25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

K-Pop dan Politik

KETERLIBATAN K-pop idols dan fandom army mereka pada dunia politik telah terjadi sejak 2019. Tidak hanya di Korea, tetapi juga di negara-negara non-Korea.

Beberapa hari ini, di negeri ini, Indonesian K-Pop Army mulai bergerak di media sosial, terutama X platform (dulu Twitter) dan Instagram, untuk mendukung salah satu pasangan capres dan cawapres yang maju di Pemilu 2024. Sebut saja akun-akun @anies bubles yang beredar dan merangkak trending.

Aktivisme digital yang dilakukan oleh para fandom untuk mendukung kandidat capres dan cawapres ini mulai muncul di permukaan. Bahkan, Timnas paslon ini tak pernah berpikir akan hal ini. Gerakan K-popers mendukung salah satu paslon ini organik dan bukan buzzer.

Pertautan budaya populer dan politik bukan hal baru. Pada masa kampanye Jokowi di 2014, budaya populer sudah digunakan dalam pilpres kala itu. Keterlibatan selebriti dalam politik juga bukan hal asing. Namun, gerakan politik dukung-mendukung oleh fans K-pop atau K-popers di Indonesia menunjukkan bahwa fandom dan gerakan politik barangkali adalah indikator betapa powerful-nya digital media dan pengaruh K-pop entertainment dalam politik nasional saat ini.

Gerakan Politik Global K-Popers

Menjelang hari-hari pemilihan presiden Korea pada Maret 2022, para bintang K-Pop mengunggah foto-foto mereka untuk mengajak fans mereka berpartisipasi dalam pilpres di Seoul. Namun, para selebriti itu tidak berani menunjukkan gestur dan warna-warna tertentu, atau emoji-emoji yang mengarah pada kandidat presiden tertentu.

Selebriti mengajak masyarakat untuk memilih bukan hal yang kontroversial. Beda ceritanya jika ada hal kecil yang dikenakan oleh selebriti dipersepsi sebagai hints atau tanda mendukung calon presiden tertentu. Di Korea, political stance atau sikap politik bintang-bintang K-pop sungguhlah berbahaya. Karena bisa menimbulkan political backlash atau perseteruan politik antarfans mereka yang mendukung kubu kandidat presiden.

Raisa Brunner, jurnalis pada majalah Time (25 Juli 2020), menuliskan tentang pengaruh popularitas K-pop untuk menarik fans atau massa mereka terlibat dalam aktivisme politik. Saat grup band BTS manggung di Amerika, kubu Donald Trump membeli tiket konser tersebut dan menggunakannya sekaligus untuk kampanye politik dukungan kepada Trump.

Baca Juga :  Mengakhiri Perundungan di Sekolah

Grup-grup K-pop seperti BTS, Stray Kids, Monsta X, dan Loona juga terlibat dalam aktivisme politik untuk isu-isu global. Mereka berhasil memobilisasi aktivisme politik online melalui media sosial seperti Tumblr, Reddit, TikTok, Instagram, X platform/Twitter, dan lainnya.

Dengan menggunakan pengaruh mereka, para idol menggalang dukungan dan dana untuk aktivisme politik seperti kampanye HAM dan pendidikan bagi anak-anak dan remaja. Ketika gerakan Black Live Matters di Amerika, para fans K-pop kulit hitam menggerakkan massa untuk terlibat dalam aktivisme politik itu secara online.

Di Mesir, para fans K-pop menggunakan topeng wajah atau mask para personel BTS dan menggunakan simbol love di jari mereka pada gerakan protes terhadap isu perubahan iklim di area KTT tahun 2022. Di Cile pada 2021, seorang dosen muda pengajar budaya populer Korea mencoba menggerakkan K-pop fans di Cile untuk mendukung Gabriel Boric, pemuda 36 tahun, sebagai salah satu kandidat presiden Cile.

Dengan menggunakan Twitter-nya kala itu dan social circle-nya, dosen muda tadi membuat gerakan kampanye digital ’’K-popers for Boric”. Bahkan, dia meniru strategi marketing kompetisi yang dilakukan oleh grup-grup K-pop di Korea untuk memenangkan jumlah penonton dan fans mereka.

Fans K-pop agaknya bukan sekadar fans. Mereka adalah army-army yang terlibat dalam gerakan-gerakan politik. Tidak sedikit juga para fandom K-pop berasal dari kaum minoritas: LGBTQ, black people, dan sebagainya.

Fans K-pop yang non-Korea tentu saja tidak melepaskan keterikatan mereka dengan kultur Korea, genre music K-pop itu sendiri, dan bahasa Korea yang tidak mereka banyak pahami juga. Lalu itu mereka gunakan sebagai amunisi untuk memengaruhi sikap politik di negeri non-Korea dengan menggunakan K-pop GIF dan meme di unggahan akun-akun media sosial para K-poper itu.

Baca Juga :  Pertahankan Solidaritas Meskipun Perbedaan Pilihan Politik

Kampanye Medsos K-Pop

Hiburan Korea atau K-pop entertainment nyatanya bisa digunakan untuk memobilisasi massa; dan kekuatan untuk memengaruhi dan mengendalikan para fans atau K-popers terlibat dalam kampanye politik amatlah potensial.

Kampanye online para fans K-pop yang dilakukan di Seoul misalnya dan belahan dunia lain adalah untuk menaikkan rating grup band idola, menaikkan penjualan albumnya, dan menaikkan penyebutan grup K-pop idola di media sosial (social media mention). Suara fans atau fans’ vote sangat dibutuhkan untuk menaikkan top chart lagu-lagu grup idola K-pop, sekaligus untuk bisa meraih penghargaan dalam industri musik di Korea dan dunia.

Strategi-strategi penggalangan massa seperti itu agaknya bisa menjadi model baru bagi penggalangan dukungan dalam kampanye politik online atau melalui media sosial. Bukan tidak mungkin gerakan-gerakan politik online seperti di Korea Selatan, Amerika, Cile, dan negara lainnya menyadarkan pada tim-tim kandidat capres. Bahwa di era digital seperti saat ini, pengerahan kekuatan melalui media sosial bisa dilakukan dengan menggunakan fandom dari para selebriti di tanah air, tidak hanya para K-poper.

Gerakan organik oleh fans K-pop di tanah air untuk mendukung salah satu kandidat capres peserta Pemilu 2024 bukan tidak mungkin akan membuat kubu paslon lain gundah. Kekuatan K-popers atau K-pop army yang luar biasa di Indonesia adalah potensi suara atau yang selama ini digadang-gadang oleh tim pemenangan capres-cawapres.

The power of K-popers tidak disadari mampu menjadi vote-getter potensial dan signifikan untuk perolehan dukungan dan suara pada hari pemilihan nantinya. Akun-akun K-pop fans seperti @aniesbubles yang mulai bermunculan di media sosial, termasuk akun-akun yang menjual tiket-tiket untuk membeli gimmicks ’’abah Anies’’, barangkali menjadi gerakan ’’K-pop fans’ activism’’ dan alat komunikasi politik baru bagi pilpres Indonesia di tahun 2024. (*)

*) RACHMAH IDA, Pengampu mata kuliah komunikasi politik dan media politik Departemen Komunikasi Unair

KETERLIBATAN K-pop idols dan fandom army mereka pada dunia politik telah terjadi sejak 2019. Tidak hanya di Korea, tetapi juga di negara-negara non-Korea.

Beberapa hari ini, di negeri ini, Indonesian K-Pop Army mulai bergerak di media sosial, terutama X platform (dulu Twitter) dan Instagram, untuk mendukung salah satu pasangan capres dan cawapres yang maju di Pemilu 2024. Sebut saja akun-akun @anies bubles yang beredar dan merangkak trending.

Aktivisme digital yang dilakukan oleh para fandom untuk mendukung kandidat capres dan cawapres ini mulai muncul di permukaan. Bahkan, Timnas paslon ini tak pernah berpikir akan hal ini. Gerakan K-popers mendukung salah satu paslon ini organik dan bukan buzzer.

Pertautan budaya populer dan politik bukan hal baru. Pada masa kampanye Jokowi di 2014, budaya populer sudah digunakan dalam pilpres kala itu. Keterlibatan selebriti dalam politik juga bukan hal asing. Namun, gerakan politik dukung-mendukung oleh fans K-pop atau K-popers di Indonesia menunjukkan bahwa fandom dan gerakan politik barangkali adalah indikator betapa powerful-nya digital media dan pengaruh K-pop entertainment dalam politik nasional saat ini.

Gerakan Politik Global K-Popers

Menjelang hari-hari pemilihan presiden Korea pada Maret 2022, para bintang K-Pop mengunggah foto-foto mereka untuk mengajak fans mereka berpartisipasi dalam pilpres di Seoul. Namun, para selebriti itu tidak berani menunjukkan gestur dan warna-warna tertentu, atau emoji-emoji yang mengarah pada kandidat presiden tertentu.

Selebriti mengajak masyarakat untuk memilih bukan hal yang kontroversial. Beda ceritanya jika ada hal kecil yang dikenakan oleh selebriti dipersepsi sebagai hints atau tanda mendukung calon presiden tertentu. Di Korea, political stance atau sikap politik bintang-bintang K-pop sungguhlah berbahaya. Karena bisa menimbulkan political backlash atau perseteruan politik antarfans mereka yang mendukung kubu kandidat presiden.

Raisa Brunner, jurnalis pada majalah Time (25 Juli 2020), menuliskan tentang pengaruh popularitas K-pop untuk menarik fans atau massa mereka terlibat dalam aktivisme politik. Saat grup band BTS manggung di Amerika, kubu Donald Trump membeli tiket konser tersebut dan menggunakannya sekaligus untuk kampanye politik dukungan kepada Trump.

Baca Juga :  Mengakhiri Perundungan di Sekolah

Grup-grup K-pop seperti BTS, Stray Kids, Monsta X, dan Loona juga terlibat dalam aktivisme politik untuk isu-isu global. Mereka berhasil memobilisasi aktivisme politik online melalui media sosial seperti Tumblr, Reddit, TikTok, Instagram, X platform/Twitter, dan lainnya.

Dengan menggunakan pengaruh mereka, para idol menggalang dukungan dan dana untuk aktivisme politik seperti kampanye HAM dan pendidikan bagi anak-anak dan remaja. Ketika gerakan Black Live Matters di Amerika, para fans K-pop kulit hitam menggerakkan massa untuk terlibat dalam aktivisme politik itu secara online.

Di Mesir, para fans K-pop menggunakan topeng wajah atau mask para personel BTS dan menggunakan simbol love di jari mereka pada gerakan protes terhadap isu perubahan iklim di area KTT tahun 2022. Di Cile pada 2021, seorang dosen muda pengajar budaya populer Korea mencoba menggerakkan K-pop fans di Cile untuk mendukung Gabriel Boric, pemuda 36 tahun, sebagai salah satu kandidat presiden Cile.

Dengan menggunakan Twitter-nya kala itu dan social circle-nya, dosen muda tadi membuat gerakan kampanye digital ’’K-popers for Boric”. Bahkan, dia meniru strategi marketing kompetisi yang dilakukan oleh grup-grup K-pop di Korea untuk memenangkan jumlah penonton dan fans mereka.

Fans K-pop agaknya bukan sekadar fans. Mereka adalah army-army yang terlibat dalam gerakan-gerakan politik. Tidak sedikit juga para fandom K-pop berasal dari kaum minoritas: LGBTQ, black people, dan sebagainya.

Fans K-pop yang non-Korea tentu saja tidak melepaskan keterikatan mereka dengan kultur Korea, genre music K-pop itu sendiri, dan bahasa Korea yang tidak mereka banyak pahami juga. Lalu itu mereka gunakan sebagai amunisi untuk memengaruhi sikap politik di negeri non-Korea dengan menggunakan K-pop GIF dan meme di unggahan akun-akun media sosial para K-poper itu.

Baca Juga :  Pertahankan Solidaritas Meskipun Perbedaan Pilihan Politik

Kampanye Medsos K-Pop

Hiburan Korea atau K-pop entertainment nyatanya bisa digunakan untuk memobilisasi massa; dan kekuatan untuk memengaruhi dan mengendalikan para fans atau K-popers terlibat dalam kampanye politik amatlah potensial.

Kampanye online para fans K-pop yang dilakukan di Seoul misalnya dan belahan dunia lain adalah untuk menaikkan rating grup band idola, menaikkan penjualan albumnya, dan menaikkan penyebutan grup K-pop idola di media sosial (social media mention). Suara fans atau fans’ vote sangat dibutuhkan untuk menaikkan top chart lagu-lagu grup idola K-pop, sekaligus untuk bisa meraih penghargaan dalam industri musik di Korea dan dunia.

Strategi-strategi penggalangan massa seperti itu agaknya bisa menjadi model baru bagi penggalangan dukungan dalam kampanye politik online atau melalui media sosial. Bukan tidak mungkin gerakan-gerakan politik online seperti di Korea Selatan, Amerika, Cile, dan negara lainnya menyadarkan pada tim-tim kandidat capres. Bahwa di era digital seperti saat ini, pengerahan kekuatan melalui media sosial bisa dilakukan dengan menggunakan fandom dari para selebriti di tanah air, tidak hanya para K-poper.

Gerakan organik oleh fans K-pop di tanah air untuk mendukung salah satu kandidat capres peserta Pemilu 2024 bukan tidak mungkin akan membuat kubu paslon lain gundah. Kekuatan K-popers atau K-pop army yang luar biasa di Indonesia adalah potensi suara atau yang selama ini digadang-gadang oleh tim pemenangan capres-cawapres.

The power of K-popers tidak disadari mampu menjadi vote-getter potensial dan signifikan untuk perolehan dukungan dan suara pada hari pemilihan nantinya. Akun-akun K-pop fans seperti @aniesbubles yang mulai bermunculan di media sosial, termasuk akun-akun yang menjual tiket-tiket untuk membeli gimmicks ’’abah Anies’’, barangkali menjadi gerakan ’’K-pop fans’ activism’’ dan alat komunikasi politik baru bagi pilpres Indonesia di tahun 2024. (*)

*) RACHMAH IDA, Pengampu mata kuliah komunikasi politik dan media politik Departemen Komunikasi Unair

Terpopuler

Artikel Terbaru