NANGA BULIK, PROKALTENG.CO – Menjala atau manjalo, sebuah metode tradisional menangkap ikan yang telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Dayak dan Melayu di Kabupaten Lamandau, kini menghadapi tantangan serius di tengah arus modernisasi.
Tradisi yang biasanya dilakukan di sungai pedalaman saat air surut atau di laut dangkal ini, tidak hanya berfungsi sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai sarana pelestarian budaya dan penguat ikatan sosial.
Ongah, seorang tokoh masyarakat setempat, menjelaskan bahwa menjala menggunakan jala tebar yang terbuat dari benang atau tali.
“Penggunaan jala memerlukan keahlian dan pengalaman, serta pengetahuan tentang perilaku ikan dan kondisi lingkungan perairan saat surut,” ujarnya saat ditemui di Nanga Bulik, Senin (24/11).
Menjala ikan bukan sekadar kegiatan mencari nafkah, melainkan juga bagian dari warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Namun, perkembangan teknologi dan modernisasi telah mengancam keberlangsungan tradisi ini. Banyak generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain, sementara para nelayan tua kesulitan bersaing dengan metode penangkapan ikan modern yang lebih efisien.
“Dulu, hampir setiap keluarga di desa ini memiliki jala dan aktif menjala ikan. Sekarang, jumlahnya bisa dihitung jari,” ungkap Ongah dengan nada prihatin.
Selain kurangnya minat dari generasi muda, para penjala tradisional juga menghadapi tantangan berat akibat kerusakan lingkungan. Pencemaran limbah dan penurunan kualitas air sungai berdampak signifikan pada populasi ikan. Akibatnya, hasil tangkapan semakin berkurang, membuat tradisi menjala semakin sulit dipertahankan.
“Kami berharap, dengan upaya bersama, tradisi menjala ikan ini dapat terus hidup dan menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Kalimantan Tengah,” pungkas Ongah. (bib)


