PRESIDEN Prabowo Subianto menginstruksikan Gubernur dan Bupati/Wali Kota se-Indonesia membatasi belanja kegiatan publikasi. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 diktum keempat poin kesatu tersebut bagaikan mimpi buruk bagi pers Tanah Air.
Betapa tidak, sebelum Inpres itu dikeluarkan di Jakarta, 22 Januari 2025, pagu anggaran belanja kegiatan publikasi terus berkurang. Baik dalam UU Nomor 62/2024 Tentang APBN 2025 maupun dalam ratusan Perda Tentang APBD 2025.
Ketika Inpres 1/2025 terbit, disertai dengan segala turunannya. Anggaran belanja komunikasi publik itu semakin kempang kempis. Membuat para pengelola media menjadi ketar-ketir. Apalagi media cetak yang tengah menghadapi senjakala.
Jangankan pengelola media yang cuma bermodalkan akta notaris, domain website, kartu pers, dan “urat malu” yang sudah putus, industri pers yang sudah lama menggurita sekalipun turut goyah karena pengurangan pos belanja komunikasi publik dalam APBN dan APBD.
Begitu pula dengan para pengelola media “indie” di berbagai penjuru Tanah Air. Mereka yang merintis media alternatif dengan idealisme kemerdekaan pers, integritas baik, dan semangat melahirkan karya jurnalistik bermutu, harus menghadapi masa paceklik: berkurangnya anggaran kerja sama media di pemerintah daerah.
Padahal, seperti disebut pendiri Kompas-Gramedia Jakob Oetama, pada diri media itu terkandung dua status klasik: sebagai bisnis dan idealisme (Oetama, 2010). Media tak bisa bertahan, bila mengandalkan idealisme semata. Ada operasional yang mesti dibiayai. Ada karyawan yang mesti dihidupi.
Untuk itu, butuh iklan. Butuh pelanggan. Butuh kerja sama. Butuh adsensi dan clikbait. Memang ada peran swasta nasional dan daerah. Ada peran BUMN dan BUMD. Ada support NGO, yayasan, perguruan tinggi, dan lembaga donor. Namun, ketergantungan pada anggaran pemerintah, masih belum bisa dilepaskan.
Maka, ketika ada kebijakan pembatasan belanja publikasi pemerintah. Yang dibuat secara resmi lewat Instruksi Presiden. Dan diperintahkan pula kepada lembaga pengawas pembangunan untuk mengawalnya. Tentu ini menjadi mimpi buruk bagi para pengelola media di Indonesia.
Tragisnya, mimpi buruk itu terjadi hanya 18 hari sebelum Hari Pers Nasional diperingati pada 9 Februari 2025. Setuju atau tidak setuju, secara hidup bernegara dan berpemerintahan, Hari Pers Nasional atau HPN sudah 40 tahun diperingati, sejak lahirnya Keppres Nomor 5 Tahun 1985.
Sayangnya, peringatan HPN yang juga hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 2025, belum membahas kebijakan pembatasan belanja publikasi pemerintah. Entah karena peringatan HPN terpecah dua; di Pekanbaru, Riau, dan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, atau ada sebab lainnya, wallahualam bi shawab
Yang jelas, hampir semua pengelola media di Tanah Air, kini menjerit dan mengeluhkan kebijakan pengurangan belanja publikasi pemerintah dari pusat sampai ke daerah. Ada yang terang-terangan menjerit lewat pemberitaan. Ada yang melakukan “perlawanan” dengan meningkatkan fungsi pers sebagai kontrol sosial.
Untuk yang terakhir ini, perlu ditimbang baik-buruknya. Memang benar pers adalah “watchdog” alias pengawal demokrasi. Tapi dalam praktiknya, tidak elok bila dibarengi iktikad buruk. Apalagi mengontol karena putus kontrak kerja sama. Nanti, bisa jatuh pada “trial by press”. Ingat, media punya “firewall” antara redaksi dan usaha.
Kearifan Presiden untuk Darah Demokrasi
Dalam kondisi ini, besar sekali harapan kita kepada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, juga kepada para gubernur, bupati dan wali kota, untuk lebih arif dan bijaksana, terkait belanja kegiatan publikasi. Kita semua sepakat, perlu efisiensi anggaran untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Untuk menjaga kas negara dari turbulensi.
Akan tetapi, janganlah sampai belanja kegiatan publikasi pemerintah dipangkas sampai ke akar-akarnya. Bisa anfal dunia pers dan dunia media massa kita nanti. Padahal, kita sepakat dengan teori ahli filsafat awal abad-18 asal Irlandia, Edmun Burke, bahwa media adalah pilar keempat demokrasi. Media berfungsi mengawasi kinerja pemerintahan dalam konsep Trias Politica-nya Montesquie: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tak hanya media yang pilar keempat demokrasi. Berita yang disajikan media, seperti disampaikan pakar komunikasi dunia, Profesor Natalie Fenton, adalah darah bagi demokrasi. Alasan Natalie, seperti dikutip dari kertas kerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, indikator demokrasi yang sehat adalah adanya pertukaran informasi yang simetris. Dalam hal ini, media berperan menyebarkan informasi kepada publik.
Peran media sebagai penyebar informasi kepada publik tentu sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Program prioritas nasional, termasuk Asta Cita dan program hasil terbaik cepat Prabowo-Gibran, akan lebih tepat diketahui publik, dengan bantuan informasi dari media. Pengawasan program tersebut juga lebih mudah karena adanya peran dari media.
Atas dasar itu, kita berharap, kebijakan efisiensi belanja publikasi pemerintah, dapat dikaji lebih matang. Dengan mempertimbangkan masa depan media massa dan nasib pekerjanya. Kita yakin, Prabowo-Gibran punya komitmen yang baik. Apalagi, dalam visi-misi Prabowo-Gibran, pernah terselip janji manis kebebasan pers.
Ya, dalam program kerja Asta Cita 1. Terutama dalam program kerja penguatan demokrasi.
Prabowo-Gibran berkomitmen mengembalikan dan menjamin kebebasan pers yang bertanggungjawab dan berintegritas, dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat, demi kehidupan demokrasi yang sehat. Komitmen ini tentu perlu dibarengi dengan keberpihakan anggaran. Bukan dengan efisiensi anggaran.
Evaluasilah Politik dan Ekonomi Media
Adapun buat pengelola media dan praktisi pers di Tanah Air, perlu menjadikan Instruksi Presiden kepada kepala daerah tentang pembatasan belanja kegiatan publikasi sebagai bahan evaluasi. Harus disadari, sejak reformasi bergulir, praktisi media sudah menghirup udara bebas.
Lahirnya UU Pers No. 40/1999, disusul UU Penyiaran No.32/2002, membuat media tumbuh bak cendawan musim hujan. Kedua undang-undang ini menjadi momentum kebebasan berekspresi. Media bisa lahir tanpa harus mengantongi Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP). Bahkan, modal asing bisa bermain dalam bisnis media di Indonesia
Namun, seperti ditulis R. Kristiawan dalam buku “Penumpang Gelap Demokrasi, Kajian Liberalisasi Media di Indonesia” yang diterbitkan AJI Indonesia, masih ada satu masalah terselip. Banyak orang tidak waspada bahwa liberalisasi politik juga sering berarti liberalisasi ekonomi.
Banyak kalangan lupa bahwa media massa merupakan entitas ekonomi yang bisa saja mendurhakai publik. Penguasaan terhadap banyak media potensial menggiring media menjadi alat politik atau ekonomi bagi pemiliknya. Inilah tantangan industri media di tengah proses demokratisasi.
Untuk ini, mengutip Jakob Oetama, media tidak bisa memandang dirinya sebagai entitas bisnis semata. Sebab ada tanggungjawab sosial kepada publik dan tanggungjawab terhadap profesi jurnalisme. Memandang media dari sisi bisnis semata, tanpa memperhatikan menurunnya kualitas jurnalisme dan rendahnya kesejahteraan wartawan, adalah sesuatu yang tak mungkin.
Pada tataran ini, persoalan etis menjadi sangat penting diperhatikan. Kode etik jurnalistik saja tidak cukup, tanpa aplikasi dalam keseharian praktisi media. Penerapan kode perilaku pada setiap media juga dibutuhkan, agar ada garis api yang dipahami pemilik dan pekerja media dalam mewujudkan cita-cita bersama. Sehingga media tidak ditinggalkan publik yang berhak atas informasi utuh dan beragam.
Kajian ini barangkali layak terus didiskusikan dan dicari formula tepatnya. Apalagi, seiring perkembangan teknologi informasi dan sosial media, bandul informasi semakin bergeser.
Siapa saja kini bisa menjalankan kerja jurnalistik. Tinggal mengetik atau memotret di handphone, lalu meng-upload ke sosial media, informasi bisa betebaran ke mana-mana.
Membuat batas produk jurnalistik dan non-jurnalistik semakin sulit dibedakan. Publik kerap kebingungan, tidak tahu memastikan informasi yang benar dan tidak benar. Terjadi kekaburan informasi atau apa yang disebut “Blur “oleh empu jurnalistik Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosentiel.
Perkembangan atau kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat, telah membuat dunia berlari kencang. Jurnalisme, tak bisa lagi menyajikan informasi dangkal. Kecenderungan pasar yang membutuhkan informasi mendalam, dilengkapi dengan analisis data, perlu dipenuhi tanpa mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme.
Akhirnya, kita ucapkan Selamat Hari Pers Nasional. Semoga, Hari Pers Nasional, menjadi hari yang sakti untuk menghapus mimpi buruk pelaku industri pers Tanah Air. Itu saja. (*)
*) M. Fajar Rillah Vesky, Anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat; wartawan Nonaktif Padang Ekspres (Jawa Pos Group).