28.4 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

BPS Ingatkan Kemarau Panjang Bisa Berdampak ke Produksi Pangan

Kemarau panjang pada
2019 memberi berdampak pada berkurangnya luas lahan panen. Akibatnya, hasil
produksi pertanian diperkirakan bakal merosot. Jumlah produksi gabah atau beras
pun diprediksi akan menurun.

Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan pemerintah
terkait musim kemarau sepanjang 2019 yang lebih panjang. Kemarau panjang akan
menyulitkan masyarakat mendapatkan air bersih di sejumlah wilayah dan gagal
panen akibat minimnya pasokan air.

“Potensi luas panen
tahun ini memang lebih rendah dari 2018, indikasinya seperti itu,” ungkap
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto
kepada wartawan, Jumat (30/8).

BPS mengingatkan,
ancaman turunnya produksi masih terjadi, mengingat belum berakhirnya musim
kemarau. Namun, dari pengamatan yang dilakukan melalui Kerangka Sampel Area
(KSA), terdeteksi masih ada potensi pertanaman sampai Oktober, khususnya di
daerah-daerah yang memiliki irigasi yang baik.
“Harus hati-hati di sisa bulan-bulan kedepan sampai Desember,” dia
mengingatkan.

Sebelumnya, BPS
menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Menurut data luas lahan yang
didapatkan dari Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi
Geospasial (BIG), ada penurunan. Pada 2018 luas lahan ada 7,1 juta hektare.
Sedang pada 2017 masih 7,75 juta hektare.

Menguatkan data BPS,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan terdapat tujuh
provinsi yang terdampak bencana kekeringan, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Empat kabupaten berstatus tanggap
darurat, dan 32 kabupaten/kota berstatus siaga darurat.

Sebaliknya, Menteri
Pertanian Amram Sulaiman optimistis produksi pangan tetap baik. Ia punya kiat
menjaga produksi. Mentan mendesak petani menggenjot produksi pangan dengan
mengurangi jam tidur. Bahkan, menteri asli Sulawesi Selatan itu meminta petani
bekerja 24 jam penuh selama sehari untuk mengejar produksi pangan.

“Tidur dekat
ekskavator (mesin pengeruk untuk penggalian) bareng pak Danramil. Bangun, kerja
lagi. Dengan semangat kerja begini, Sumsel yang 5 besar penghasil pangan
terbesar, nomor tiga di Indonesia bisa menjadi peringkat 1 pada 2020,” ujar
Amran saat berdialog bersama petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok
Petani (Gapoktan) di Kecamatan Muara Padang, Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu
(28/8).

Baca Juga :  Jaksa Fedrik Adhar Terpapar Covid-19 saat Mudik ke Baturaja Sumsel

Dampak kemarau panjang
juga ditanggapi Guru Besar IPB, Dwi Andreas. Ia mengakui, stok beras di Bulog
yang ada sekitar 2,3 juta ton itu penting sebagai cadangan. Akan tetapi, yang
perlu dipertimbangkan adalah saat ini Bulog memiliki tugas untuk salurkan beras
ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui e-warung. Jika program
tersebut sudah berjalan, maka stok di Bulog dipastikan berkurang.

Menurutnya, pemerintah
harus benar-benar melakukan perhitungan yang tepat. Mengingat saat ini produksi
pangan mengalami penurunan. (jpg)

 


Ilustrasi pedagang
beras tengah mengecek kualitas beras. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan
kekeringan yang terjadi saat ini diprediksi akan menekan produksi beras. (Dok.
Fedrik Tarigan)

BPS Ingatkan Kemarau Panjang Bisa
Berdampak ke Produksi Pangan

Kemarau panjang pada
2019 memberi berdampak pada berkurangnya luas lahan panen. Akibatnya, hasil
produksi pertanian diperkirakan bakal merosot. Jumlah produksi gabah atau beras
pun diprediksi akan menurun.

Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan pemerintah
terkait musim kemarau sepanjang 2019 yang lebih panjang. Kemarau panjang akan
menyulitkan masyarakat mendapatkan air bersih di sejumlah wilayah dan gagal
panen akibat minimnya pasokan air.

“Potensi luas panen
tahun ini memang lebih rendah dari 2018, indikasinya seperti itu,” ungkap
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto
kepada wartawan, Jumat (30/8).

BPS mengingatkan,
ancaman turunnya produksi masih terjadi, mengingat belum berakhirnya musim
kemarau. Namun, dari pengamatan yang dilakukan melalui Kerangka Sampel Area
(KSA), terdeteksi masih ada potensi pertanaman sampai Oktober, khususnya di
daerah-daerah yang memiliki irigasi yang baik.
“Harus hati-hati di sisa bulan-bulan kedepan sampai Desember,” dia
mengingatkan.

Baca Juga :  2020 Merupakan Pelaksanaan UN Terakhir

Sebelumnya, BPS
menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Menurut data luas lahan yang
didapatkan dari Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi
Geospasial (BIG), ada penurunan. Pada 2018 luas lahan ada 7,1 juta hektare.
Sedang pada 2017 masih 7,75 juta hektare.

Menguatkan data BPS,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan terdapat tujuh
provinsi yang terdampak bencana kekeringan, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Empat kabupaten berstatus tanggap
darurat, dan 32 kabupaten/kota berstatus siaga darurat.

Sebaliknya, Menteri
Pertanian Amram Sulaiman optimistis produksi pangan tetap baik. Ia punya kiat
menjaga produksi. Mentan mendesak petani menggenjot produksi pangan dengan
mengurangi jam tidur. Bahkan, menteri asli Sulawesi Selatan itu meminta petani
bekerja 24 jam penuh selama sehari untuk mengejar produksi pangan.

“Tidur dekat
ekskavator (mesin pengeruk untuk penggalian) bareng pak Danramil. Bangun, kerja
lagi. Dengan semangat kerja begini, Sumsel yang 5 besar penghasil pangan
terbesar, nomor tiga di Indonesia bisa menjadi peringkat 1 pada 2020,” ujar
Amran saat berdialog bersama petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok
Petani (Gapoktan) di Kecamatan Muara Padang, Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu
(28/8).

Dampak kemarau panjang
juga ditanggapi Guru Besar IPB, Dwi Andreas. Ia mengakui, stok beras di Bulog
yang ada sekitar 2,3 juta ton itu penting sebagai cadangan. Akan tetapi, yang
perlu dipertimbangkan adalah saat ini Bulog memiliki tugas untuk salurkan beras
ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui e-warung. Jika program
tersebut sudah berjalan, maka stok di Bulog dipastikan berkurang.

Menurutnya, pemerintah
harus benar-benar melakukan perhitungan yang tepat. Mengingat saat ini produksi
pangan mengalami penurunan. (jpg)

 

Kemarau panjang pada
2019 memberi berdampak pada berkurangnya luas lahan panen. Akibatnya, hasil
produksi pertanian diperkirakan bakal merosot. Jumlah produksi gabah atau beras
pun diprediksi akan menurun.

Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan pemerintah
terkait musim kemarau sepanjang 2019 yang lebih panjang. Kemarau panjang akan
menyulitkan masyarakat mendapatkan air bersih di sejumlah wilayah dan gagal
panen akibat minimnya pasokan air.

“Potensi luas panen
tahun ini memang lebih rendah dari 2018, indikasinya seperti itu,” ungkap
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto
kepada wartawan, Jumat (30/8).

BPS mengingatkan,
ancaman turunnya produksi masih terjadi, mengingat belum berakhirnya musim
kemarau. Namun, dari pengamatan yang dilakukan melalui Kerangka Sampel Area
(KSA), terdeteksi masih ada potensi pertanaman sampai Oktober, khususnya di
daerah-daerah yang memiliki irigasi yang baik.
“Harus hati-hati di sisa bulan-bulan kedepan sampai Desember,” dia
mengingatkan.

Sebelumnya, BPS
menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Menurut data luas lahan yang
didapatkan dari Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi
Geospasial (BIG), ada penurunan. Pada 2018 luas lahan ada 7,1 juta hektare.
Sedang pada 2017 masih 7,75 juta hektare.

Menguatkan data BPS,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan terdapat tujuh
provinsi yang terdampak bencana kekeringan, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Empat kabupaten berstatus tanggap
darurat, dan 32 kabupaten/kota berstatus siaga darurat.

Sebaliknya, Menteri
Pertanian Amram Sulaiman optimistis produksi pangan tetap baik. Ia punya kiat
menjaga produksi. Mentan mendesak petani menggenjot produksi pangan dengan
mengurangi jam tidur. Bahkan, menteri asli Sulawesi Selatan itu meminta petani
bekerja 24 jam penuh selama sehari untuk mengejar produksi pangan.

“Tidur dekat
ekskavator (mesin pengeruk untuk penggalian) bareng pak Danramil. Bangun, kerja
lagi. Dengan semangat kerja begini, Sumsel yang 5 besar penghasil pangan
terbesar, nomor tiga di Indonesia bisa menjadi peringkat 1 pada 2020,” ujar
Amran saat berdialog bersama petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok
Petani (Gapoktan) di Kecamatan Muara Padang, Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu
(28/8).

Baca Juga :  Jaksa Fedrik Adhar Terpapar Covid-19 saat Mudik ke Baturaja Sumsel

Dampak kemarau panjang
juga ditanggapi Guru Besar IPB, Dwi Andreas. Ia mengakui, stok beras di Bulog
yang ada sekitar 2,3 juta ton itu penting sebagai cadangan. Akan tetapi, yang
perlu dipertimbangkan adalah saat ini Bulog memiliki tugas untuk salurkan beras
ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui e-warung. Jika program
tersebut sudah berjalan, maka stok di Bulog dipastikan berkurang.

Menurutnya, pemerintah
harus benar-benar melakukan perhitungan yang tepat. Mengingat saat ini produksi
pangan mengalami penurunan. (jpg)

 


Ilustrasi pedagang
beras tengah mengecek kualitas beras. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan
kekeringan yang terjadi saat ini diprediksi akan menekan produksi beras. (Dok.
Fedrik Tarigan)

BPS Ingatkan Kemarau Panjang Bisa
Berdampak ke Produksi Pangan

Kemarau panjang pada
2019 memberi berdampak pada berkurangnya luas lahan panen. Akibatnya, hasil
produksi pertanian diperkirakan bakal merosot. Jumlah produksi gabah atau beras
pun diprediksi akan menurun.

Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan pemerintah
terkait musim kemarau sepanjang 2019 yang lebih panjang. Kemarau panjang akan
menyulitkan masyarakat mendapatkan air bersih di sejumlah wilayah dan gagal
panen akibat minimnya pasokan air.

“Potensi luas panen
tahun ini memang lebih rendah dari 2018, indikasinya seperti itu,” ungkap
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto
kepada wartawan, Jumat (30/8).

BPS mengingatkan,
ancaman turunnya produksi masih terjadi, mengingat belum berakhirnya musim
kemarau. Namun, dari pengamatan yang dilakukan melalui Kerangka Sampel Area
(KSA), terdeteksi masih ada potensi pertanaman sampai Oktober, khususnya di
daerah-daerah yang memiliki irigasi yang baik.
“Harus hati-hati di sisa bulan-bulan kedepan sampai Desember,” dia
mengingatkan.

Baca Juga :  2020 Merupakan Pelaksanaan UN Terakhir

Sebelumnya, BPS
menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Menurut data luas lahan yang
didapatkan dari Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi
Geospasial (BIG), ada penurunan. Pada 2018 luas lahan ada 7,1 juta hektare.
Sedang pada 2017 masih 7,75 juta hektare.

Menguatkan data BPS,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan terdapat tujuh
provinsi yang terdampak bencana kekeringan, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Empat kabupaten berstatus tanggap
darurat, dan 32 kabupaten/kota berstatus siaga darurat.

Sebaliknya, Menteri
Pertanian Amram Sulaiman optimistis produksi pangan tetap baik. Ia punya kiat
menjaga produksi. Mentan mendesak petani menggenjot produksi pangan dengan
mengurangi jam tidur. Bahkan, menteri asli Sulawesi Selatan itu meminta petani
bekerja 24 jam penuh selama sehari untuk mengejar produksi pangan.

“Tidur dekat
ekskavator (mesin pengeruk untuk penggalian) bareng pak Danramil. Bangun, kerja
lagi. Dengan semangat kerja begini, Sumsel yang 5 besar penghasil pangan
terbesar, nomor tiga di Indonesia bisa menjadi peringkat 1 pada 2020,” ujar
Amran saat berdialog bersama petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok
Petani (Gapoktan) di Kecamatan Muara Padang, Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu
(28/8).

Dampak kemarau panjang
juga ditanggapi Guru Besar IPB, Dwi Andreas. Ia mengakui, stok beras di Bulog
yang ada sekitar 2,3 juta ton itu penting sebagai cadangan. Akan tetapi, yang
perlu dipertimbangkan adalah saat ini Bulog memiliki tugas untuk salurkan beras
ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui e-warung. Jika program
tersebut sudah berjalan, maka stok di Bulog dipastikan berkurang.

Menurutnya, pemerintah
harus benar-benar melakukan perhitungan yang tepat. Mengingat saat ini produksi
pangan mengalami penurunan. (jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru