SECARA objektif, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diperlukan. Di antaranya, untuk integrasi data kependudukan dengan database pajak, pajak karbon, menutup celah penghindaran pajak lintas negara, pajak minimum, sampai kepastian hukum soal sanksi pajak.
Namun, ada beberapa catatan yang membuat reformasi pajak tidak optimal dan cenderung kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi.
Soal pajak pertambahan nilai (PPN) misalnya. Tarifnya naik menjadi 11 persen. Itu sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi, khususnya berdampak terhadap daya beli kelas menengah. Jika harga barang naik, terjadi inflasi. Padahal, belum tentu daya beli kelas menengah dan bawah akan langsung pulih di 2022. Akibatnya, masyarakat punya dua opsi: berhemat dengan mengurangi belanja atau mencari alternatif barang yang lebih murah.
Efek penyesuaian tarif PPN juga berdampak ke dunia usaha. Pengusaha mulai ancang-ancang. Yang semula ingin ekspansi kini berpikir ulang soal kondisi permintaan barang pada 2022.
Kenaikan tarif PPN memberikan ketidakpastian yang tinggi. Sementara inflasi diperkirakan bisa 4,5 persen tahun depan dengan adanya kenaikan tarif pajak. Demand pull inflation ditambah tax rate akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga.
Anehnya, banyak negara di dunia selama pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi justru menurunkan tarif PPN sebagai stimulus terhadap konsumsi rumah tangga domestik. Masih banyak cara lain yang lebih adil dan pro terhadap pemulihan ekonomi untuk mengejar rasio pajak.
Masalah berikutnya adalah tax amnesty jilid II mulai 1 Januari 2022 masuk UU HPP. Program tersebut malah akan menurunkan kepercayaan masyarakat. Kalau dendanya kecil, akhirnya jadi insentif untuk ikut tax amnesty lagi. Jadi, tax amnesty adalah insentif untuk tidak taat pajak.
Tax amnesty jilid II merupakan sebuah langkah mundur dalam peningkatan kepatuhan pajak. Alih-alih mendorong kepatuhan pajak, justru memberikan ruang bagi wajib pajak yang sudah diberi kesempatan tax amnesty 2016. Saat itu mereka tidak ikut, lalu kini didorong ikut tax amnesty lagi.
Jika demikian, yang terjadi justru adanya penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang. Tidak sesuai dengan komitmen bahwa setelahnya adalah rezim penegakan hukum perpajakan.
Banyak yang berasumsi, kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya, pengampunan pajak itu akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak.
Di dalam UU HPP, pemerintah tidak menjelaskan mekanisme screening harta para wajib pajak yang ikut tax amnesty. Misalnya, melalui penugasan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama tidak ada screening dan pengawasan, bisa jadi harta yang dilaporkan adalah harta hasil pencucian uang, hasil kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara.
Artinya, tax amnesty jilid II akan memberikan ruang bagi kejahatan finansial antarnegara. Terkait pajak karbon, ada beberapa hal yang perlu ditinjau ulang atau disempurnakan. Tarif Rp 30 per CO2e sebenarnya turun jauh dari yang sebelumnya diusulkan dalam RUU KUP, yakni Rp 75 per CO2e. Artinya, secara rata-rata tarif pajak karbon bahkan lebih rendah dari negara berkembang lain.
Pajak karbon idealnya juga memiliki road map. Jadi, sasaran 10 tahun pertama difokuskan ke industri atau sektor yang berdampak negatif ke lingkungan hidup. Misalnya, sektor pertambangan. Baru setelah itu ke perorangan. Itu pun dengan catatan tiap rumah tangga memiliki opsi untuk menggunakan listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT). (*)
*) BHIMA YUDISTIRA ADHINEGARA, Direktur dan Founder Center of Economic and Law Studies
**) Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agas Putra Hartanto