28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Imanuel Nuhan, Sesepuh Korps Pasukan Khas TNI AU Berpulang

PALANGKA
RAYA-
Duka mendalam
dirasakan masyarakat Kalteng dan Korp Pasukan Khas TNI AU. Imanuel Nuhan, satu
dari 13 penerjun pertama TNI AU, meninggal pada usia 95 tahun.

Ornamen bendera merah putih menutupi bagian jasadnya. Disemayamkan
di rumah duka, Jalan G Obos XXIV No 20, Palangka Raya. Baret berwarna jingga
melekat di kepala. Tubuhnya mengenakan seragam kebanggaan warna biru laut
dengan beberapa tanda penghargaan.

Dibaringkan di atas
peti yang diletakkan di ruang tengah, dikelilingi kelambu warna putih. Sejumlah
pelayat menyempatkan melihat untuk terakhir kalinya wajah pria kelahiran Tewah,
1 Januari 1024 tersebut.

Serma (Purn) Imanuel
Nuhan, salah satu pahlawan dari Bumi Tambun Bungai mengembuskan napas terakhir

pada Rabu (9/10) pukul 19.10 WIB, akibat sakit yang dideritanya. Usianya sudah
95 tahun. Imanuel meninggalkan tiga istri, 13 anak, 37 cucu, dan 70 cicit.

Rencananya akan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Sanaman Lampang, Sabtu (12/10). Dihadiri Komandan Korps Pasukan Khas
TNI AU Marsekal Muda TNI Eris Widodo Yuliastono bersama 26 orang pejabat dan prajurit
paskhas.

Imanuel merupakan satu-satunya dari 13 penerjun
yang diberi umur hingga 95 tahun. Rekan-rekan sesama penerjun sudah mendahuluinya
menghadap Tuhan YME.

Hernison, putra pertama Imanuel Nuhan dari
istri kedua, menceritakan secara singkat bagaimana sang ayah dapat tercatat
dalam sejarah sebagai penerjun payung pertama di Indonesia.

“Awalnya bapak (Imanuel, red) itu dari Desa
Tewah ikut sekolah pelayaran. Kemudian berangkat dari desa menuju sekolah
pelayaran yang terletak di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah lulus,
beliau kemudian menjadi tentara Jepang,” katanya kepada Kalteng Pos di rumah
duka.

Baca Juga :  Butuh Udara Segar? Jangan Malu-Malu, Datang ke Rumah Sehat Bebas Asap

Setelah itu sang ayah bergabung dengan Tentara
Republik Indonesia (TRI) bersama orang-orang dari Surabaya. Saat bergabung di
TRI itu, ia sempat berperang di Surabaya dan sekitarnya.

“Bersama arek-arek Suroboyo (orang Surabaya),
bapak ikut perang untuk memerdekakan Indonesia,”

ucapnya.

Istrinya, Minie Daim yang menemani sang suami
mengisahkan, setahun terakhir ini tak ada kegiatan yang dilakukan suaminya,
selain berbaring di tempat tidur karena sakit.

Ada satu keinginan dari Imanuel, yakni ada garis
keturunannya kelak yang menjadi penerusnya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.
Entah itu menjadi polisi atau TNI.

“Itu keinginan yang selalu disampaikan
kepada kami,” ucap perempuan berusia 58 tahun ini.

Imanuel Nuhan juga telah banyak menceritakan kepada
anak dan cucu tentang sejarah perjuangannya bagi bangsa dan negara ini.

“Dahulu bapak sering menceritakan kepada
kami perjuangannya pada masa lalu. Sebab bukan hanya menjadi angkatan udara dan
penerjun payung. Tetapi ada banyak hal,” ungkapnya.

Tjilik Riwut mengajukan kepada gubernur pertama
di Kalimantan untuk mendirikan pasukan payung yang diberi nama MN 1001.

Kemudian terpilihlah 13 orang untuk memasang
pemancar radio, demi memudahkan komunikasi dengan masyarakat yang berada di
Kalimantan, dipimpin oleh Tjilik Riwut sebagai komandan pasukan penunjuk jalan.

Baca Juga :  Gubernur Sugianto: Penetapan New Normal Harus Berdasarkan Data dan Fak

Yang pertama kali melakukan terjun payung
adalah Letnan Muda Yebitak dengan membawa bendera merah putih, kemudian
menyusul persenjataan, makanan, peralatan radio, dan lain-lain.

Selanjutnya menyusul Mayor M Dahlan dan Imanuel
Nuhan menjadi orang ketiga yang melakukan penerjunan, disusul yang lainnya.

Belasan orang tersebut bahkan telah dinyatakan
hilang oleh pemerintah pusat, karena tak ada kontak setelah diterjunkan di
hutan belantara Pulau Kalimantan. Dianggap telah tertangkap atau telah gugur.

Imanuel Nuhan selamat pada peristiwa baku
tembak saat mereka sedang beristirahat pada sebuah pondok di hutan. Akhirnya
ada beberapa pasukan yang tertangkap oleh tentara Belanda, tapi tidak termasuk
Imanuel Nuhan.

Setahun kemudian, Imanuel Nuhan ditangkap dan dikurung
di Nusa Kambangan. Sempat disiksa oleh pemerintah Hindia Belanda.

Namun setelaha diadakan Konferensi Meja Bundar,
seluruh tahanan politikus dan lain-lain dibebaskan. Sejak saat itu ia
dibebastugaskan dan kembali bekerja di Kebun Binatang Wonokromo.

Imanuel Nuhan juga sempat bekerja beberapa
tahun mengawasi Bandara Tjilik Riwut, sebelum akhirnya kembali ke Desa Tewah,
lalu menikah dan memiliki anak dan cucu.

Imanuel Nuhan kembali dicari oleh Tjilik Riwut,
dan diajak bekerja untuk diperbantukan di kantor gubernur saat itu, hingga
akhirnya pensiun pada tahun 1980.
(fiq/nue/ram)

PALANGKA
RAYA-
Duka mendalam
dirasakan masyarakat Kalteng dan Korp Pasukan Khas TNI AU. Imanuel Nuhan, satu
dari 13 penerjun pertama TNI AU, meninggal pada usia 95 tahun.

Ornamen bendera merah putih menutupi bagian jasadnya. Disemayamkan
di rumah duka, Jalan G Obos XXIV No 20, Palangka Raya. Baret berwarna jingga
melekat di kepala. Tubuhnya mengenakan seragam kebanggaan warna biru laut
dengan beberapa tanda penghargaan.

Dibaringkan di atas
peti yang diletakkan di ruang tengah, dikelilingi kelambu warna putih. Sejumlah
pelayat menyempatkan melihat untuk terakhir kalinya wajah pria kelahiran Tewah,
1 Januari 1024 tersebut.

Serma (Purn) Imanuel
Nuhan, salah satu pahlawan dari Bumi Tambun Bungai mengembuskan napas terakhir

pada Rabu (9/10) pukul 19.10 WIB, akibat sakit yang dideritanya. Usianya sudah
95 tahun. Imanuel meninggalkan tiga istri, 13 anak, 37 cucu, dan 70 cicit.

Rencananya akan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Sanaman Lampang, Sabtu (12/10). Dihadiri Komandan Korps Pasukan Khas
TNI AU Marsekal Muda TNI Eris Widodo Yuliastono bersama 26 orang pejabat dan prajurit
paskhas.

Imanuel merupakan satu-satunya dari 13 penerjun
yang diberi umur hingga 95 tahun. Rekan-rekan sesama penerjun sudah mendahuluinya
menghadap Tuhan YME.

Hernison, putra pertama Imanuel Nuhan dari
istri kedua, menceritakan secara singkat bagaimana sang ayah dapat tercatat
dalam sejarah sebagai penerjun payung pertama di Indonesia.

“Awalnya bapak (Imanuel, red) itu dari Desa
Tewah ikut sekolah pelayaran. Kemudian berangkat dari desa menuju sekolah
pelayaran yang terletak di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah lulus,
beliau kemudian menjadi tentara Jepang,” katanya kepada Kalteng Pos di rumah
duka.

Baca Juga :  Butuh Udara Segar? Jangan Malu-Malu, Datang ke Rumah Sehat Bebas Asap

Setelah itu sang ayah bergabung dengan Tentara
Republik Indonesia (TRI) bersama orang-orang dari Surabaya. Saat bergabung di
TRI itu, ia sempat berperang di Surabaya dan sekitarnya.

“Bersama arek-arek Suroboyo (orang Surabaya),
bapak ikut perang untuk memerdekakan Indonesia,”

ucapnya.

Istrinya, Minie Daim yang menemani sang suami
mengisahkan, setahun terakhir ini tak ada kegiatan yang dilakukan suaminya,
selain berbaring di tempat tidur karena sakit.

Ada satu keinginan dari Imanuel, yakni ada garis
keturunannya kelak yang menjadi penerusnya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.
Entah itu menjadi polisi atau TNI.

“Itu keinginan yang selalu disampaikan
kepada kami,” ucap perempuan berusia 58 tahun ini.

Imanuel Nuhan juga telah banyak menceritakan kepada
anak dan cucu tentang sejarah perjuangannya bagi bangsa dan negara ini.

“Dahulu bapak sering menceritakan kepada
kami perjuangannya pada masa lalu. Sebab bukan hanya menjadi angkatan udara dan
penerjun payung. Tetapi ada banyak hal,” ungkapnya.

Tjilik Riwut mengajukan kepada gubernur pertama
di Kalimantan untuk mendirikan pasukan payung yang diberi nama MN 1001.

Kemudian terpilihlah 13 orang untuk memasang
pemancar radio, demi memudahkan komunikasi dengan masyarakat yang berada di
Kalimantan, dipimpin oleh Tjilik Riwut sebagai komandan pasukan penunjuk jalan.

Baca Juga :  Gubernur Sugianto: Penetapan New Normal Harus Berdasarkan Data dan Fak

Yang pertama kali melakukan terjun payung
adalah Letnan Muda Yebitak dengan membawa bendera merah putih, kemudian
menyusul persenjataan, makanan, peralatan radio, dan lain-lain.

Selanjutnya menyusul Mayor M Dahlan dan Imanuel
Nuhan menjadi orang ketiga yang melakukan penerjunan, disusul yang lainnya.

Belasan orang tersebut bahkan telah dinyatakan
hilang oleh pemerintah pusat, karena tak ada kontak setelah diterjunkan di
hutan belantara Pulau Kalimantan. Dianggap telah tertangkap atau telah gugur.

Imanuel Nuhan selamat pada peristiwa baku
tembak saat mereka sedang beristirahat pada sebuah pondok di hutan. Akhirnya
ada beberapa pasukan yang tertangkap oleh tentara Belanda, tapi tidak termasuk
Imanuel Nuhan.

Setahun kemudian, Imanuel Nuhan ditangkap dan dikurung
di Nusa Kambangan. Sempat disiksa oleh pemerintah Hindia Belanda.

Namun setelaha diadakan Konferensi Meja Bundar,
seluruh tahanan politikus dan lain-lain dibebaskan. Sejak saat itu ia
dibebastugaskan dan kembali bekerja di Kebun Binatang Wonokromo.

Imanuel Nuhan juga sempat bekerja beberapa
tahun mengawasi Bandara Tjilik Riwut, sebelum akhirnya kembali ke Desa Tewah,
lalu menikah dan memiliki anak dan cucu.

Imanuel Nuhan kembali dicari oleh Tjilik Riwut,
dan diajak bekerja untuk diperbantukan di kantor gubernur saat itu, hingga
akhirnya pensiun pada tahun 1980.
(fiq/nue/ram)

Terpopuler

Artikel Terbaru