27.8 C
Jakarta
Tuesday, September 9, 2025

Tradisi Madam: Migrasi Orang Banjar yang Sudah Ada Sejak Zaman Dulu Kala

“PAMADAMAN” merupakan kosakata bahasa Banjar yang artinya “Perantauan”. Pamadaman berasal dari kata “madam”. Artinya pergi merantau atau melakukan migrasi, terutama keluar Kalsel.

Sejak akhir abad 19 atau awal abad 20, banyak orang Banjar melakukan migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Tak mengherankan orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng, di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado, Gorontalo, Kendari, Makassar, Maluku, dan daerah lain.

Bahkan, tak sedikit di daerah-daerah yang menjadi bagian negara Malaysia, seperti Parit Buntar di Perak, Tanjung Karang di Selangor, dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand.

Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad 19 dan awal abad 20 ini, sebut sejarawan Kalsel Wajidi Amberi, merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di Nusantara. “Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka,” kata Wajidi.

Baca Juga :  Niat Puasa Qadha Ramadhan di Bulan Rajab Lengkap Beserta Artinya

Faktor ekonomi seperti mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu alasan kuat mereka bermigrasi. Misalnya yang dilakukan orang Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet. Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.

“Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang, atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi ke sana untuk membuka lahan dan membuat bangunan,” paparnya.

Namun, fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi, juga dikarenakan faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain. Salah satunya tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin.

“Ada banyak faktor, selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi, red), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan, red),” terangnya.

Baca Juga :  Diduga Tak Kuat Nanjak, Truk Kontainer Jumping di Jembatan Merdeka

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan (Kalimantan Selatan) di tahun 1920-an turut mendorong terjadinya migrasi orang Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda malaise.

“Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan,” sebutnya.

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang. Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga didukung oleh kemampuan orang Banjar dalam memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan.

Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar, baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler).

“Tak mengherankan jika pada masa Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jukung yang dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau Jawa,” katanya. (jpg)

“PAMADAMAN” merupakan kosakata bahasa Banjar yang artinya “Perantauan”. Pamadaman berasal dari kata “madam”. Artinya pergi merantau atau melakukan migrasi, terutama keluar Kalsel.

Sejak akhir abad 19 atau awal abad 20, banyak orang Banjar melakukan migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Tak mengherankan orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng, di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado, Gorontalo, Kendari, Makassar, Maluku, dan daerah lain.

Bahkan, tak sedikit di daerah-daerah yang menjadi bagian negara Malaysia, seperti Parit Buntar di Perak, Tanjung Karang di Selangor, dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand.

Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad 19 dan awal abad 20 ini, sebut sejarawan Kalsel Wajidi Amberi, merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di Nusantara. “Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka,” kata Wajidi.

Baca Juga :  Niat Puasa Qadha Ramadhan di Bulan Rajab Lengkap Beserta Artinya

Faktor ekonomi seperti mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu alasan kuat mereka bermigrasi. Misalnya yang dilakukan orang Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet. Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.

“Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang, atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi ke sana untuk membuka lahan dan membuat bangunan,” paparnya.

Namun, fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi, juga dikarenakan faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain. Salah satunya tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin.

“Ada banyak faktor, selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi, red), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan, red),” terangnya.

Baca Juga :  Diduga Tak Kuat Nanjak, Truk Kontainer Jumping di Jembatan Merdeka

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan (Kalimantan Selatan) di tahun 1920-an turut mendorong terjadinya migrasi orang Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda malaise.

“Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan,” sebutnya.

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang. Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga didukung oleh kemampuan orang Banjar dalam memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan.

Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar, baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler).

“Tak mengherankan jika pada masa Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jukung yang dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau Jawa,” katanya. (jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru