33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sehat dengan Memaafkan

HARI Raya Idul Fitri sangat identik dengan
saling memaafkan dan halalbihalal. Ini dimaksudkan untuk melengkapi hari
kemenangan setelah puasa sebulan dengan meminta rida dan meridakan kesalahan
orang lain sehingga kualitas ketakwaan semakin meningkat.

Keinginan meminta maaf dan bersilaturahmi
inilah yang mendorong tradisi mudik. Bahkan, pandemi Covid-19 yang menjadi
dasar pelarangan mudik secara nasional tidak menyurutkan warga untuk saling
memaafkan. Mereka tetap bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, teman, dan
handai tolan dengan memanfaatkan teknologi. Penggunaan media sosial dan
fasilitas seperti video call dan Zoom menjadi pengganti silaturahmi secara
langsung dalam rangka ingin saling memaafkan.

Di sisi lain, memaafkan ternyata sangat baik
untuk kesehatan kita. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Antara lain,
penelitian yang dipublikasikan di Journal of Health Psychology 2016 yang
melihat hubungan antara kondisi stres-depresi dan sikap memaafkan. Didapatkan
hasil bahwa orang yang pendendam dan sulit memaafkan berpotensi mempunyai
kesehatan fisik dan mental yang buruk. Sedangkan orang yang mudah memberi maaf,
baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, berpotensi menjadi
pribadi menarik, kuat menghadapi stres, dan terhindar dari gangguan mental
(Loren Toussaint, 2016).

Penelitian lain memetakan dan membandingkan
fungsi kerja otak pada diri pemaaf dan pendendam dengan memanfaatkan alat
radiologi canggih berupa MRI. Hasilnya sangat menarik. Pada pribadi pemaaf,
kerja bagian otak yang disebut dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) lebih
dominan dibandingkan pendendam. Fungsi utama DLPFC ini adalah area kognisi.
Artinya, seorang pemaaf lebih mampu mengaktifkan pikiran, analisis, dan
kecerdasannya dibandingkan pendendam sehingga lebih arif dan bijaksana.

Sedangkan pribadi pendendam lebih aktif di
bagian otak medial temporal gyrus (MTG) yang dominan dalam hal emosi dan
perasaan negatif sehingga mudah tersinggung dan tidak bisa berpikir rasional
(Journal of Frontier in Human Neuroscience 2013).

Baca Juga :  Menyoal Tanggung Jawab Jamsostek

Dominasi kerja otak pemaaf di daerah otak
yang mengatur kognisi dibandingkan area emosi akan menstimulus disekresinya zat
kimia otak (neurotransmitter) yang sifatnya menenangkan dan membahagiakan
seperti serotonin, endorfin, dan morfin endogen. Hasil akhirnya akan
meningkatkan daya tahan tubuh dan harapan hidup lebih panjang.

 

Selain itu, pada diri pemaaf didapatkan kerja
otak otonom (saraf simpatis-parasimpatis) yang lebih baik dan lebih stabil
dibandingkan kerja otak pada diri pendendam. Kondisi ini akan mengakibatkan
kerja jantung-pembuluh darah lebih stabil. Tekanan darah tidak naik turun
secara drastis dan akhirnya tidak terjadi gangguan fungsi sel dinding pembuluh
darah (disfungsi endotel) yang merupakan awal mula dan berpotensi terjadinya
penyakit berbahaya seperti stroke, serangan jantung, dan sakit ginjal.

Pada diri pemaaf juga didapatkan kondisi yang
lebih tahan terhadap stimulus nyeri dibandingkan pendendam. Hal ini disebabkan
kerja sistem yang meredam nyeri di daerah otak bernama hipotalamus lebih
efektif dan mampu menahan (inhibisi) stimulus nyeri. Sehingga orang yang mudah
memaafkan memiliki ambang nyeri yang tinggi. Dan ini sangat baik bagi
kesehatannya. Baik kesehatan jasmani maupun rohani serta kesehatan sosialnya.

Saling Memaafkan Nasional

Bangsa kita perlu digerakkan untuk saling
memaafkan secara nasional. Ini sangat penting guna mengurangi, bahkan
mengakhiri, perpecahan yang sangat terasa sampai saat ini. Harus diakui, residu
perhelatan politik (utamanya Pilpres dan Pileg 2019) masih terasa dan belum
bisa hilang. Perwujudannya begitu nyata di media sosial. Masih ada
penyebutan-penyebutan negatif terhadap kelompok tertentu seperti cebong dan
kadrun. Isu-isu sensitif lainnya juga begitu mudah memicu perpecahan. Padahal,
saat terpilih menjadi presiden, Jokowi telah mengajak masyarakat mengakhiri
istilah-istilah negatif semacam itu.

Saling memaafkan harus dimulai dengan
kelapangan hati untuk mengakui kesalahan sendiri dan memberi maaf kepada
kesalahan orang lain. Lalu diikuti dengan sikap saling menyapa dan menjaga
silaturahmi dengan menggunakan bahasa santun dan menyejukkan. Ini akan lebih
baik bila dimulai dari para pemimpin dan tokoh nasional agar bisa diteladani
oleh masyarakat luas karena tingginya budaya paternalis yang menjadikan
pemimpin, baik formal maupun nonformal, sebagai idola dan teladannya.

Baca Juga :  Menguji Imparsialitas Hakim MK

Memberi kritik dan koreksi kepada penguasa
sebaiknya didasari semangat memperbaiki. Selain itu, dilakukan dengan bahasa
yang santun, tidak provokatif, bukan mengejek, apalagi menjatuhkan. Sedangkan
pemegang kekuasaan juga harus terbuka dan lapang dada menerima kritik dari
masyarakat, sekeras dan sepedas apa pun kritik itu. Ini dibutuhkan agar arah
perjalanan bangsa tidak melenceng. Pengalaman rezim Orde Baru yang berkuasa
selama 32 tahun akhirnya jatuh akibat sikap antikritik. Butuh waktu lama untuk
memperbaiki dampaknya, baik secara politik maupun ekonomi.

Harus diingat bahwa kritik adalah nutrisi
demokrasi. Ia sangat diperlukan dan tidak boleh hilang atau dihilangkan.
Membungkam para kritikus dengan menjerat hukum memakai berbagai undang-undang
(UU ITE dan lainnya) atau menggunakan pendengung (buzzer) pada awalnya seolah
baik untuk kestabilan pemerintahan. Namun, dalam jangka panjang, dampaknya
sungguh amat buruk.

Kuatnya kekuasaan saat ini bisa jadi sesuatu
yang baik untuk menjalankan pemerintahan. Namun juga bisa menjadi berbahaya
bilamana tidak ada yang berani mengoreksi dan meluruskan akibat ancaman
tuntutan hukum atau gempuran buzzer yang mematikan iklim demokrasi. Apalagi, dalam
beberapa tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia terus menurun berdasar
penilaian lembaga demokrasi internasional.

Akhirnya, Lebaran ini sangat baik untuk
saling memaafkan antar sesama anak bangsa. Karena tidak hanya menyehatkan diri
secara pribadi, namun juga menyehatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

HARI Raya Idul Fitri sangat identik dengan
saling memaafkan dan halalbihalal. Ini dimaksudkan untuk melengkapi hari
kemenangan setelah puasa sebulan dengan meminta rida dan meridakan kesalahan
orang lain sehingga kualitas ketakwaan semakin meningkat.

Keinginan meminta maaf dan bersilaturahmi
inilah yang mendorong tradisi mudik. Bahkan, pandemi Covid-19 yang menjadi
dasar pelarangan mudik secara nasional tidak menyurutkan warga untuk saling
memaafkan. Mereka tetap bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, teman, dan
handai tolan dengan memanfaatkan teknologi. Penggunaan media sosial dan
fasilitas seperti video call dan Zoom menjadi pengganti silaturahmi secara
langsung dalam rangka ingin saling memaafkan.

Di sisi lain, memaafkan ternyata sangat baik
untuk kesehatan kita. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Antara lain,
penelitian yang dipublikasikan di Journal of Health Psychology 2016 yang
melihat hubungan antara kondisi stres-depresi dan sikap memaafkan. Didapatkan
hasil bahwa orang yang pendendam dan sulit memaafkan berpotensi mempunyai
kesehatan fisik dan mental yang buruk. Sedangkan orang yang mudah memberi maaf,
baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, berpotensi menjadi
pribadi menarik, kuat menghadapi stres, dan terhindar dari gangguan mental
(Loren Toussaint, 2016).

Penelitian lain memetakan dan membandingkan
fungsi kerja otak pada diri pemaaf dan pendendam dengan memanfaatkan alat
radiologi canggih berupa MRI. Hasilnya sangat menarik. Pada pribadi pemaaf,
kerja bagian otak yang disebut dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) lebih
dominan dibandingkan pendendam. Fungsi utama DLPFC ini adalah area kognisi.
Artinya, seorang pemaaf lebih mampu mengaktifkan pikiran, analisis, dan
kecerdasannya dibandingkan pendendam sehingga lebih arif dan bijaksana.

Sedangkan pribadi pendendam lebih aktif di
bagian otak medial temporal gyrus (MTG) yang dominan dalam hal emosi dan
perasaan negatif sehingga mudah tersinggung dan tidak bisa berpikir rasional
(Journal of Frontier in Human Neuroscience 2013).

Baca Juga :  Menyoal Tanggung Jawab Jamsostek

Dominasi kerja otak pemaaf di daerah otak
yang mengatur kognisi dibandingkan area emosi akan menstimulus disekresinya zat
kimia otak (neurotransmitter) yang sifatnya menenangkan dan membahagiakan
seperti serotonin, endorfin, dan morfin endogen. Hasil akhirnya akan
meningkatkan daya tahan tubuh dan harapan hidup lebih panjang.

 

Selain itu, pada diri pemaaf didapatkan kerja
otak otonom (saraf simpatis-parasimpatis) yang lebih baik dan lebih stabil
dibandingkan kerja otak pada diri pendendam. Kondisi ini akan mengakibatkan
kerja jantung-pembuluh darah lebih stabil. Tekanan darah tidak naik turun
secara drastis dan akhirnya tidak terjadi gangguan fungsi sel dinding pembuluh
darah (disfungsi endotel) yang merupakan awal mula dan berpotensi terjadinya
penyakit berbahaya seperti stroke, serangan jantung, dan sakit ginjal.

Pada diri pemaaf juga didapatkan kondisi yang
lebih tahan terhadap stimulus nyeri dibandingkan pendendam. Hal ini disebabkan
kerja sistem yang meredam nyeri di daerah otak bernama hipotalamus lebih
efektif dan mampu menahan (inhibisi) stimulus nyeri. Sehingga orang yang mudah
memaafkan memiliki ambang nyeri yang tinggi. Dan ini sangat baik bagi
kesehatannya. Baik kesehatan jasmani maupun rohani serta kesehatan sosialnya.

Saling Memaafkan Nasional

Bangsa kita perlu digerakkan untuk saling
memaafkan secara nasional. Ini sangat penting guna mengurangi, bahkan
mengakhiri, perpecahan yang sangat terasa sampai saat ini. Harus diakui, residu
perhelatan politik (utamanya Pilpres dan Pileg 2019) masih terasa dan belum
bisa hilang. Perwujudannya begitu nyata di media sosial. Masih ada
penyebutan-penyebutan negatif terhadap kelompok tertentu seperti cebong dan
kadrun. Isu-isu sensitif lainnya juga begitu mudah memicu perpecahan. Padahal,
saat terpilih menjadi presiden, Jokowi telah mengajak masyarakat mengakhiri
istilah-istilah negatif semacam itu.

Saling memaafkan harus dimulai dengan
kelapangan hati untuk mengakui kesalahan sendiri dan memberi maaf kepada
kesalahan orang lain. Lalu diikuti dengan sikap saling menyapa dan menjaga
silaturahmi dengan menggunakan bahasa santun dan menyejukkan. Ini akan lebih
baik bila dimulai dari para pemimpin dan tokoh nasional agar bisa diteladani
oleh masyarakat luas karena tingginya budaya paternalis yang menjadikan
pemimpin, baik formal maupun nonformal, sebagai idola dan teladannya.

Baca Juga :  Menguji Imparsialitas Hakim MK

Memberi kritik dan koreksi kepada penguasa
sebaiknya didasari semangat memperbaiki. Selain itu, dilakukan dengan bahasa
yang santun, tidak provokatif, bukan mengejek, apalagi menjatuhkan. Sedangkan
pemegang kekuasaan juga harus terbuka dan lapang dada menerima kritik dari
masyarakat, sekeras dan sepedas apa pun kritik itu. Ini dibutuhkan agar arah
perjalanan bangsa tidak melenceng. Pengalaman rezim Orde Baru yang berkuasa
selama 32 tahun akhirnya jatuh akibat sikap antikritik. Butuh waktu lama untuk
memperbaiki dampaknya, baik secara politik maupun ekonomi.

Harus diingat bahwa kritik adalah nutrisi
demokrasi. Ia sangat diperlukan dan tidak boleh hilang atau dihilangkan.
Membungkam para kritikus dengan menjerat hukum memakai berbagai undang-undang
(UU ITE dan lainnya) atau menggunakan pendengung (buzzer) pada awalnya seolah
baik untuk kestabilan pemerintahan. Namun, dalam jangka panjang, dampaknya
sungguh amat buruk.

Kuatnya kekuasaan saat ini bisa jadi sesuatu
yang baik untuk menjalankan pemerintahan. Namun juga bisa menjadi berbahaya
bilamana tidak ada yang berani mengoreksi dan meluruskan akibat ancaman
tuntutan hukum atau gempuran buzzer yang mematikan iklim demokrasi. Apalagi, dalam
beberapa tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia terus menurun berdasar
penilaian lembaga demokrasi internasional.

Akhirnya, Lebaran ini sangat baik untuk
saling memaafkan antar sesama anak bangsa. Karena tidak hanya menyehatkan diri
secara pribadi, namun juga menyehatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru