Asap tebal membubung di depan gedung pusat
pemerintahan Hongkong Rabu (12/6). Orang-orang di sekitar lokasi berlarian
menyelamatkan diri. Itu bukan asap kebakaran, melainkan tembakan gas air mata
untuk membubarkan massa yang menolak rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi.
Kemarin RUU tersebut dibahas di parlemen.
Polisi tidak hanya menembakkan gas air mata,
tapi juga peluru karet dan semprotan merica. Sebanyak 22 orang dilaporkan
mengalami luka ringan.
“Pengunjuk rasa terus menyerang garis
pertahanan kami. Mereka menggunakan senjata berbahaya, termasuk melemparkan
batu dan barikade besi,†ujar Kepala Polisi Hongkong Stephen Lo Wai-chung
seperti dikutip AFP.
Bentrokan dimulai sekitar pukul 15.00. Itu
adalah batas waktu yang diberikan massa agar pemerintah mencabut RUU ekstradisi
dari parlemen.
Menurut dia, apa yang terjadi sudah termasuk
kerusuhan. Pelakunya bisa dihukum hingga 10 tahun penjara. Gara-gara situasi
memanas, pembahasan RUU ekstradisi di parlemen akhirnya ditunda. “Sudah jelas
bahwa itu bukan lagi aksi damai, tapi kericuhan yang diorganisasi,†tegas Chief
Executive Hongkong Carrie Lam. Dia menambahkan bahwa tindakan massa tersebut
tak bisa ditoleransi.
Namun, tudingan Stephen dan Carrie Lam
dibantah penyelenggara aksi, Civil Human Rights Front. Mereka mengecam aksi
brutal yang dilakukan polisi untuk membubarkan massa. Padahal, mereka tidak
melakukan tindakan provokatif, apalagi membuat kerusuhan. “Aksi hari ini
sepenuhnya karena Carrie Lam mengabaikan 1,03 juta penduduk yang turun ke
jalan. Dia juga menolak membatalkan RUU ekstradisi.†Demikian bunyi pernyataan
Civil Human Rights Front.
Pernyataan senada dilontarkan Direktur Amnesty
International Hongkong Man-kei Tam. Dia menyatakan, polisi telah melanggar
hukum internasional karena menggunakan respons berlebihan pada demonstran.
Padahal, massa hanya melakukan aksi damai. Polisi juga menggeledah orang-orang
yang dianggap mencurigakan. Para jurnalis pun menjadi sasaran tanpa kecuali.
Beberapa pengamat menilai polisi tak ingin aksi menduduki jalan selama
berhari-hari seperti yang dilakukan Umbrella Movement 2014 lalu terulang.
Mereka yang turun ke jalan berasal dari
berbagai lapisan masyarakat. Mayoritas adalah pelajar SMA dan mahasiswa. Polisi
hanya berhasil membubarkan massa selama beberapa jam. Begitu siang berganti
malam, massa kembali menyemut di jalanan. Mereka menduduki jalan-jalan utama
dan mengakibatkan lalu lintas lumpuh. Massa berjanji tidak akan berhenti hingga
RUU ekstradisi dihapus.
Gara-gara aksi massa selama beberapa hari ini,
Badan Pariwisata Hongkong terpaksa membatalkan acara Dragon Boat Carnival yang
dijadwalkan berlangsung 14-16 Juni. Padahal, sudah ada 5 ribu orang yang
berencana berpartisipasi dalam acara tahunan itu. Mereka adalah perwakilan 180
tim dari 16 negara.
Beberapa tahun belakangan ini penduduk
Hongkong kerap turun ke jalan. Semuanya terkait dengan politik agar Hongkong
tak dikuasai Tiongkok sepenuhnya. Namun, demo kali ini berbeda. Skalanya jauh
lebih besar, pun demikian dengan level kericuhannya. Aksi solidaritas juga
dilakukan di kota-kota lain di penjuru dunia seperti Inggris dan Jepang.
Dixon menambahkan, aksi kali ini merefleksikan
besarnya ketidakpercayaan penduduk terhadap pemerintah. Warga Hongkong meyakini
bahwa pemerintah hanyalah boneka Tiongkok. Kebijakan mereka hanya ingin
menyenangkan Beijing. Termasuk RUU ekstradisi itu.
Saat Hongkong diserahkan Inggris ke Tiongkok,
ada kesepakatan bahwa Hongkong akan memiliki sistem sendiri. Istilahnya one
country, two system. Sistem hukum dan pemerintahan di Hongkong adalah warisan
Inggris.(jpc)