Site icon Prokalteng

UU tentang Pemilu dan Pilkada Tumpang Tindih

uu-tentang-pemilu-dan-pilkada-tumpang-tindih

JAKARTA – Dua lembaga pengawas pemilu dibuat
ambigu pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020
mendatang. Keduanya adalah Panwaslu dan Bawaslu. Lembaga ini sejak awal sudah
agak ragu. Sebab, kewenangannya dalam UU berbeda.

Di Undang-undang Pilkada, pengawas pesta demokrasi disebut Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu). Sedangkan di Undang-undang Pemilu disebut Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo
mengatakan, politik hukum Pemilu yang mengubah Pantia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwaslu) tingkat kabupaten/kota menjadi Bawaslu yang telah permanen sudah
tepat.

“Dengan bangga mengatakan keputusan politik hukum pemilu telah tepat dalam
mempermanenkan bawaslu kabupaten/kota,” ujar Dewi di Jakarta, Jumat (25/10).

Dia menuturkan, banyak pihak yang tidak berkenan dengan keberadaan Bawaslu
tingkat kabupaten/kota yang permanen. “Tetapi, Pemilu Serentak 2019 yang
pertama kali serentak bisa berjalan sukses dan damai. Salah satunya karena
permanennya Bawaslu Kabupaten/Kota,” sebutnya.

Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar menjelaskan, UU Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau biasa disebut UU
Pilkada sudah tidak relevan dengan keadaan Pilkada Serentak 2020.

Dia mencontohkan, status seluruh panwaslu saat ini berdasarkan UU Nomor 7
Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum sudah menjadi lembaga permanen dengan
nomenklatur Bawaslu tingkat kabupaten dan kota. Namun di UU Pilkada, status panwaslu
masih Ad hoc (sementara).

Ini jelas menjadi persoalan. Fritz menegaskan, masih banyak jajaran Bawaslu
tingkat kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 tidak
mau menerima NPHD (naskah perjanjian hibah daerah). Karena merasa statusnya
dalam UU Pilkada hanya panwaslu.

“Persoalan NPHD ini awalnya saya harapkan sudah selesai. Tetapi nyatanya
masih ada yang ragu menerima NPHD karena status Bawaslu kab/kota di UU
Pilkada,” jelasnya.

Padahal, lanjut Fritz, dalam UU Pilkada dijelaskan, kewajiban penyediaan
NPHD dalam pilkada adalah tugas Kemendagri melalui jajarannya termasuk kepala
daerah. Hal itu diperkuat dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 Tentang
Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang bersumber dari
APBD.

Apalagi, Bawaslu telah memberi mandat kepada Bawaslu tingkat kabupaten/kota
untuk menandatangani NPHD. Dia meyakini status Bawaslu atau panwaslu sama-sama
wajib melaksanakan fungsi pengawasan. Juga baik Bawaslu kab/kota maupun
panwaslu pun tetap bisa menandatangani NPHD tersebut.

“Dalam UU dan Permendagri itu dijelaskan, yang menandatangani NPHD adalah
Bawaslu kab/kota. Dan panwaslu sebenarnya sudah bisa mentransformasi untuk
menyesuaikan,” tandasnya. (khf/fin/rh/kpc)

Exit mobile version