29.4 C
Jakarta
Tuesday, April 29, 2025

Bupati Komitmen Kebijakan Berpihak Masyarakat Adat untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Berkeadilan

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO –   Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki payung hukum yang kuat untuk melindungi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak, yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2024.

Kabupaten Lamandau pun turut menerbitkan Perda Nomor 3 tahun 2023 dengan tujuan serupa.  Ironisnya, hingga saat ini, belum satu pun MHA di Kabupaten Lamandau yang mendapatkan pengakuan resmi.

Kondisi ini menjadi sorotan serius, mengingat landasan hukum utama pengakuan MHA, Pasal 18B ayat (2), telah disusun sejak tahun 2000, jauh sebelum Kabupaten Lamandau berdiri.

Bupati Lamandau periode 2025-2030, Rizky Aditya Putra, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wakil Bupati Abdul Hamid pada diskusi terfokus (FGD)  “Percepatan Pengakuan MHA di Lamandau”, menekankan perlunya percepatan proses pengakuan dan perlindungan MHA.

FGD yang berlangsung di Aula BPKAD Nanga Bulik baru-baru ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk kepala desa, mantir adat, demang, perwakilan masyarakat adat, Kementerian Dalam Negeri, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan organisasi masyarakat sipil seperti AMAN, Walhi, dan Save Our Borneo.

“Sampai hari ini belum ada komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan. Hal ini menjadi refleksi kita bersama juga sebagai bahan evaluasi kita, jangan sampai publik mengira bahwa kita tidak menaruh perhatian serius terhadap isu MHA di Kabupaten Lamandau,” tegas Bupati, melalui Wakil Bupati Abdul Hamid, Selasa (22/4).

Baca Juga :  Lomba Pidato Bahasa Inggris Antusiasme Pelajar Lamandau Menggeliat

Bupati mengakui keberadaan masyarakat adat yang tersebar luas di hampir seluruh wilayah Lamandau, terutama di daerah hulu seperti aliran sungai Delang, Batangkawa, dan Belantikan. Ia mengapresiasi pengetahuan dan kearifan lokal MHA dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian tradisi turun-temurun.

“Bupati berkomitmen mendorong kebijakan yang inklusif dan berpihak pada masyarakat adat untuk pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial,” ujar Wabup.

Namun, kendala utama dalam proses pengakuan MHA di Lamandau terletak pada belum selesainya penetapan batas wilayah adat.

Safrudin Mahendra dari Yayasan Insan Hutan Indonesia (YIHUI), yang memfasilitasi FGD, menjelaskan bahwa usulan pengakuan dari Masyarakat Adat Laman Kinipan dan Kubung masih terhambat karena masalah ini.

“Lebih kompleks lagi, wilayah adat Kubung berada di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, yang belum memiliki payung hukum yang jelas untuk pengakuan MHA lintas provinsi,” tuturnya.

Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki, menyoroti Peraturan Bupati (Perbup) Lamandau periode sebelumnya yang justru memperumit masalah batas wilayah Kinipan.  Perbup tersebut  menurutnya. Tidak menyelesaikan sengketa batas dengan satu desa saja, tetapi malah mengacaukan kesepakatan yang telah terjalin dengan beberapa desa lain.

Baca Juga :  Hendra Lesmana Hadiri Tata Batas Kawasan Hutan

“Saya mendesak revisi Perbup tersebut agar pemetaan partisipatif wilayah adat Kinipan tidak sia-sia,” bebernya.

Cahya Arie Nugroho dari Kementerian Dalam Negeri, yang hadir secara daring, menjelaskan proses pengakuan MHA yang diawali dengan identifikasi di tingkat kecamatan, dilanjutkan dengan verifikasi dan validasi oleh panitia MHA sebelum direkomendasikan kepada Bupati.

“Saya menekankan bahwa MHA bukan dibentuk oleh pemerintah, melainkan pemerintah yang berkewajiban memberikan pengakuan. Hak-hak adat, seperti hutan adat, tetap harus mengikuti regulasi sektoral di Kementerian Kehutanan,” tuturnya.

Diskusi juga membahas wilayah adat yang telah kehilangan hutan adat akibat izin konsesi.  Aldya Saputra dari BRWA menjelaskan bahwa hal ini tidak menghalangi usulan pengakuan wilayah adat. Pengelolaan fungsi hutan dan lahan di atas wilayah adat akan diselesaikan kemudian dengan pihak-pihak terkait.

Peserta FGD, termasuk perwakilan komunitas adat, menyambut positif diskusi ini dan mendesak percepatan proses identifikasi, verifikasi, validasi, hingga penetapan MHA di Kabupaten Lamandau.  Mereka berharap pemerintah daerah segera memberikan pengakuan dan perlindungan yang layak bagi subjek masyarakat hukum adat. (bib)

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO –   Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki payung hukum yang kuat untuk melindungi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak, yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2024.

Kabupaten Lamandau pun turut menerbitkan Perda Nomor 3 tahun 2023 dengan tujuan serupa.  Ironisnya, hingga saat ini, belum satu pun MHA di Kabupaten Lamandau yang mendapatkan pengakuan resmi.

Kondisi ini menjadi sorotan serius, mengingat landasan hukum utama pengakuan MHA, Pasal 18B ayat (2), telah disusun sejak tahun 2000, jauh sebelum Kabupaten Lamandau berdiri.

Bupati Lamandau periode 2025-2030, Rizky Aditya Putra, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wakil Bupati Abdul Hamid pada diskusi terfokus (FGD)  “Percepatan Pengakuan MHA di Lamandau”, menekankan perlunya percepatan proses pengakuan dan perlindungan MHA.

FGD yang berlangsung di Aula BPKAD Nanga Bulik baru-baru ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk kepala desa, mantir adat, demang, perwakilan masyarakat adat, Kementerian Dalam Negeri, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan organisasi masyarakat sipil seperti AMAN, Walhi, dan Save Our Borneo.

“Sampai hari ini belum ada komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan. Hal ini menjadi refleksi kita bersama juga sebagai bahan evaluasi kita, jangan sampai publik mengira bahwa kita tidak menaruh perhatian serius terhadap isu MHA di Kabupaten Lamandau,” tegas Bupati, melalui Wakil Bupati Abdul Hamid, Selasa (22/4).

Baca Juga :  Lomba Pidato Bahasa Inggris Antusiasme Pelajar Lamandau Menggeliat

Bupati mengakui keberadaan masyarakat adat yang tersebar luas di hampir seluruh wilayah Lamandau, terutama di daerah hulu seperti aliran sungai Delang, Batangkawa, dan Belantikan. Ia mengapresiasi pengetahuan dan kearifan lokal MHA dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian tradisi turun-temurun.

“Bupati berkomitmen mendorong kebijakan yang inklusif dan berpihak pada masyarakat adat untuk pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial,” ujar Wabup.

Namun, kendala utama dalam proses pengakuan MHA di Lamandau terletak pada belum selesainya penetapan batas wilayah adat.

Safrudin Mahendra dari Yayasan Insan Hutan Indonesia (YIHUI), yang memfasilitasi FGD, menjelaskan bahwa usulan pengakuan dari Masyarakat Adat Laman Kinipan dan Kubung masih terhambat karena masalah ini.

“Lebih kompleks lagi, wilayah adat Kubung berada di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, yang belum memiliki payung hukum yang jelas untuk pengakuan MHA lintas provinsi,” tuturnya.

Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki, menyoroti Peraturan Bupati (Perbup) Lamandau periode sebelumnya yang justru memperumit masalah batas wilayah Kinipan.  Perbup tersebut  menurutnya. Tidak menyelesaikan sengketa batas dengan satu desa saja, tetapi malah mengacaukan kesepakatan yang telah terjalin dengan beberapa desa lain.

Baca Juga :  Hendra Lesmana Hadiri Tata Batas Kawasan Hutan

“Saya mendesak revisi Perbup tersebut agar pemetaan partisipatif wilayah adat Kinipan tidak sia-sia,” bebernya.

Cahya Arie Nugroho dari Kementerian Dalam Negeri, yang hadir secara daring, menjelaskan proses pengakuan MHA yang diawali dengan identifikasi di tingkat kecamatan, dilanjutkan dengan verifikasi dan validasi oleh panitia MHA sebelum direkomendasikan kepada Bupati.

“Saya menekankan bahwa MHA bukan dibentuk oleh pemerintah, melainkan pemerintah yang berkewajiban memberikan pengakuan. Hak-hak adat, seperti hutan adat, tetap harus mengikuti regulasi sektoral di Kementerian Kehutanan,” tuturnya.

Diskusi juga membahas wilayah adat yang telah kehilangan hutan adat akibat izin konsesi.  Aldya Saputra dari BRWA menjelaskan bahwa hal ini tidak menghalangi usulan pengakuan wilayah adat. Pengelolaan fungsi hutan dan lahan di atas wilayah adat akan diselesaikan kemudian dengan pihak-pihak terkait.

Peserta FGD, termasuk perwakilan komunitas adat, menyambut positif diskusi ini dan mendesak percepatan proses identifikasi, verifikasi, validasi, hingga penetapan MHA di Kabupaten Lamandau.  Mereka berharap pemerintah daerah segera memberikan pengakuan dan perlindungan yang layak bagi subjek masyarakat hukum adat. (bib)

Terpopuler

Artikel Terbaru