Site icon Prokalteng

Ketua MA Cabut Larangan Ambil Foto dan Video di Ruang Sidang

ketua-ma-cabut-larangan-ambil-foto-dan-video-di-ruang-sidang

JAKARTA – Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2020
tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan mendapat respon negatif sejumlah
kalangan. Tak ingin terus berpolemik, SEMA No.2/20 tersebut akhirnya dicabut.

Ketua Mahkamah Agung (MA)
Muhammad Hatta Ali telah memerintahkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
MA Prim Haryadi untuk mencabut SEMA No.2/2020 tentang Tata Tertib Menghadiri
Persidangan.

Aturan menuai polemik karena
melarang pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV tanpa seizin ketua
pengadilan. Aturan itu tertuang dalam poin ketiga dari 12 poin SEMA yang
ditandatangani Direktur Jenderal Badan Peradilan Hukum Pim Haryadi pada tanggal
7 Februari 2020.

“Benar (memerintahkan dicabut)
mas,” ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi, Jumat (28/2).

Dikatakan Andi, Ketua MA Hatta
Ali dan jajaran MA telah meneliti lebih dalam SEMA tersebut. Hasilnya, Ketua MA
memerintahkan untuk mencabutnya.

“Ternyata setelah diteliti itu
sudah diatur, dan itu sudah diperintahkan untuk mencabut,” kata Andi.

Diterangkan Andi, dasar
pencabutan SEMA tersebut karena sudah terdapat aturan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.

“Saya sudah baca. Karena itu
sudah diatur KUHAP, sudah diatur dalam PP 27 tahun 1983 itu kan dalam rangka
ketertiban persidangan untuk kelancaran tertibnya persidangan,” katanya.

Jika tak segera dicabut Ketua MA,
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai
SEMA justru menihilkan kewenangan Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan
perkara. Sebab, ketertiban di ruang sidang adalah tanggung jawab dari Ketua
Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

“Izin dari Ketua Pengadilan baru
relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa membawa peralatan yang
pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara
keseluruhan,” jelasnya.

Anggara mengatakan pihaknya
melihat, aturan ini berat sebelah. Sebab jika diberlakukan maka MA harus
menjamin setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan
yang sedang berlangsung baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman
visual lainnya yang bisa diakses masyarakat secara bebas.

“Sekadar melarang tanpa
mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan,
maka dalam pandangan ICJR hal ini adalah kesewenang-wenangan dari Mahkamah
Agung,” katanya.

Anggara juga mengatakan, larangan
tersebut akan berdampak pada kerja para Advokat yang membutuhkan dokumentasi
materi persidangan, sebagai bahan pembelaan secara maksimal. Secara lebih luas,
larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan
mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di
Indonesia.

Respon negatif sebelumnya juga
dilontarkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.

“YLBHI berpendapat bahwa Larangan
memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin ketua pengadilan akan
memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak
ditemukan,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (27/2).

Asfinawati mengatakan, pelarangan
mengambil gambar dan merekam suara bertentangan dengan UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi
dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.

“Apalagi terdapat ancaman pemidanaan
di dalamnya. Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut sudah terdapat
dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya
dicantumkan dalam eurat edaran ini,” katanya.

Selain itu, dalam surat edaran
itu juga menyebutkan bahwa mengambil gambar, merekam, dan meliput persidangan
tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu
perbuatan yang dilarang. Sedangkan mengambil gambar, merekam, dan meliput tidak
dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.

“Ketua Pengadilan dan
birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai
alasan dan kepentingan tertentu,” tegasnya.(gw/fin)

Exit mobile version