26.2 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

FK PUSPA Lamandau Soroti Peran Negara dalam Penanggulangan KDRT

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO — Ketua Forum Komunikasi Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (FK PUSPA) Kabupaten Lamandau, Ria Mekar Anggreany, menjelaskan bahwa pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: pelaku negara dan non-negara.

“Pelaku non-negara biasanya berasal dari lingkungan keluarga, seperti suami, istri, pasangan, ayah, mertua, atau anggota keluarga lainnya yang memiliki dominasi dalam rumah tangga. Hal ini seringkali membuat korban kesulitan melapor karena akses mereka terbatas,” ujar Ria pada kegiatan di Nanga Bulik, Selasa (19/11).

Sementara itu, pelaku negara, menurut Ria, adalah individu yang memiliki jabatan atau posisi di lembaga pemerintah tetapi tidak menjalankan tugasnya secara benar.

Baca Juga :  Sungai Meluap, Beberapa Desa di Lamandau Mulai Terendam Banjir

“Mereka menggunakan kekuasaan untuk mengabaikan, membiarkan, atau bahkan menghambat akses korban KDRT terhadap layanan, bantuan, dan keadilan,” tambahnya.

Ria menegaskan, Undang-Undang telah mengatur sanksi tegas untuk pelaku KDRT. Dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 44 hingga 53, pelaku kekerasan fisik yang menyebabkan luka berat dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara, sementara yang menyebabkan kematian bisa dihukum hingga 15 tahun.

“Termasuk juga kekerasan psikis, seksual, atau yang berdampak berat seperti hilangnya ingatan atau kematian janin. Hukuman untuk ini bisa mencapai 20 tahun penjara,” jelas Ria.

Ria menyoroti mandat pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk mencegah KDRT melalui kebijakan yang proaktif. Upaya ini meliputi sosialisasi, edukasi, pelatihan sensitif gender, dan akreditasi layanan.

Baca Juga :  Banyak Usulan Masyarakat saat Reses, Begini Tanggapan Pj Bupati Lamandau

“Pemerintah wajib menyediakan informasi, pendidikan, dan advokasi terkait KDRT. Standar pelayanan yang sensitif gender juga harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Untuk korban KDRT, Ria menjelaskan bahwa layanan pengaduan dan pendampingan kini tersedia di setiap kabupaten/kota melalui UPTD Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

“Korban tidak perlu lagi pergi ke provinsi untuk mendapatkan bantuan. Kami di FK PUSPA juga siap memberikan pendampingan kepada mereka yang membutuhkan,” tutupnya.

Penjelasan ini menegaskan pentingnya kerja sama semua pihak untuk mencegah dan menangani kasus KDRT, demi melindungi perempuan dan anak di Kabupaten Lamandau. (bib)

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO — Ketua Forum Komunikasi Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (FK PUSPA) Kabupaten Lamandau, Ria Mekar Anggreany, menjelaskan bahwa pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: pelaku negara dan non-negara.

“Pelaku non-negara biasanya berasal dari lingkungan keluarga, seperti suami, istri, pasangan, ayah, mertua, atau anggota keluarga lainnya yang memiliki dominasi dalam rumah tangga. Hal ini seringkali membuat korban kesulitan melapor karena akses mereka terbatas,” ujar Ria pada kegiatan di Nanga Bulik, Selasa (19/11).

Sementara itu, pelaku negara, menurut Ria, adalah individu yang memiliki jabatan atau posisi di lembaga pemerintah tetapi tidak menjalankan tugasnya secara benar.

Baca Juga :  Sungai Meluap, Beberapa Desa di Lamandau Mulai Terendam Banjir

“Mereka menggunakan kekuasaan untuk mengabaikan, membiarkan, atau bahkan menghambat akses korban KDRT terhadap layanan, bantuan, dan keadilan,” tambahnya.

Ria menegaskan, Undang-Undang telah mengatur sanksi tegas untuk pelaku KDRT. Dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 44 hingga 53, pelaku kekerasan fisik yang menyebabkan luka berat dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara, sementara yang menyebabkan kematian bisa dihukum hingga 15 tahun.

“Termasuk juga kekerasan psikis, seksual, atau yang berdampak berat seperti hilangnya ingatan atau kematian janin. Hukuman untuk ini bisa mencapai 20 tahun penjara,” jelas Ria.

Ria menyoroti mandat pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk mencegah KDRT melalui kebijakan yang proaktif. Upaya ini meliputi sosialisasi, edukasi, pelatihan sensitif gender, dan akreditasi layanan.

Baca Juga :  Banyak Usulan Masyarakat saat Reses, Begini Tanggapan Pj Bupati Lamandau

“Pemerintah wajib menyediakan informasi, pendidikan, dan advokasi terkait KDRT. Standar pelayanan yang sensitif gender juga harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Untuk korban KDRT, Ria menjelaskan bahwa layanan pengaduan dan pendampingan kini tersedia di setiap kabupaten/kota melalui UPTD Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

“Korban tidak perlu lagi pergi ke provinsi untuk mendapatkan bantuan. Kami di FK PUSPA juga siap memberikan pendampingan kepada mereka yang membutuhkan,” tutupnya.

Penjelasan ini menegaskan pentingnya kerja sama semua pihak untuk mencegah dan menangani kasus KDRT, demi melindungi perempuan dan anak di Kabupaten Lamandau. (bib)

Terpopuler

Artikel Terbaru