28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Determinan Penggunaan Kontrasepsi, Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

STUNTING berisiko terjadinya kesakitan dan kematian, ini akan menjadi masalah saat Indonesia menghadapi bonus demografi tahun 2038. Survey Data Kesehatan Indonesia (SDKI) di Indonesia  tahun 2017, persentase bayi lahir kurang dari 2,5 kg atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)  pada usia ibu 20-34  (6,9%). SDKI Provinsi Kalteng tahun 2017 di atas persentase nasional untuk BBLR pada usia ibu 20-34 tahun (9,4%) dan usia ibu 35-49 tahun (11,2%). Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan  Kalteng persentase tertinggi penggunaan jenis alat kontrasepsi adalah kontrasepsi suntik (60%). Demikian data awal yang menjadi dasar Poltekkes Kemenkes Palangka Raya, melalui dosen peneliti, Yena Wineini Migang, MPH dan Cia Aprilianti, MPH bermitra Bersama BKKBN Perwakilan Provinsi Kalteng didampingi Dra. Nurolijah, M.Si dan Drs. Muhammad Dawam, MPA selaku peneliti senior di BKKBN Pusat, tim melakukan penelitian tentang determinan penggunaan kontrasepsi, pelayanan kesehatan ibu dan anak yang menyebabkan resiko stunting di tahun 2020.

Penelitian ini menggunakan data sekunder Wanita Usia Subur (WUS) SDKI Provinsi Kalteng tahun 2017, subjek penelitian 221 anak yang lahir tahun 2012 sd 2017 beserta ibu balita.dengan purposive sampling, dimana hanya anak yang tertera berat badan dan ukuran badan yang akan menjadi subjek penelitian. Menggunakan analisa chi square dengan alternatif fisher exact test. Hasil penelitian, ada hubungan alasan penghentian alkon dengan berat bada bayi saat lahir ρ 0,034 <0,05; ada hubungan umur kawin pertama dengan berat badan bayi saat lahir ρ0,002<0,05; ada hubungan paritas dengan berat badan bayi saat lahir ρ0,014<0,05; dan ada hubungan tempat persalinan dengan berat badan bayi saat lahir ρ 0,016<0,05. Ada hubungan alasan penghentian alkon dengan ukuran badan bayi saat lahir ρ0,000<0,05; ada hubungan pengukuran kenaikan berat badan ibu selama hamil dengan ukuran badan bayi saat lahir ρ 0,000< 0,05; ada hubungan menerima vaksinansi hepatiti B saat lahir dengan ukuran badan bayi saat lahir ρ 0,014. Nilai interval koefisien antara 0,20-0,399 yang artinya tingkat hubungan antar variabel tersebut rendah, masih perlu penelitian lanjutan untuk menentukan faktor-faktor yang lebih dominan mempengaruhi resiko stunting pada balita.

Berdasarkan variabel pelayanan kesehatan ibu, pemilihan alat kontrasepsi persentase tertinggi jenis kontrasepsi suntik (72,3%), padahal secara konsistensi kontrasepsi dengan suntik sangat rendah, karena faktor lupa dari akseptor KB terhadap tanggal suntik ulang sangat besar, apalagi di tengah pandemi covid- 19, pergi ke luar rumah sangat dibatasi. Hal ini menjadi tantangan bagi program KB untuk mencari strategi mencapai target sasarannya. Karena saat kita berbicara jumlah anak (paritas) pada penelitian ini, memiliki hubungan secara linear dengan resiko BBLR (<2,5 kg). Pentingnya pemilihan kontrasepsi yang tepat karena dapat mencegah stunting, dengan membatasi jumlah kelahiran, orangtua dapat lebih bisa memperhatikan pertumbuhan anak. Selain metode kontrasepsi suntik, persentasenya tinggi adalah metode kontrasepsi pil KB, kedua metode di atas merupakan metode kontrasepsi jangka pendek, dengan tingkat kegagalan sangat tinggi.

Ada beberapa faktor akseptor memilih kontrasepsi bukan jenis jangka panjang, seperti ingin hamil dan jumlah anak masih sedikit < 2 orang serta dukungan suami. Pada penelitian analisa data sekunder SDKI 2017, di provinsi Kalteng jumlah anak (paritas)  ≤ 2 orang anak masih sangat tinggi (62,9%), artinya masih banyak pasangan yang ingin menambah anak dan (14,9%) menyatakan berhenti menggunakan alat kontrasepsi karena tidak disetujui suami. Alasan penghentian penggunaan kontrasepsi ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan berat badan bayi saat lahir serta ukuran badan bayi saat lahir di mana nilai masing-masing ρ value <0,05 namun hubungan nya masih lemah, artinya jika ada variabel lainnya yang lebih dominan dapat merubah hubungan tersebut.

Baca Juga :  Bawang Merah Solusi Ampuh Atur Gula Darah

Beberapa penelitian sebelumnya, juga menyatakan bahwa paritas memiliki hubungan dengan terjadinya kematian bayi karena kurang siapnya tubuh ibu menghadapi kehamilan, juga saat hamil akan mempengaruhi kesiapan tubuh ibu memberikan nutrisi yang maksimal, semakin banyak anak, tubuh ibu kelelahan untuk dapat mengasuh, apalagi jika jarak melahirkan terlalu pendek, pada penelitian ini jarak persentase tertinggi pada jarak ≥ 2 tahun. Hal lain perlu mendapat perhatian oleh pemegang kebijakan, setelah melihat hasil penelitian perlu koordinasi lintas sektor yang sejalan untuk saling mencapai tujuan yang sama. Bukan hal yang mustahil stunting pada usia balita dapat dieliminasi, dengan memperhatikan sejak menjadi calon ibu.

Namun keadaan yang banyak terjadi di lapangan antar program terkadang satu dengan lainnya tidak sejalan, saat kita berbicara target penggunaan kontrasepsi jangka panjang yang lebih diutamakan untuk mengendalikan jumlah anak, di lain pihak Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) tidak membuat regulasi untuk membatasi pembiayaan kelahiran yang dapat diklaim, seharusnya saat sudah memliki anak 2 orang maka BPJS tidak membiayai anak ketiga dan seterusnya, tapi kenyataan sebaliknya, layaanan kesehatan pratama yang dapat melayani proses persalinan tetap melayani masyarakat dg pembiayaan dari BPJS bahkan anak sudah lebih dari empat tetap dibiayai.

Selain kondisi di atas, umur kawin pertama juga memiliki hubungan signifikan dengan berat badan bayi saat lahir, dengan persentase tertinggi usia kawin berdasarkan analisa data SDKI 2017 di provinsi Kalteng (80,5%) kawin pada usia < 17 tahun. Hal ini pula yang membuat persentase tingkat pendidikan masih pada tingkat pendidikan dasar (25,8%) dan pendidikan menengah (56,1%), padahal pendidikan mempengaruhi persepsi ibu dalam menerapkan pola asuh yang tepat untuk anak, terutama untuk gizi anak. Kehamilan saat usia remaja selalu mempengaruhi pola asuh juga kesiapan fisik calon ibu yang kurang siap untuk memberi nutrisi yang maksimal kepada janin. Perkawinan yang tanpa melibatkan negara masih banyak terjadi, perkawinan hanya dengan hukum adat dan agama, disinilah peran pemerintah daerah untuk membuat regulasi pengaturan usia perkawinan menurut hukum adat dan agama. Sehingga dapat sejalan dengan program pemerintah pusat, khususnya BKKBN untuk membentuk sebuah keluarga yang berencana karena perkawinan yang didasari kematangan psikologi dan kesiapan sosial ekonomi dari calon  orangtua. Demikian juga peran pihak sekolah untuk mempersiapkan remaja sebagai calon penerus masa depan harus mampu mempersiapkan dirinya dengan mengambil keputusan yang tepat saat akan menikah, salah satunya memperhatikan kematangan psikologi, sosial dan ekonomi ditambah lagi kematangan spiritual.

Penelitian sebelumnya yang juga merupakan kerjasama Yena Wineini Migang, MPH dosen dari Poltekkes Kemenkes Palangka Raya dengan BKKBN Pusat dan BKKBN Perwakilan Provinsi Kalteng, berjudul tentang Studi Peran Kampung KB Dalam Upaya Pencegahan Stunting Menuju Bonus Demografi di Kabupaten Barito Timur dan Kota Palangka Raya tahun 2018 dan telah diterbitkan di jurnal terakreditasi, menyatakan bahwa pendidikan ibu berhubungan secara linear dengan kejadian stunting, dimana seorang ibu yang memberikan ASI ekslusif beresiko lebih rendah memiliki anak dengan status gizi stunting. Ibu yang memiliki pendidikn tinggi diharapkan memiliki persepsi positif dan kesiapan emosional untuk memberi ASI ekslusif pada bayinya.

Baca Juga :  Perokok Pasif Lebih Rentan Terserang Penyakit Sistemis

Hal yang juga berperan dalam eliminasi stunting pada balita adalah fasilitas pelayanan kesehatan sangat berhubungan dengan berat badan bayi saat lahir dan ukuran badan bayi saat lahir, ini sejalan dengan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa dengan mengakses layanan kesehatan keluarga akan mendapat pendidikan kesehatan selama kehamilan, persalinan, nifas dan saat pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada penelitian ini antara tempat melahirkan dengan berat badan bayi saat lahir memiliki hubungan dimana kesadaran akan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan pada data SDKI 2017 di provinsi Kalteng sudah baik, ditandai dengan persentase yang rendah persalinan di rumah (38%) dan rumah lainnya (10,9%) sisanya memilih persalinan di fasilitas pemerintah dan fasilitas swasta. Saat keluarga menggunakan fasilitas kesehatan, maka selama hamil ibu akan terpantau kesehatannya, terutama gizi ibu, pada penelitian ini (80,1%) mengaku selama hamil dilakukan pengukuran kenaikan berat badan, hal ini juga yang mengakibatkan adanya hubungan pengukuran kenaikan berat badan selama hamil dengan ukuran badan bayi saat lahir.

Pemantauan kenaikan berat badan badan ibu selama hamil mencegah ibu mengalami kurang energi kronis (KEK) yang dapat mempengaruhi ukuran badan janin. Akses fasilitas pelayanan kesehatan juga membuat bayi yang dilahirkan akan mendapatkan vaksinasi hepatitis B yang diberikan segera setelah lahir, pada penelitian ini persentase bayi yang mendapat vaksinasi hepatitis B lebih banyak daripada yang tidak mendapat vaksin hepatitis B segera setelah lahir. Mendapatkan vaksin berdasarkan laporan ibu (53,4%) dan tercatat di kartu (33,5%), dan hasil uji korelasi ada hubungan signifikan anatar pemberian vaksin hepatiti B saat lahir dengan ukuran berat badan bayi saat lahir. Pemberian vaksin merupakan upaya pencegahan bayi baru lahir untuk terpapar penyakit infeksi, dan ini sejalan dengan beberapa penelitian bahwa penyakit infeksi yang terjadi pada masa pertumbuhan anak akan menyebabkan terjadinya stunting.

Rekomendasi dari penelitian ini bahwa harus ada regulasi atau kebijakan yang saling menunjang antar instansi terkait. Kerjasama lintas sektor, duduk bersama untuk membagi peran dan tugas lewat kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah. Pelayanan kesehatan yang diberikan bahkan sejak calon ibu berusia remaja sampai memiliki anak usia balita perlu secara konsisten, sistematis dan masif diperhatikan oleh para pemegang kebijakan. Bukan hanya menitipkan program pada salah satu instansi pemerintah, misalnya pada BKKBN atau Kemenkes, Tapi pada semua sektor pemerintah dan swasta. Terutama pada saat pandemi Covid-19, dimana perhatian akan status gizi pada balita terabaikan dengan tidak dapat beroperasi lagi posyandu sebagai lini terdepan melakukan screnning awal penemuan kasus stunting pada balita melalui pengukuran antropometri.

Artikel penelitian ini dibuat oleh tim yang terdiri dari Yena Wineini Migang, MPH, Cia Aprilianti, MPH2, Dra. Nurolijah, M.Si3, Drs. Muhammad. Dawam, MPA4  (1,2Jurusan Kebidanan, Prodi Sarjana Terapan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Palangka Raya,3BKKBN Provinsi Kalimantan Tengah dan  4BKKBN Pusat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan (PUSDU).

STUNTING berisiko terjadinya kesakitan dan kematian, ini akan menjadi masalah saat Indonesia menghadapi bonus demografi tahun 2038. Survey Data Kesehatan Indonesia (SDKI) di Indonesia  tahun 2017, persentase bayi lahir kurang dari 2,5 kg atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)  pada usia ibu 20-34  (6,9%). SDKI Provinsi Kalteng tahun 2017 di atas persentase nasional untuk BBLR pada usia ibu 20-34 tahun (9,4%) dan usia ibu 35-49 tahun (11,2%). Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan  Kalteng persentase tertinggi penggunaan jenis alat kontrasepsi adalah kontrasepsi suntik (60%). Demikian data awal yang menjadi dasar Poltekkes Kemenkes Palangka Raya, melalui dosen peneliti, Yena Wineini Migang, MPH dan Cia Aprilianti, MPH bermitra Bersama BKKBN Perwakilan Provinsi Kalteng didampingi Dra. Nurolijah, M.Si dan Drs. Muhammad Dawam, MPA selaku peneliti senior di BKKBN Pusat, tim melakukan penelitian tentang determinan penggunaan kontrasepsi, pelayanan kesehatan ibu dan anak yang menyebabkan resiko stunting di tahun 2020.

Penelitian ini menggunakan data sekunder Wanita Usia Subur (WUS) SDKI Provinsi Kalteng tahun 2017, subjek penelitian 221 anak yang lahir tahun 2012 sd 2017 beserta ibu balita.dengan purposive sampling, dimana hanya anak yang tertera berat badan dan ukuran badan yang akan menjadi subjek penelitian. Menggunakan analisa chi square dengan alternatif fisher exact test. Hasil penelitian, ada hubungan alasan penghentian alkon dengan berat bada bayi saat lahir ρ 0,034 <0,05; ada hubungan umur kawin pertama dengan berat badan bayi saat lahir ρ0,002<0,05; ada hubungan paritas dengan berat badan bayi saat lahir ρ0,014<0,05; dan ada hubungan tempat persalinan dengan berat badan bayi saat lahir ρ 0,016<0,05. Ada hubungan alasan penghentian alkon dengan ukuran badan bayi saat lahir ρ0,000<0,05; ada hubungan pengukuran kenaikan berat badan ibu selama hamil dengan ukuran badan bayi saat lahir ρ 0,000< 0,05; ada hubungan menerima vaksinansi hepatiti B saat lahir dengan ukuran badan bayi saat lahir ρ 0,014. Nilai interval koefisien antara 0,20-0,399 yang artinya tingkat hubungan antar variabel tersebut rendah, masih perlu penelitian lanjutan untuk menentukan faktor-faktor yang lebih dominan mempengaruhi resiko stunting pada balita.

Berdasarkan variabel pelayanan kesehatan ibu, pemilihan alat kontrasepsi persentase tertinggi jenis kontrasepsi suntik (72,3%), padahal secara konsistensi kontrasepsi dengan suntik sangat rendah, karena faktor lupa dari akseptor KB terhadap tanggal suntik ulang sangat besar, apalagi di tengah pandemi covid- 19, pergi ke luar rumah sangat dibatasi. Hal ini menjadi tantangan bagi program KB untuk mencari strategi mencapai target sasarannya. Karena saat kita berbicara jumlah anak (paritas) pada penelitian ini, memiliki hubungan secara linear dengan resiko BBLR (<2,5 kg). Pentingnya pemilihan kontrasepsi yang tepat karena dapat mencegah stunting, dengan membatasi jumlah kelahiran, orangtua dapat lebih bisa memperhatikan pertumbuhan anak. Selain metode kontrasepsi suntik, persentasenya tinggi adalah metode kontrasepsi pil KB, kedua metode di atas merupakan metode kontrasepsi jangka pendek, dengan tingkat kegagalan sangat tinggi.

Ada beberapa faktor akseptor memilih kontrasepsi bukan jenis jangka panjang, seperti ingin hamil dan jumlah anak masih sedikit < 2 orang serta dukungan suami. Pada penelitian analisa data sekunder SDKI 2017, di provinsi Kalteng jumlah anak (paritas)  ≤ 2 orang anak masih sangat tinggi (62,9%), artinya masih banyak pasangan yang ingin menambah anak dan (14,9%) menyatakan berhenti menggunakan alat kontrasepsi karena tidak disetujui suami. Alasan penghentian penggunaan kontrasepsi ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan berat badan bayi saat lahir serta ukuran badan bayi saat lahir di mana nilai masing-masing ρ value <0,05 namun hubungan nya masih lemah, artinya jika ada variabel lainnya yang lebih dominan dapat merubah hubungan tersebut.

Baca Juga :  Bawang Merah Solusi Ampuh Atur Gula Darah

Beberapa penelitian sebelumnya, juga menyatakan bahwa paritas memiliki hubungan dengan terjadinya kematian bayi karena kurang siapnya tubuh ibu menghadapi kehamilan, juga saat hamil akan mempengaruhi kesiapan tubuh ibu memberikan nutrisi yang maksimal, semakin banyak anak, tubuh ibu kelelahan untuk dapat mengasuh, apalagi jika jarak melahirkan terlalu pendek, pada penelitian ini jarak persentase tertinggi pada jarak ≥ 2 tahun. Hal lain perlu mendapat perhatian oleh pemegang kebijakan, setelah melihat hasil penelitian perlu koordinasi lintas sektor yang sejalan untuk saling mencapai tujuan yang sama. Bukan hal yang mustahil stunting pada usia balita dapat dieliminasi, dengan memperhatikan sejak menjadi calon ibu.

Namun keadaan yang banyak terjadi di lapangan antar program terkadang satu dengan lainnya tidak sejalan, saat kita berbicara target penggunaan kontrasepsi jangka panjang yang lebih diutamakan untuk mengendalikan jumlah anak, di lain pihak Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) tidak membuat regulasi untuk membatasi pembiayaan kelahiran yang dapat diklaim, seharusnya saat sudah memliki anak 2 orang maka BPJS tidak membiayai anak ketiga dan seterusnya, tapi kenyataan sebaliknya, layaanan kesehatan pratama yang dapat melayani proses persalinan tetap melayani masyarakat dg pembiayaan dari BPJS bahkan anak sudah lebih dari empat tetap dibiayai.

Selain kondisi di atas, umur kawin pertama juga memiliki hubungan signifikan dengan berat badan bayi saat lahir, dengan persentase tertinggi usia kawin berdasarkan analisa data SDKI 2017 di provinsi Kalteng (80,5%) kawin pada usia < 17 tahun. Hal ini pula yang membuat persentase tingkat pendidikan masih pada tingkat pendidikan dasar (25,8%) dan pendidikan menengah (56,1%), padahal pendidikan mempengaruhi persepsi ibu dalam menerapkan pola asuh yang tepat untuk anak, terutama untuk gizi anak. Kehamilan saat usia remaja selalu mempengaruhi pola asuh juga kesiapan fisik calon ibu yang kurang siap untuk memberi nutrisi yang maksimal kepada janin. Perkawinan yang tanpa melibatkan negara masih banyak terjadi, perkawinan hanya dengan hukum adat dan agama, disinilah peran pemerintah daerah untuk membuat regulasi pengaturan usia perkawinan menurut hukum adat dan agama. Sehingga dapat sejalan dengan program pemerintah pusat, khususnya BKKBN untuk membentuk sebuah keluarga yang berencana karena perkawinan yang didasari kematangan psikologi dan kesiapan sosial ekonomi dari calon  orangtua. Demikian juga peran pihak sekolah untuk mempersiapkan remaja sebagai calon penerus masa depan harus mampu mempersiapkan dirinya dengan mengambil keputusan yang tepat saat akan menikah, salah satunya memperhatikan kematangan psikologi, sosial dan ekonomi ditambah lagi kematangan spiritual.

Penelitian sebelumnya yang juga merupakan kerjasama Yena Wineini Migang, MPH dosen dari Poltekkes Kemenkes Palangka Raya dengan BKKBN Pusat dan BKKBN Perwakilan Provinsi Kalteng, berjudul tentang Studi Peran Kampung KB Dalam Upaya Pencegahan Stunting Menuju Bonus Demografi di Kabupaten Barito Timur dan Kota Palangka Raya tahun 2018 dan telah diterbitkan di jurnal terakreditasi, menyatakan bahwa pendidikan ibu berhubungan secara linear dengan kejadian stunting, dimana seorang ibu yang memberikan ASI ekslusif beresiko lebih rendah memiliki anak dengan status gizi stunting. Ibu yang memiliki pendidikn tinggi diharapkan memiliki persepsi positif dan kesiapan emosional untuk memberi ASI ekslusif pada bayinya.

Baca Juga :  Perokok Pasif Lebih Rentan Terserang Penyakit Sistemis

Hal yang juga berperan dalam eliminasi stunting pada balita adalah fasilitas pelayanan kesehatan sangat berhubungan dengan berat badan bayi saat lahir dan ukuran badan bayi saat lahir, ini sejalan dengan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa dengan mengakses layanan kesehatan keluarga akan mendapat pendidikan kesehatan selama kehamilan, persalinan, nifas dan saat pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada penelitian ini antara tempat melahirkan dengan berat badan bayi saat lahir memiliki hubungan dimana kesadaran akan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan pada data SDKI 2017 di provinsi Kalteng sudah baik, ditandai dengan persentase yang rendah persalinan di rumah (38%) dan rumah lainnya (10,9%) sisanya memilih persalinan di fasilitas pemerintah dan fasilitas swasta. Saat keluarga menggunakan fasilitas kesehatan, maka selama hamil ibu akan terpantau kesehatannya, terutama gizi ibu, pada penelitian ini (80,1%) mengaku selama hamil dilakukan pengukuran kenaikan berat badan, hal ini juga yang mengakibatkan adanya hubungan pengukuran kenaikan berat badan selama hamil dengan ukuran badan bayi saat lahir.

Pemantauan kenaikan berat badan badan ibu selama hamil mencegah ibu mengalami kurang energi kronis (KEK) yang dapat mempengaruhi ukuran badan janin. Akses fasilitas pelayanan kesehatan juga membuat bayi yang dilahirkan akan mendapatkan vaksinasi hepatitis B yang diberikan segera setelah lahir, pada penelitian ini persentase bayi yang mendapat vaksinasi hepatitis B lebih banyak daripada yang tidak mendapat vaksin hepatitis B segera setelah lahir. Mendapatkan vaksin berdasarkan laporan ibu (53,4%) dan tercatat di kartu (33,5%), dan hasil uji korelasi ada hubungan signifikan anatar pemberian vaksin hepatiti B saat lahir dengan ukuran berat badan bayi saat lahir. Pemberian vaksin merupakan upaya pencegahan bayi baru lahir untuk terpapar penyakit infeksi, dan ini sejalan dengan beberapa penelitian bahwa penyakit infeksi yang terjadi pada masa pertumbuhan anak akan menyebabkan terjadinya stunting.

Rekomendasi dari penelitian ini bahwa harus ada regulasi atau kebijakan yang saling menunjang antar instansi terkait. Kerjasama lintas sektor, duduk bersama untuk membagi peran dan tugas lewat kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah. Pelayanan kesehatan yang diberikan bahkan sejak calon ibu berusia remaja sampai memiliki anak usia balita perlu secara konsisten, sistematis dan masif diperhatikan oleh para pemegang kebijakan. Bukan hanya menitipkan program pada salah satu instansi pemerintah, misalnya pada BKKBN atau Kemenkes, Tapi pada semua sektor pemerintah dan swasta. Terutama pada saat pandemi Covid-19, dimana perhatian akan status gizi pada balita terabaikan dengan tidak dapat beroperasi lagi posyandu sebagai lini terdepan melakukan screnning awal penemuan kasus stunting pada balita melalui pengukuran antropometri.

Artikel penelitian ini dibuat oleh tim yang terdiri dari Yena Wineini Migang, MPH, Cia Aprilianti, MPH2, Dra. Nurolijah, M.Si3, Drs. Muhammad. Dawam, MPA4  (1,2Jurusan Kebidanan, Prodi Sarjana Terapan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Palangka Raya,3BKKBN Provinsi Kalimantan Tengah dan  4BKKBN Pusat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan (PUSDU).

Terpopuler

Artikel Terbaru