25.2 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Kemampuan literasi Masyarakat Masih Rendah

PALANGKA
RAYA – Dinas Pendidikan (Disdik) Kalimantan Tengah (Kalteng) menggelar sosialisasi
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) SMA, belum lama ini. Kegiatan ini bertujuan
untuk menyukseskan Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan GLS.

Kegiatan
yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut, diikuti 40 kepala SMA atau wakil
dan 40 kepala perpustakaan sekolah atau staf perpustakaan, yang berasal dari 13
kabupaten dan 1 kota se-Kalteng.

Saat
itu, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Kalteng, H Slamet Winaryo, menyinggung
masalah kemampuan literasi masyarakat Indonesia yang dianggap masih rendah.

“Bahkan,
posisi negeri ini sering dianggap menempati posisi bawah dalam banyak hal. Termasuk
kemampuan berliterasi dibandingkan dengan banyak negara lain. Bisa jadi hal itu
benar, bisa pula boleh diragukan. Tapi posisi dianggap rendah bisa dijadikan
sebagai pemacu untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan
bersama-sama,”ucap dia.

Untuk
menjawab anggapan masih rendahnya minat membaca di kalangan masyarakat dan
siswa, jelas dia, diperlukan terobosan positif. Jadi dia berharap, siswa di Kalteng
punya target, yakni bisa membaca buku dua jam per hari.

“Ini
perlu kami dorong melalui Gerakan Literasi Keluarga (GLK). Di sini bukan hanya
anak atau siswa saja yang harus membaca. Orangtua juga harus meluangkan waktu
untuk membaca. Dengan demikian, ia bisa menjadi teladan dalam berliterasi.
Mungkin ini hal yang sederhana sekali, Namun, ini tetap perlu komitmen untuk
melaksanakannya secara serius dan konsisten,” tegas dia.

Baca Juga :  SMAN 5 Gelar Simulasi USBN Berbasis Android

Menurut
dia, setiap sosialisasi, bimbingan teknis, pelatihan, jangan hanya bersifat agenda
semata, tapi  harus memberikan dampak
positif, berupa aksi nyata di lapangan atau di satuan pendidikan. Oleh karena
itu, para pemimpin sekolah diharap dapat menerapkan kebijakan yang benar-benar
menyentuh upaya peningkatan mutu yang sesungguhnya.

“Para
warga sekolah juga mesti berpartisipasi aktif dan dapat bekerja sama dan
menjadi teladan. Dengan demikian, upaya untuk menguatkan karakter siswa melalui
gerakan literasi sekolah dapat diwujudkan,”ucap dia.

Sementara
itu, Ketua Satgas GLN Kemdikbud, Pangesti Wiedanti, mengatakan, literasi tak
hanya membaca. Pembiasaan 15 menit membaca sebelum PBM hanya merupakan pintu
masuk kegiatan literasi di sekolah. Yang lebih penting adalah, membangun
karakter dan menanamkan keterampilan abad 21, yakni berpikir kritis, kreatif,
komunikatif, dan kolaboratif. Ini akan membantu siswa Indonesia siap menghadapi
masa depan.

“Sesungguh
banyak kreativitas yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan potensi.
Sekaligus menjadi teladan yang baik. Jika siswa diharuskan membaca buku non-teks
pelajaran selama 15 menit sebelum PBM, guru yang mendampingi mesti juga ikut
membaca. Guru mesti bisa menahan kecenderungan untuk bermain gawai (gadget, red)
untuk sesuatu yang tidak penting,” tutur Pangesti.

Kegiatan
membaca buku 15 menit sebelum proses belajar mengajar (PBM), tambah dia, dapat
dilakukan secara bervariasi dengan berbagai alternatif. Membaca nyaring sebuah
teks oleh guru dan siswa mendengarkan bisa menjadi pilihan.

Setelah
itu siswa dapat menyampaikan ulang atau memberikan komentar. Membaca secara
bergiliran juga bisa menjadi pilihan yang menarik. Bahkan pemutaran video
pendek yang memotivasi dan bermakna juga bisa menjadi selingan yang memikat.

Baca Juga :  PPK SUBUD Palangka Raya Gelar Lomba Catur

“Melalui
membaca buku sesungguhnya kita sedang berproses membuka gudang pengetahuan.
Membaca tentu suatu keniscayaan yang mesti dilakukan. Buku baru akan bisa
menjadi sumber pengetahunan jika sudah dimanfaatkan, tidak dibiarkan teronggok
begitu saja,” terangnya.

Memang,
tambah dia, buku sekarang tidak hanya dalam bentuk cetakan. Di dalam gawai pun
bisa tersimpan begitu banyak buku. Namun, saat membuka gawai, sudahkah kita
bisa fokus dan serius membaca buku atau membaca informasi yang baik? Atau
dengan membaca gawai kita akan begitu mudah beralih dan tidak fokus karena
terpancing ingin membuka hal lain yang bertebaran dan masuk setiap saat dengan
isi yang negatif.

Jadi,
lanjut dia, literasi tak sekadar membaca. Literasi harus menjadi gerakan
yang  terintegrasi dengan aspek lain yang
mendukung. Ia harus mampu membangkitkan kemampuan untuk memahami, mengelolan
dan menggunakan informasi dan pengetahuan serta menerapkan secara cerdas dan
bijak.

“Semua
sekolah dan perpustakaan mesti memberikan layanan dan model terbaik untuk
menggugah kesadaran warga sekolah untuk menguatkan karakter melalui gerakan
literasi. Ya, kita yakin sebenarnya gerakan literasi sudah bergerak sejak dulu.
Namun, kesungguhan untuk menjaga konsistensi, keteguhan, dan penguatan tetap
memerlukan keteladanan yang tak sekadar slogan,” tandasnya. (hms/don/aza/CTK)

PALANGKA
RAYA – Dinas Pendidikan (Disdik) Kalimantan Tengah (Kalteng) menggelar sosialisasi
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) SMA, belum lama ini. Kegiatan ini bertujuan
untuk menyukseskan Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan GLS.

Kegiatan
yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut, diikuti 40 kepala SMA atau wakil
dan 40 kepala perpustakaan sekolah atau staf perpustakaan, yang berasal dari 13
kabupaten dan 1 kota se-Kalteng.

Saat
itu, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Kalteng, H Slamet Winaryo, menyinggung
masalah kemampuan literasi masyarakat Indonesia yang dianggap masih rendah.

“Bahkan,
posisi negeri ini sering dianggap menempati posisi bawah dalam banyak hal. Termasuk
kemampuan berliterasi dibandingkan dengan banyak negara lain. Bisa jadi hal itu
benar, bisa pula boleh diragukan. Tapi posisi dianggap rendah bisa dijadikan
sebagai pemacu untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan
bersama-sama,”ucap dia.

Untuk
menjawab anggapan masih rendahnya minat membaca di kalangan masyarakat dan
siswa, jelas dia, diperlukan terobosan positif. Jadi dia berharap, siswa di Kalteng
punya target, yakni bisa membaca buku dua jam per hari.

“Ini
perlu kami dorong melalui Gerakan Literasi Keluarga (GLK). Di sini bukan hanya
anak atau siswa saja yang harus membaca. Orangtua juga harus meluangkan waktu
untuk membaca. Dengan demikian, ia bisa menjadi teladan dalam berliterasi.
Mungkin ini hal yang sederhana sekali, Namun, ini tetap perlu komitmen untuk
melaksanakannya secara serius dan konsisten,” tegas dia.

Baca Juga :  SMAN 5 Gelar Simulasi USBN Berbasis Android

Menurut
dia, setiap sosialisasi, bimbingan teknis, pelatihan, jangan hanya bersifat agenda
semata, tapi  harus memberikan dampak
positif, berupa aksi nyata di lapangan atau di satuan pendidikan. Oleh karena
itu, para pemimpin sekolah diharap dapat menerapkan kebijakan yang benar-benar
menyentuh upaya peningkatan mutu yang sesungguhnya.

“Para
warga sekolah juga mesti berpartisipasi aktif dan dapat bekerja sama dan
menjadi teladan. Dengan demikian, upaya untuk menguatkan karakter siswa melalui
gerakan literasi sekolah dapat diwujudkan,”ucap dia.

Sementara
itu, Ketua Satgas GLN Kemdikbud, Pangesti Wiedanti, mengatakan, literasi tak
hanya membaca. Pembiasaan 15 menit membaca sebelum PBM hanya merupakan pintu
masuk kegiatan literasi di sekolah. Yang lebih penting adalah, membangun
karakter dan menanamkan keterampilan abad 21, yakni berpikir kritis, kreatif,
komunikatif, dan kolaboratif. Ini akan membantu siswa Indonesia siap menghadapi
masa depan.

“Sesungguh
banyak kreativitas yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan potensi.
Sekaligus menjadi teladan yang baik. Jika siswa diharuskan membaca buku non-teks
pelajaran selama 15 menit sebelum PBM, guru yang mendampingi mesti juga ikut
membaca. Guru mesti bisa menahan kecenderungan untuk bermain gawai (gadget, red)
untuk sesuatu yang tidak penting,” tutur Pangesti.

Kegiatan
membaca buku 15 menit sebelum proses belajar mengajar (PBM), tambah dia, dapat
dilakukan secara bervariasi dengan berbagai alternatif. Membaca nyaring sebuah
teks oleh guru dan siswa mendengarkan bisa menjadi pilihan.

Setelah
itu siswa dapat menyampaikan ulang atau memberikan komentar. Membaca secara
bergiliran juga bisa menjadi pilihan yang menarik. Bahkan pemutaran video
pendek yang memotivasi dan bermakna juga bisa menjadi selingan yang memikat.

Baca Juga :  PPK SUBUD Palangka Raya Gelar Lomba Catur

“Melalui
membaca buku sesungguhnya kita sedang berproses membuka gudang pengetahuan.
Membaca tentu suatu keniscayaan yang mesti dilakukan. Buku baru akan bisa
menjadi sumber pengetahunan jika sudah dimanfaatkan, tidak dibiarkan teronggok
begitu saja,” terangnya.

Memang,
tambah dia, buku sekarang tidak hanya dalam bentuk cetakan. Di dalam gawai pun
bisa tersimpan begitu banyak buku. Namun, saat membuka gawai, sudahkah kita
bisa fokus dan serius membaca buku atau membaca informasi yang baik? Atau
dengan membaca gawai kita akan begitu mudah beralih dan tidak fokus karena
terpancing ingin membuka hal lain yang bertebaran dan masuk setiap saat dengan
isi yang negatif.

Jadi,
lanjut dia, literasi tak sekadar membaca. Literasi harus menjadi gerakan
yang  terintegrasi dengan aspek lain yang
mendukung. Ia harus mampu membangkitkan kemampuan untuk memahami, mengelolan
dan menggunakan informasi dan pengetahuan serta menerapkan secara cerdas dan
bijak.

“Semua
sekolah dan perpustakaan mesti memberikan layanan dan model terbaik untuk
menggugah kesadaran warga sekolah untuk menguatkan karakter melalui gerakan
literasi. Ya, kita yakin sebenarnya gerakan literasi sudah bergerak sejak dulu.
Namun, kesungguhan untuk menjaga konsistensi, keteguhan, dan penguatan tetap
memerlukan keteladanan yang tak sekadar slogan,” tandasnya. (hms/don/aza/CTK)

Terpopuler

Artikel Terbaru