana enggak, yang mana wajah miskin, yang mana wajah kaya,” jelas Nawawi.

5. Lili Pantauli Siregar

Mantan Wakil Ketua LPSK ini merupakan satu-satunya perempuan
dalam masa kepemimpinan KPK untuk periode 2019-2023. Lili Pintauli Siregar
mengaku tak setuju adanya pembentukan Dewan Pengawas dalam revisi Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU
KPK.

“Kalau Dewan Pengawas, saya tidak setuju. Karena berhubungan
dengan teknis, karena teknis banget kalau saya lihat dari media bagaimana
mungkin soal perizinan itu,” ujar dia saat fit and proper test di ruang rapat
Komisi III DPR, Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (11/9).

Dalam revisi UU KPK, Dewan Pengawas bertugas untuk mengawasi
pimpinan KPK. Selain itu, sebelum lembaga antirasuah melakukan penyadapan dan
penyitaan harus meminta izin kepada Dewan Pengawas.

Di sisi lain, dia mengaku menyetujui salah satu usulan revisi,
yaitu menyangkut dibolehkannya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3). Menurutnya, SP3 bisa dikeluarkan Komisioner KPK untuk
memperjelas proses hukum seseorang.

“Saya setuju adanya SP3. Saya pikir ini menjawab kegelisahan
mereka yang begitu lama jadi tersangka, rekeningnya terblokir, enggak bisa
keluar negeri, usaha tidak berjalan, macet bank, ini bisa menjawab karena
seharusnya pemberantasan korupsi tidak bikin macet hal lain,” jelas Lili.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru