PROKALTENG.CO-Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengatakan, partainya memberikan rapor merah terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin selama tujuh tahun dalam memimpin Indonesia.
Seperti dalam bidang hukum, kata Ridho, pemerintahan Jokowi hanya mengumbar slogan kosong penegakan hukum yang berkeadilan, karena kenyataannya di lapangan hukum masih berjalan diskriminatif.
“Seperti tajam ke oposisi tetapi tumpul ke pendukung rezim, serta meluasnya pembelaan ke si kuat dan dilupakannya si lemah,” ujar Ridho dalam jumpa pers di Kantor Partai Ummat, Tebet, Jakarta, Jumat (22/10).
Ridho menuturkan dalam bidang ekonomi kebijakan Jokowi membangun infrastruktur cukup masif dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Namun pembangunan ini, lanjutnya, sebagian besar tidak efisien dan tidak tepat sasaran.
Ridho mengatakan pembangunan di sektor infrastruktur memang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat akselerasi ekonomi, mempermudah distribusi produksi, dan juga untuk membangun dan memperkuat daya saing industri sebagai salah satu elemen penting dalam menopang ekonomi nasional.
“Namun pembangunan infrastruktur ini tidak sepenuhnya menunjukkan skala prioritas kepentingan publik. Bahkan beberapa pembangunan infrastruktur dengan skala giant project tidak dalam desain dan perencanaan yang baik yang memperhitungkan sumber dan alokasi keuangan berimbang, termasuk memperhitungkan dampak ekonomi jangka pendek dan jangka panjang,” katanya.
Menantu dari Amien Rais ini mengatakan pemerintahan Jokowi cenderung tidak pruden dalam pengalokasian keuangan negara, sementara pengelolaan utang luar negeri sangat mengkhawatirkan. Sebagian besar utang luar negeri diarahkan pada pembangunan proyek infrastruktur dengan lebih mengejar obsesi pertumbuhan ekonomi tinggi, lanjutnya.
“Dampak secara langsung yang dirasakan adalah meningkatnya hutang luar negeri Indonesia yang telah mencapai lebih dari 6000 triliun, sementara pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti dijanjikan tidak kunjung tercapai. Kelak generasi mendatang akan membayar hutang yang menggunung. Ini membahayakan bangsa dan negara kita,” ungkapnya.
Ridho Rahmadi menambahkan pembangunan infrastruktur ini sebetulnya hal yang baik untuk perkembangan ekonomi Indonesia, namun menjadi cacat karena besarnya inefisiensi.
“Apa lagi khusus untuk jalan tol, harganya sangat mencekik ekonomi rakyat. Jadi cacatnya dua kali,” tuturnya.
Karena itu, Partai Ummat menyampaikan kritik terhadap beberapa proyek investasi dan indikator ekonomi makro Indonesia selama Presiden Jokowi berkuasa.
Pertama, telah terjadi inefisiensi investasi di Indonesia yang diukur berdasarkan incremental capital output ratio (ICOR), yaitu alat ukur efisiensi perekonomian, yang angkanya lebih tinggi dibandingkan India, Malaysia, Filipina, Vietnam dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
“Dalam kurun waktu 2015-2019 ICOR Indonesia mencapai 6,8 yaitu angka yang lebih tinggi daripada Malaysia (5,4), India (5), Filipina (4,1), dan Vietnam (3,7). Ini menunjukan bahwa ekonomi nasional Indonesia lebih tidak efisien dibandingkan mereka,” katanya.
Dan dampaknya, lanjut Ridho, sembari mengutip data Kementerian Investasi/BKPM tahun 2019, produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tidak kompetitif. Harga barang menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang ICOR-nya lebih rendah.
Kedua, beberapa pembangunan proyek infrastrukur ditengarai biayanya sangat mahal hingga mencapai dua kali lipat, seperti jalan tol layang Jakarta-Cikampek yang mencapai 350 milyar per kilometer, padahal untuk jalur biasa hanya 150 miliar per kilometer.
“Hal yang sama juga terjadi pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang skema pembiayaan awalnya adalah non-APBN tetapi dalam perkembangannya pemerintah akhirnya menyuntikkan tambahan biaya yang sangat mencederai keadilan ekonomi rakyat,” tegasnya.
Khusus untuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, Ridho mengingatkan Jokowi agar menepati janji untuk tidak menggunakan APBN sebagai sumber pembiayaan.
“Tidak elok bila seorang pemimpin berbohong terus kepada rakyat,” ungkapnya.
Ketiga, Partai Ummat menemukan inefisiensi yang sama juga terjadi pada proyek pembangunan food estate tahun 2021 yang dilaksanakan di beberapa titik, antara lain di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Papua (Marauke), yang dijadikan sebagai cadangan logistik dalam rangka program ketahanan pangan nasional.
“Proyek ini dibiayai oleh APBN dan menelan biaya sekitar 104,2 triliun rupiah. Proyek ini diperkirakan mengulangi kegagalan proyek yang sama di era pemerintahan sebelumnya,” jelasnya.
Sejumlah masalah yang timbul dari proyek ini di antaranya adalah deforestasi, biaya logistik yang mahal, dan panjangnya rantai pasok. Ini tak lain bersumber dari lemahnya perencanaan dan terkesan cenderung dipaksakan.
Keempat, Bank Dunia kembali memasukkan Indonesia ke dalam negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income country) setelah sebelumnya digolongkan menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country).
Penurunan kelas ini, kata Ridho, disebabkan karena GNI (Gross National Income) per kapita Indonesia tahun 2020 turun menjadi 3,870 dolar dari sebelumnya 4,050 dolar pada tahun 2019.
“Padahal target pemerintah saat ini mendorong Indonesia keluar dari middle income trap 2036 dan menjadi negara yang berpenghasilan tinggi (high income country) di tahun 2045. Rencana ini akan semakin sulit diwujudkan,” tambahnya.
Kondisi-kondisi ini, kata Ridho, memaksa pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sementara pemacu pertumbuhan ekonomi nasional masih bertumpuh pada ekspor.
Padahal, mengutip data Kementerian Perindustrian tahun 2019, Ridho mengatakan ekspor nasional sekarang masih didominasi oleh komoditas berbasis sumber daya alam atau 46 persen dari total ekspor nasional.
Namun demikian, Ridho mengatakan Partai Ummat masih berharap akan terjadinya perubahan di masa mendatang, khususnya dalam bidang ekonomi.
“Partai Ummat tetap mengharapkan di sisa tiga tahun masa bakti yang akan berakhir pada 2024 nanti Presiden Jokowi bersedia melakukan perubahan drastis terhadap seluruh kebijakan nasionalnya yang merugikan kepentingan bangsa Indonesia dan diganti dengan kebijakan yang betul-betul berorientasi pada kepentingan bangsa sendiri,” pungkasnya.