PASAR perjudian online kian besar dan berkembang di Indonesia. Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 157 juta transaksi judi online dengan total perputaran uang Rp 190 triliun selama 2017–2022. Perputaran uang judi online itu terus meningkat pada 2023 hingga Rp 327 triliun.
Sementara itu, sepanjang 2024, kita telah dihadapkan pada berbagai kasus kematian yang menggemparkan akibat judi online. Misalnya, kasus polwan yang membakar suaminya karena gemar berjudi, anggota TNI-AL berinisial ED yang bunuh diri akibat terlilit utang judi, hingga kasus anggota Densus 88 yang membunuh dan merampok sopir taksi lantaran terjerat utang judi online sebesar Rp 900 juta.
Rentetan kejadian dari dampak judi online sudah memasuki level akut dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kabar terbaru bahkan menyebut keterlibatan 17 anggota KPK dalam kasus serupa (Jawa Pos, 9/7/2024).
Judi online atau yang juga dikenal dengan virtual casino telah menjadi permasalahan internasional. Beberapa negara berupaya meminimalkan dampak judi online ilegal bagi konsumen dan masyarakat. Misalnya, pemerintah Quebec yang membuat peraturan undang-undang (Bill 74) untuk memblokir akses ke situs web perjudian.
Dengan demikian, pemerintah Quebec dapat melindungi konsumen dari risiko perjudian ilegal seperti kecanduan, penipuan, dan kerugian finansial, serta dapat mengorganisasi pendapatan ke situs yang diatur pemerintah, seperti Espacejeux yang dikelola Loto-Québec (French M., et al, 2021).
Inggris juga membuat regulasi berupa larangan penggunaan setoran kartu kredit untuk perjudian daring. Perjudian dengan kartu kredit berisiko menimbulkan masalah baru yang meningkatkan kemungkinan penjudi untuk mempertaruhkan lebih banyak uang hingga melampaui kemampuan mereka (Edson, T.C., et al, 2022).
Sementara itu, di Indonesia, upaya Kemenkominfo dilakukan dengan cara memblokir situs atau platform judi online, serta penangkapan pelaku dan promotor oleh pihak kepolisian. Selain itu, langkah preventif dalam bentuk literasi digital dan keuangan perlu untuk terus ditingkatkan agar masyarakat luas dapat memahami judi sebagai patologi sosial yang melanggar hukum dan tidak boleh dilakukan.
Dalam konteks ini, konsep ’’boleh dan tidak boleh’’ merupakan proses pemrograman sosial yang dibentuk pemerintah untuk menanamkan sikap konformis kepada masyarakat. Pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk mengatur dan melakukan pengendalian sosial (governmentality).
Menurut Foucault (Kurniawan, 2021), pengendalian sosial direkayasa lewat sirkulasi kekuasaan dari berbagai institusi sosial. Institusi bertugas menerapkan soft power atau hegemoni untuk menyebarkan pengaruh mereka kepada kelompok subordinat.
Pemerintah seolah menempatkan ribuan kamera lewat berbagai institusi yang tersedia untuk memantau perilaku individu. Itulah yang disebut Foucault sebagai panopticon; sebuah skema pengawasan untuk mengendalikan dan mendisiplinkan masyarakat.
Manipulasi Hasrat dalam Judi Online
Idealnya, pengawasan yang konstan mampu memengaruhi perilaku individu untuk lebih mematuhi peraturan dan norma yang ditetapkan. Namun, nyatanya, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tidak memberi hasil signifikan untuk menurunkan angka keterlibatan judi online. Lantas, apa yang menjadi alasan tumbuh suburnya keinginan individu untuk berjudi?
Seorang tokoh psikoanalisis, Jacques Lacan, menggunakan konsep lackness (kekurangan) untuk menunjukkan bahwa manusia memiliki hasrat yang didasari kekosongan dalam dirinya. Kekosongan tersebut hadir karena ada keinginan manusia yang tak pernah terpenuhi.
Itu terjadi karena manusia selalu memiliki keinginan untuk menjadi lengkap atau utuh. Dalam konteks judi online, para pemain merasakan ketidakpuasan hidup yang memicu kekosongan dalam hal kebahagiaan. Sebab itulah mereka mencari kesenangan melalui fantasi kemenangan judi online agar membuatnya menjadi utuh.
Hasrat bekerja melalui simbol, dan uang yang dipakai untuk berjudi merupakan simbol yang menunjukkan bahwa pelaku judi online telah menghasrati kebahagiaan sementara, kekayaan instan, maupun perubahan nasib. Namun demikian, Lacan menyebut bahwa hasrat juga dimediasi oleh ’’the other’’. Hasrat tidak hanya merupakan ekspresi dari keinginan individu, tapi juga dibentuk oleh pengaruh eksternal dan pengakuan dari ’’the other’’.
Seseorang mungkin menyaksikan teman-teman atau tokoh terkenal terlibat dalam perjudian online, dan tampak menikmati atau meraih kesuksesan dari kegiatan itu. Seseorang lainnya mungkin melihat iklan yang menampilkan kemenangan besar dan kehidupan mewah sebagai fantasi yang didambakan banyak orang.
Beberapa hal itu merupakan contoh bagaimana ’’the other’’ membentuk hasrat berjudi individu. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk terus membatasi keterlibatan pihak eksternal. Salah satunya dengan menggencarkan penangkapan promotor.
Di samping itu, hasrat adalah faktor internal yang membuat pemain judi berada dalam kondisi ketidaksadaran, bahwa keutuhan atas kekosongan yang dia miliki tidak akan pernah dapat terpenuhi. Kebahagiaan sementara yang ditawarkan judi online telah membuat para pelaku terjerat dalam dunia imajiner yang pada akhirnya membuat mereka berpikir secara irasional.
Meski jarang dicapai, kesenangan dan ilusi kemenangan tetap menjadi daya tarik yang memotivasi perilaku berjudi. Jika tidak berorientasi pada kesadaran penuh, skema judi online akan terus menghipnotis dan menstimulasi khayalan para pemain bahwa mereka sedang berada dalam kondisi yang aman dan segera memperoleh kemenangan besar di depan mata. (*)
*) INTAN AMALIA SINTA DEWI, Alumnus Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada