29.5 C
Jakarta
Friday, August 8, 2025

Tarbiyah: Dari Mana Asal Cahaya

Oleh: H MUHAMMAD TAMBRIN
Muassis/Pendiri Ponpes Al Fatih Pelaihari Tala

“Allah telah menerangi segala yang zahir dengan cahaya bekas daripada sifat-Nya. Dan Dia menerangi hati dengan cahaya sifat-sifat-Nya. Maka itu terbenam cahaya dari segala yang zahir dan tidak bisa hilang cahaya-cahaya hati. Dikatakan: Sesungguhnya matahari siang tenggelam dengan datangnya malam, tetapi matahari hati tidak akan pernah tenggelam”.

HIKMAH yang ke-101 dari Al-Hikam Al-Atha’iyyah Imam Ahmad bin Atha’illah As-Sakandari Rahimahullah.

Al Mukarram Al Allamah Al Arif Billah KH Muhammad Bakhiet mensyarahkan maksudnya hikmah ke-101 ini adalah Allah SWT menerangi akan segala yang nampak di alam ini, langit, bumi dan segala benda, dengan cahaya bulan, bintang dan matahari. Semuanya ini merupakan bekas (jejak, red) dari sifat Allah.

Jadi, Allah SWT mempunyai sifat kudrat, iradat menciptakan matahari, bulan dan bintang.

Benda yang diciptakan ini bersifat baharu (baru), sehingga cahaya yang terbit darinya juga bersifat baharu.

Sedangkan cahaya ilmu Allah adalah sifat yang kadim. Cahaya ilmu yang langsung bersumber dari-Nya ini lah yang menerangi hati. Berbeda dengan cahaya terbit dari matahari yang baharu.

Ringkasnya, alam zahir ini diterangi dari cahaya yang terbit dari benda-benda dicipta. Sedangkan hati diterangi-Nya dengan cahaya ilmu yang terbit dari sifat Allah yang kadim. Zahir diterangi dari yang baharu, sedangkan batin diterangi dari yang kadim.

Cahaya yang terbit dari matahari sirna seiring dengan tenggelamnya matahari. Cahaya dari sifat Allah tidak bisa tenggelam karena dia kadim.

Baca Juga :  Ambisi Indonesia Pacu Dekarbonisasi Secara Global

Hikmah ini mengingatkan kita, bahwa menjaga kesehatan hati lebih utama daripada menjaga tubuh, karena hati kita disinari langsung oleh sifat Allah. Sedangkan tubuh kita ini disinari dengan cahaya yang merupakan jejak dari sifat Allah. Sehingga kedudukan hati lebih tinggi dari jasad.

Baiknya hati juga lebih utama dari baiknya tubuh, karena rusaknya tubuh akhirnya mati. Sedangkan rusaknya hati akan berakhir di neraka jahanam.

Mengobati penyakit-penyakit yang ada dalam hati juga lebih penting daripada mengobati penyakit-penyakit di tubuh kita. Karena sakitnya hati merusak hamba, agamanya, dan membawa kecelakaan di akhiratnya. Sedangkan penyakit tubuh tidak membahayakan manusia kecuali di dunia.

Ditambah keuntungan apabila sakit tubuh disikapi dengan sabar dan rida, justru menjadi pahala.

Kalau orang berpenyakit hati tidak akan bisa menjadi pahala. Jika tidak berobat, maka akan semakin banyak dosanya.

Di antara penyakit hati adalah ria. Artinya seseorang melakukan suatu ibadah untuk dipuji dan dihargai oleh orang lain selain Allah. Kemudian sombong, merasa lebih mulia, lebih takwa dari orang lain. Selanjutnya bakhil (kikir), tidak mau mengeluarkan harta di jalan Allah, enggan membantu orang, bersilaturahmi, memberi sumbangan.

Ada pula sifat syuh yang lebih jahat dari bakhil. Karena bukan hanya dirinya yang tidak mau mengeluarkan harta di jalan Allah, tapi orang pun yang melakukan malah dia juga tidak suka. Seperti seorang istri yang marah suami berinfak di jalan Allah dan dia tidak suka. Padahal itu bukan milik si istri, dan hak-hak keluarganya juga sudah dicukupi.

Baca Juga :  Menanti Perbaikan Tim Muda Garuda

Sakit hati juga sebagaimana juga sakit tubuh kita, perlu kita kenali gejalanya. Sebab terkadang seorang yang memiliki penyakit hati, tidak merasa ada sifat sombong, ria, kikir dalam dirinya.

Indikasi utama sakitnya hati adalah malasnya berbuat taat. Padahal tidak ada halangan dan rintangan. Misal bangun tengah malam pukul 02.00 untuk menonton bola bisa, tapi untuk melaksanakan salat dua atau empat rakaat malas. Kemudian subuhnya tidak ke masjid lagi. Berarti ada penyakit hati tadi. Bisa saja sombong, kikir, dendam atau apa saja yang menyebabkan malas daripada taat.

Berikutnya menjadi tanda penyakit hati adalah menginginkan umur panjang sepanjang-panjangnya di dunia, dan takut dengan kematian.

Jadi apabila melaksanakan sunah nabi kita malas, salat berjemaah malas, wirid malas, salat Duha malas, apalagi tahajud witir malas, sudah jelas menunjukan ada penyakit dalam hati.

Apabila malas saja, tetapi tetap dikerjakan, berarti penyakit hatinya masih ringan. Tapi kalau tidak dikerjakan sama sekali, maka ini sudah berat penyakitnya.

Ibadah itu terkadang memang kita bisa berat dan ringan, bisa bergairah dan malas. Selama kita bersemangat dan rajin dalam beribadah, itu menunjukan bahwa hati kita sehat. Kalau pun ada penyakit hati, berarti masih ringan. Wallahu a’lam.(*)

Oleh: H MUHAMMAD TAMBRIN
Muassis/Pendiri Ponpes Al Fatih Pelaihari Tala

“Allah telah menerangi segala yang zahir dengan cahaya bekas daripada sifat-Nya. Dan Dia menerangi hati dengan cahaya sifat-sifat-Nya. Maka itu terbenam cahaya dari segala yang zahir dan tidak bisa hilang cahaya-cahaya hati. Dikatakan: Sesungguhnya matahari siang tenggelam dengan datangnya malam, tetapi matahari hati tidak akan pernah tenggelam”.

HIKMAH yang ke-101 dari Al-Hikam Al-Atha’iyyah Imam Ahmad bin Atha’illah As-Sakandari Rahimahullah.

Al Mukarram Al Allamah Al Arif Billah KH Muhammad Bakhiet mensyarahkan maksudnya hikmah ke-101 ini adalah Allah SWT menerangi akan segala yang nampak di alam ini, langit, bumi dan segala benda, dengan cahaya bulan, bintang dan matahari. Semuanya ini merupakan bekas (jejak, red) dari sifat Allah.

Jadi, Allah SWT mempunyai sifat kudrat, iradat menciptakan matahari, bulan dan bintang.

Benda yang diciptakan ini bersifat baharu (baru), sehingga cahaya yang terbit darinya juga bersifat baharu.

Sedangkan cahaya ilmu Allah adalah sifat yang kadim. Cahaya ilmu yang langsung bersumber dari-Nya ini lah yang menerangi hati. Berbeda dengan cahaya terbit dari matahari yang baharu.

Ringkasnya, alam zahir ini diterangi dari cahaya yang terbit dari benda-benda dicipta. Sedangkan hati diterangi-Nya dengan cahaya ilmu yang terbit dari sifat Allah yang kadim. Zahir diterangi dari yang baharu, sedangkan batin diterangi dari yang kadim.

Cahaya yang terbit dari matahari sirna seiring dengan tenggelamnya matahari. Cahaya dari sifat Allah tidak bisa tenggelam karena dia kadim.

Baca Juga :  Ambisi Indonesia Pacu Dekarbonisasi Secara Global

Hikmah ini mengingatkan kita, bahwa menjaga kesehatan hati lebih utama daripada menjaga tubuh, karena hati kita disinari langsung oleh sifat Allah. Sedangkan tubuh kita ini disinari dengan cahaya yang merupakan jejak dari sifat Allah. Sehingga kedudukan hati lebih tinggi dari jasad.

Baiknya hati juga lebih utama dari baiknya tubuh, karena rusaknya tubuh akhirnya mati. Sedangkan rusaknya hati akan berakhir di neraka jahanam.

Mengobati penyakit-penyakit yang ada dalam hati juga lebih penting daripada mengobati penyakit-penyakit di tubuh kita. Karena sakitnya hati merusak hamba, agamanya, dan membawa kecelakaan di akhiratnya. Sedangkan penyakit tubuh tidak membahayakan manusia kecuali di dunia.

Ditambah keuntungan apabila sakit tubuh disikapi dengan sabar dan rida, justru menjadi pahala.

Kalau orang berpenyakit hati tidak akan bisa menjadi pahala. Jika tidak berobat, maka akan semakin banyak dosanya.

Di antara penyakit hati adalah ria. Artinya seseorang melakukan suatu ibadah untuk dipuji dan dihargai oleh orang lain selain Allah. Kemudian sombong, merasa lebih mulia, lebih takwa dari orang lain. Selanjutnya bakhil (kikir), tidak mau mengeluarkan harta di jalan Allah, enggan membantu orang, bersilaturahmi, memberi sumbangan.

Ada pula sifat syuh yang lebih jahat dari bakhil. Karena bukan hanya dirinya yang tidak mau mengeluarkan harta di jalan Allah, tapi orang pun yang melakukan malah dia juga tidak suka. Seperti seorang istri yang marah suami berinfak di jalan Allah dan dia tidak suka. Padahal itu bukan milik si istri, dan hak-hak keluarganya juga sudah dicukupi.

Baca Juga :  Menanti Perbaikan Tim Muda Garuda

Sakit hati juga sebagaimana juga sakit tubuh kita, perlu kita kenali gejalanya. Sebab terkadang seorang yang memiliki penyakit hati, tidak merasa ada sifat sombong, ria, kikir dalam dirinya.

Indikasi utama sakitnya hati adalah malasnya berbuat taat. Padahal tidak ada halangan dan rintangan. Misal bangun tengah malam pukul 02.00 untuk menonton bola bisa, tapi untuk melaksanakan salat dua atau empat rakaat malas. Kemudian subuhnya tidak ke masjid lagi. Berarti ada penyakit hati tadi. Bisa saja sombong, kikir, dendam atau apa saja yang menyebabkan malas daripada taat.

Berikutnya menjadi tanda penyakit hati adalah menginginkan umur panjang sepanjang-panjangnya di dunia, dan takut dengan kematian.

Jadi apabila melaksanakan sunah nabi kita malas, salat berjemaah malas, wirid malas, salat Duha malas, apalagi tahajud witir malas, sudah jelas menunjukan ada penyakit dalam hati.

Apabila malas saja, tetapi tetap dikerjakan, berarti penyakit hatinya masih ringan. Tapi kalau tidak dikerjakan sama sekali, maka ini sudah berat penyakitnya.

Ibadah itu terkadang memang kita bisa berat dan ringan, bisa bergairah dan malas. Selama kita bersemangat dan rajin dalam beribadah, itu menunjukan bahwa hati kita sehat. Kalau pun ada penyakit hati, berarti masih ringan. Wallahu a’lam.(*)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/