28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Kenalkan Kecapi Khas Kalteng ke Dunia tanpa Meninggalkan Sisi Kearifan

PALANGKA RAYA- Generasi
muda Kalteng memang patut diperhitungkan
. Prestasi
kembali diraih. Empat medali digondol dalam ajang World Invention Competition
And Exhibition (WICE) di Malaysia, 2-6 Oktober 2019.

Medali emas untuk
proyek membasmi tikus. Medali emas juga diperoleh dari proyek tes keefektifan
pestisida nabati untuk membasmi organisme pengganggu tumbuhan. Medali perunggu didapatkan
dari proyek inovasi produk kapsul, yoghurt, dan miss V sebagai pencegah
keputihan pada kewanitaan. Sementara medali perak diraih melalui proyek membawa
kecapi ke kancah dunia.

Kali ini, penulis akan membahas
soal alat musik kecapi yang berhasil meraih medali perak.
 Kecapi khas Kalteng
awalnya hanya digunakan dalam ritual adat untuk mengiringi tarian, atau dalam
bahasa Dayak disebut sangiang (ritual pemanggilan roh). Mendapat apresiasi luar
biasa.

Ketua tim, Vierina
Gloryn, mengakui bahwa alat musik kecapi khas Kalteng ini, seiring
berkembangnya zaman, sudah umum digunakan untuk mengiringi lagu-lagu daerah.

“Berkarungut contohnya,”
ucapnya.

Akan tetapi, sebagai
generasi muda yang memiliki rasa cinta terhadap seni khususnya musik, perempuan
kelahiran Kota Palangka Raya ini ingin agar kecapi tak hanya dikenal sebagai
alat musik tradisional untuk mengiringi lagu daerah dan tarian adat. Ia
mengimpikan agar kecapi bisa dikenal oleh dunia dan bisa mengiringi lagu-lagu
internasional.

Dalam ajang WICE ini,
tim yang beranggotakan Vierina Gloryn, Aulia Fitri Rahmadani, Bella cahayati,
Diga Yadika Putra, dan Vanya Shelomitha memainkan kecapi dalam tiga jenis,
yakni ritem, melodi, dan bas. Mereka tampilkan di panggung perlombaan.

Baca Juga :  Di Palangka Raya, Ternyata Masih Ditemukan Sapi Bergejala PMK

“Kami membawakan lima
lagu dalam ajang WICE. Empat lagu internasional dan satu lagu daerah. Kami memainkan
kecapi sekaligus membuktikan bahwa kecapi bisa mengiringi lagu-lagu
internasional,” tuturnya.

Lagu-lagu yang dibawakan
mereka dengan diiringi kecapi, yakni Hole in The Mountain, We Are The Champion,
Take Me Home Country Roads, Winter Games, dan lagu khas Kalteng Manari Manasai.
Melalui pertunjukan itu, mereka ingin membuktikan bahwa kecapi dapat mengiringi
irama lagu-lagu internasional. Tak sebatas untuk lagu-lagu daerah Kalteng.

“Tidak lupa kami juga
kenalkan kecapi dengan lagu daerah Manari Manasai,” sebutnya saat ditemui
Kalteng Pos di Smada, akhir pekan lalu.

Pada awalnya mereka belum
mendapatkan frekuensi dari kecapi-kecapi tersebut. Bahkan dianggap tidak
mempunyai nada. Dilakukanlah penelitian, dibantu tim dari Universitas Palangka
Raya (UPR) dan Universitas Indonesia (UI), hingga akhirnya ditemukan frekuensi pada
setiap senarnya.

“Kami ingin mengenalkan
kecapi ke dunia luas, tapi tidak meninggalkan sisi kearifan lokal dan keaslian
kecapi, karena yang ingin kami kenalkan, selain seni, tapi juga kearifan
lokalnya,” tambahnya.

Meski saat ini kecapi
sudah mulai dikenal masyarakat luas untuk mengiringi karungut, tetapi ada sisi
lain yang bisa membawa kecapi hingga ke dunia luar. Bukan mengubah, tapi
memberi variasi, agar selain dikenal dunia, juga dapat mengiringi lagu-lagu
nasional bahkan internasional.

Baca Juga :  100 Penumpang Beruntung Dapatkan Tiket Mudik Gratis

“Kecapi tradisional itu
belum ada nada, sehingga hanya bisa dimainkan oleh sang maestro, yakni
orang-orang yang sudah terbiasa memainkan kecapi sejak kecil,” ujar gadis keturunan
suku Dayak ini.

Sebagai generasi muda
pencinta seni, Vierina dkk ingin melestarikan kecapi sebagai alat musik
tradisional agar lebih diminati kaum milenial.

Lantas bagaimana cara
agar kecapi tak hanya bisa dimainkan oleh sang maestro kecapi? Inilah yang
membuat Vierina bersemangat untuk menciptakan kecapi modern berbasis kearifan
lokal.

“Saya berpikir
bagaimana caranya agar kecapi ini bisa dimainkan oleh semua orang, bahkan bisa
dimainkan sebagai alat musik dunia,” beber siswi yang bercita-cita jadi penulis
terkenal ini.

Pada awalnya,
lanjutnya, kecapi hanya mengiringi melodi dalam permainan musik, bukan sebagai suara
alat musik utama.

“Kemudian kami membuat
inovasi agar kecapi bisa lebih dominan atau utama dalam permainan musik. Bisa
dimainkan dalam semua genre musik dan bisa dipelajari oleh orang yang memang
belum paham atau bukan maestro kecapi,” pungkas perempuan kelahiran 16 Juli
2003 ini.(
abw/ce/ram)

PALANGKA RAYA- Generasi
muda Kalteng memang patut diperhitungkan
. Prestasi
kembali diraih. Empat medali digondol dalam ajang World Invention Competition
And Exhibition (WICE) di Malaysia, 2-6 Oktober 2019.

Medali emas untuk
proyek membasmi tikus. Medali emas juga diperoleh dari proyek tes keefektifan
pestisida nabati untuk membasmi organisme pengganggu tumbuhan. Medali perunggu didapatkan
dari proyek inovasi produk kapsul, yoghurt, dan miss V sebagai pencegah
keputihan pada kewanitaan. Sementara medali perak diraih melalui proyek membawa
kecapi ke kancah dunia.

Kali ini, penulis akan membahas
soal alat musik kecapi yang berhasil meraih medali perak.
 Kecapi khas Kalteng
awalnya hanya digunakan dalam ritual adat untuk mengiringi tarian, atau dalam
bahasa Dayak disebut sangiang (ritual pemanggilan roh). Mendapat apresiasi luar
biasa.

Ketua tim, Vierina
Gloryn, mengakui bahwa alat musik kecapi khas Kalteng ini, seiring
berkembangnya zaman, sudah umum digunakan untuk mengiringi lagu-lagu daerah.

“Berkarungut contohnya,”
ucapnya.

Akan tetapi, sebagai
generasi muda yang memiliki rasa cinta terhadap seni khususnya musik, perempuan
kelahiran Kota Palangka Raya ini ingin agar kecapi tak hanya dikenal sebagai
alat musik tradisional untuk mengiringi lagu daerah dan tarian adat. Ia
mengimpikan agar kecapi bisa dikenal oleh dunia dan bisa mengiringi lagu-lagu
internasional.

Dalam ajang WICE ini,
tim yang beranggotakan Vierina Gloryn, Aulia Fitri Rahmadani, Bella cahayati,
Diga Yadika Putra, dan Vanya Shelomitha memainkan kecapi dalam tiga jenis,
yakni ritem, melodi, dan bas. Mereka tampilkan di panggung perlombaan.

Baca Juga :  Di Palangka Raya, Ternyata Masih Ditemukan Sapi Bergejala PMK

“Kami membawakan lima
lagu dalam ajang WICE. Empat lagu internasional dan satu lagu daerah. Kami memainkan
kecapi sekaligus membuktikan bahwa kecapi bisa mengiringi lagu-lagu
internasional,” tuturnya.

Lagu-lagu yang dibawakan
mereka dengan diiringi kecapi, yakni Hole in The Mountain, We Are The Champion,
Take Me Home Country Roads, Winter Games, dan lagu khas Kalteng Manari Manasai.
Melalui pertunjukan itu, mereka ingin membuktikan bahwa kecapi dapat mengiringi
irama lagu-lagu internasional. Tak sebatas untuk lagu-lagu daerah Kalteng.

“Tidak lupa kami juga
kenalkan kecapi dengan lagu daerah Manari Manasai,” sebutnya saat ditemui
Kalteng Pos di Smada, akhir pekan lalu.

Pada awalnya mereka belum
mendapatkan frekuensi dari kecapi-kecapi tersebut. Bahkan dianggap tidak
mempunyai nada. Dilakukanlah penelitian, dibantu tim dari Universitas Palangka
Raya (UPR) dan Universitas Indonesia (UI), hingga akhirnya ditemukan frekuensi pada
setiap senarnya.

“Kami ingin mengenalkan
kecapi ke dunia luas, tapi tidak meninggalkan sisi kearifan lokal dan keaslian
kecapi, karena yang ingin kami kenalkan, selain seni, tapi juga kearifan
lokalnya,” tambahnya.

Meski saat ini kecapi
sudah mulai dikenal masyarakat luas untuk mengiringi karungut, tetapi ada sisi
lain yang bisa membawa kecapi hingga ke dunia luar. Bukan mengubah, tapi
memberi variasi, agar selain dikenal dunia, juga dapat mengiringi lagu-lagu
nasional bahkan internasional.

Baca Juga :  100 Penumpang Beruntung Dapatkan Tiket Mudik Gratis

“Kecapi tradisional itu
belum ada nada, sehingga hanya bisa dimainkan oleh sang maestro, yakni
orang-orang yang sudah terbiasa memainkan kecapi sejak kecil,” ujar gadis keturunan
suku Dayak ini.

Sebagai generasi muda
pencinta seni, Vierina dkk ingin melestarikan kecapi sebagai alat musik
tradisional agar lebih diminati kaum milenial.

Lantas bagaimana cara
agar kecapi tak hanya bisa dimainkan oleh sang maestro kecapi? Inilah yang
membuat Vierina bersemangat untuk menciptakan kecapi modern berbasis kearifan
lokal.

“Saya berpikir
bagaimana caranya agar kecapi ini bisa dimainkan oleh semua orang, bahkan bisa
dimainkan sebagai alat musik dunia,” beber siswi yang bercita-cita jadi penulis
terkenal ini.

Pada awalnya,
lanjutnya, kecapi hanya mengiringi melodi dalam permainan musik, bukan sebagai suara
alat musik utama.

“Kemudian kami membuat
inovasi agar kecapi bisa lebih dominan atau utama dalam permainan musik. Bisa
dimainkan dalam semua genre musik dan bisa dipelajari oleh orang yang memang
belum paham atau bukan maestro kecapi,” pungkas perempuan kelahiran 16 Juli
2003 ini.(
abw/ce/ram)

Terpopuler

Artikel Terbaru