Obrolan basa-basi memang sering dianggap sebagai cara yang baik untuk memulai percakapan, tapi bagi sebagian orang yang berpikiran tajam dan cerdas, hal ini justru terasa melelahkan.
Mereka bukan tipe orang yang bisa berpura-pura antusias membicarakan hal-hal dangkal yang tidak memberi makna atau pengetahuan baru.Bagi orang cerdas, waktu dan pikiran terlalu berharga untuk dihabiskan hanya untuk membicarakan sesuatu yang tidak bermakna.
Mereka lebih menikmati diskusi yang jujur, mendalam, dan penuh ide. Itulah sebabnya, mereka cenderung tak betah berlama-lama jika terjebak dalam topik basa-basi yang terasa hambar.
Dilansir dari laman Global English Editing pada Rabu (8/10), berikut merupakan 8 jenis obrolan basa-basi yang paling dihindari oleh orang-orang cerdas.
- Obrolan yang berisi keluhan
Keluhan tentang pekerjaan, lingkungan, atau hal kecil seperti koneksi internet yang lambat sering kali membuat orang cerdas merasa tidak nyaman.Sebab, mereka memiliki kecenderungan alami untuk memecahkan masalah, bukan hanya mendengarkannya berulang kali.
Saat mendengar seseorang terus-menerus mengeluh tanpa mencari solusi, mereka akan merasa frustrasi karena obrolan itu tidak membawa perubahan apa pun.Orang cerdas lebih senang membicarakan cara memperbaiki keadaan, menemukan sudut pandang baru, atau mencari langkah nyata untuk keluar dari masalah.
Bagi mereka, percakapan yang hanya berputar pada keluhan tanpa arah cenderung terasa sia-sia.
- Basa-basi yang diulang terus-menerus
Pertanyaan seperti “Apa kabar?” dan jawaban otomatis “Baik, kamu?” adalah contoh percakapan yang bagi orang cerdas terasa hambar.Mereka memahami bahwa basa-basi seperti ini berfungsi menjaga kesopanan, namun sekaligus merasa bahwa hal itu sering kali kehilangan makna.
Orang cerdas menghargai kesantunan, tetapi lebih menghargai kejujuran dan keaslian dalam berbicara.Bagi mereka, satu kalimat jujur seperti “Hari ini aku sedang tidak terlalu baik” terasa lebih tulus dan bermakna daripada jawaban formal yang dibuat-buat.
Mereka mencari percakapan yang benar-benar menunjukkan kehadiran dan perasaan nyata dari kedua belah pihak.
- Pertanyaan “kamu kerja apa?”
Pertanyaan standar seperti “Kamu kerja di mana?” sering kali terasa membosankan bagi orang cerdas karena seolah-olah kepribadian seseorang hanya bisa diukur dari pekerjaannya.
Padahal, mereka percaya bahwa manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar jabatan atau profesi.
Orang dengan kecerdasan tinggi biasanya lebih tertarik untuk memahami alasan di balik pilihan pekerjaan seseorang, apa yang menjadi sumber semangatnya, dan bagaimana pengalaman hidup membentuk pandangannya terhadap dunia.
Bagi mereka, mengenal seseorang melalui percakapan yang tulus dan bermakna jauh lebih menarik dibandingkan sekadar mengetahui posisi atau status sosialnya.
- Obrolan tentang media sosial dan tren viral
Orang yang cerdas umumnya kurang menikmati percakapan yang isinya hanya membahas video viral atau topik populer dari media sosial.Mereka merasa jenis pembicaraan seperti itu dangkal karena sering kali hanya mengulang opini orang lain tanpa refleksi pribadi.
Bagi mereka, jauh lebih menarik untuk membahas alasan di balik perilaku manusia di media sosial, pengaruh algoritma terhadap cara berpikir masyarakat, atau bagaimana budaya digital mengubah interaksi sosial.
Mereka bukan tidak mengikuti tren, tetapi mereka mencari konteks dan makna yang lebih dalam daripada sekadar membicarakan hal yang sedang ramai di media sosial.
- Gosip tentang selebriti dan berita sensasi
Topik seperti gosip selebriti atau kabar sensasional mungkin terasa menghibur bagi sebagian orang, namun bagi orang cerdas, hal ini justru melelahkan. Mereka menganggap gosip sebagai bentuk hiburan yang tidak memberikan nilai tambah pada pikiran mereka.
Orang cerdas cenderung lebih menikmati percakapan yang bisa menambah wawasan, memperluas sudut pandang, atau memunculkan ide baru.Mereka lebih suka membahas hal-hal yang bisa membangun pemahaman dan empati, bukan sekadar menilai atau membicarakan kehidupan orang lain.
Karena itu, bagi mereka, gosip bukan hanya membosankan, tetapi juga terasa menguras energi dan waktu.
- Obrolan “gimana weekend-mu?”
Bagi orang yang berpikir kritis, percakapan seperti “Gimana akhir pekanmu?” yang diulang setiap minggu terasa tidak tulus.
Biasanya kedua pihak hanya melontarkan pertanyaan itu sebagai formalitas, tanpa niat sungguh-sungguh untuk mendengarkan jawabannya.
Orang cerdas menghargai keaslian dalam berkomunikasi dan tidak suka basa-basi yang hanya dilakukan karena kebiasaan.
Mereka akan lebih senang jika bisa membicarakan sesuatu yang lebih hidup dan jujur, misalnya pengalaman menarik yang mereka alami, pelajaran yang mereka dapatkan, atau hal yang sedang mereka nantikan.
Bagi mereka, percakapan yang alami dan tulus lebih bernilai dibandingkan obrolan yang hanya untuk sekadar mengisi waktu.
- Obrolan yang berusaha terdengar menarik
Orang yang berusaha terlihat keren dengan menceritakan pengalaman luar negeri, pencapaian pribadi, atau hal-hal hebat lainnya sering kali justru terlihat tidak tulus di mata orang cerdas.
Mereka bisa dengan mudah merasakan ketika seseorang berbicara dari rasa ingin pamer, bukan dari kejujuran.
Orang cerdas lebih menghargai mereka yang bisa mengambil makna dari pengalaman hidupnya, bukan sekadar menjadikannya sebagai bahan pamer.
Karena itu, mereka sering tampak pendiam dalam kelompok besar, bukan karena pemalu, tetapi karena mereka menunggu momen ketika percakapan menjadi lebih jujur, mendalam, dan apa adanya.
- Obrolan tentang cuaca dan lalu lintas
Bagi orang yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, topik seperti cuaca atau lalu lintas sering kali terasa terlalu dangkal.Mereka menganggap pembicaraan seperti ini tidak memberikan rangsangan pikiran atau wawasan baru, karena hanya berupa kalimat pengisi agar suasana tidak hening.
Sementara itu, orang cerdas biasanya memiliki pola pikir yang mencari makna dan keteraturan dalam setiap hal.
Mereka akan lebih tertarik untuk membahas mengapa perubahan cuaca bisa memengaruhi suasana hati seseorang, atau bagaimana desain jalan dan tata kota memengaruhi arus lalu lintas.
Jadi, mereka tidak menolak berbicara tentang cuaca, tetapi mereka menginginkan percakapan yang lebih bernilai dan bermakna.(jpc)