PROKALTENG.CO – Di tengah duka mendalam atas meninggalnya diplomat muda Kementerian Luar Negeri RI, Arya Daru Pangayunan, satu jejak digital dari sang istri, Meta Ayu Puspitantri, atau akrab disapa Pita, mencuat dan menyentuh hati publik.
Arya ditemukan tewas di kamar indekosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025), dengan kondisi kepala dibalut lakban.
Tragedi itu menyisakan banyak tanya, tetapi juga membuka lembar kisah kehidupan pribadi istri Arya Daru Pangayunan yang selama ini jauh dari sorotan.
Sebuah Tulisan yang Kini Terasa Menyayat
Jauh sebelum tragedi itu, tepatnya pada 14 April 2022, Meta Ayu Puspitantri pernah menulis artikel reflektif di media dutajati.com.
Dalam tulisannya, Meta Ayu Puspitantri membuka tabir kehidupan sebagai istri diplomat—bukan glamor, tapi penuh pengorbanan.
Meta Ayu Puspitantri mengaku bahwa perannya bukan hanya sebagai pendamping, tapi juga sebagai representasi bangsa, yang menuntutnya selalu tampil penuh tanggung jawab, kendati realitas kesehariannya tak seindah anggapan publik.
“Namun di hari-hari biasa, kehidupan saya sama seperti kehidupan ibu-ibu pada umumnya di Indonesia,” tulisnya.
Pita membantah citra glamor yang kerap dilekatkan pada istri diplomat.
Ia menjalani hari-hari layaknya ibu rumah tangga biasa: memasak, mengurus rumah, hingga mengantar jemput anak sekolah.
Hanya sesekali ia tampil dengan kebaya dan sanggul dalam acara resmi kenegaraan.
Dari Tak Bisa Menari hingga Jadi Representasi Budaya
Sebagai pendamping diplomat, Pita harus tampil di banyak forum budaya internasional.
Meski awalnya tidak tertarik pada seni tari, ia akhirnya belajar secara perlahan demi memenuhi tugas negara.
“Saya yang tadinya bukan seorang penari dan belum ada minat ke sana, lama-lama mulai bisa merasakan enjoy,” ungkapnya.
Perjuangannya berbuah manis. Ia pernah membawakan Tari Tobelo di Dili, Timor Leste, dan tampil memesona dengan Tari Lenggang Nyai dalam resepsi diplomatik di Buenos Aires, Argentina.
Tantangan Bahasa dan Strategi Bertahan
Tinggal di negara asing seperti Argentina membawa tantangan tersendiri, khususnya dalam hal bahasa.
Kemampuan bahasa Spanyol Pita yang terbatas tak menghalangi semangatnya beradaptasi.
Ia bahkan menciptakan metode sendiri yang disebutnya sebagai “bahasa salah paham.”
“Ya, saya salah, tapi dia paham,” ucapnya ringan dengan selipan humor.
Gestur Sopan Santun yang Menyentuh
Satu momen kecil yang ia bagikan menggambarkan seberapa dalam nilai budaya Indonesia melekat dalam dirinya.
Saat ia menundukkan badan kepada tetangga lansia di lift, sang tetangga justru mengira Pita merasa malu.
“Saya jelaskan dan kami pun menjadi sama-sama belajar,” kenangnya.
Itu adalah satu dari sekian momen yang mencerminkan bagaimana nilai sopan santun Indonesia terbawa hingga lintas benua.
Kerinduan yang Tak Pernah Hilang
Di balik senyum ramah di panggung diplomasi, Pita menyimpan kerinduan mendalam terhadap tanah air dan keluarganya, khususnya sang ibu di Yogyakarta
Perbedaan waktu 10 jam saat ia tinggal di Argentina membuat komunikasi tak lagi mudah.
“Teknologi bisa mempertemukan suara, tapi tak bisa menggantikan pelukan,” tulisnya lirih.
Kini, setelah kepergian sang suami, tulisan itu seperti gema duka yang tak pernah ia duga akan terasa begitu relevan—potret nyata perjuangan seorang perempuan yang berdiri di belakang bayang-bayang diplomasi.(np/jpg)