JAKARTA-Wabah
corona (Covid-19) bisa makin parah jika kasus kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) terulang lagi di tahun ini. Senior public health
adviser di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI),
Kalimantan Barat, Monica Nirmala, menilai Covid-19 dan Karhutla
keduanya mengancam paru-paru dan keselamatan tiap manusia.
Dia melansir
dari The Strait Times Asap lintas batas akibat karhutla didokumentasikan
pertama kali pada bulan Oktober 1972.
Empat dekade
bencana asap selalu terjadi hampir setiap tahunnya. Dia khawatir dalam pandemi
ini kasus kebakaran hutan kembali terjadi.
“Sejak
lama terjadi dan terulang. Apakah Karhutla kembali terulang di masa pandemi
ini,” kata Monica dalam keterangan tertulisnya kepada Rakyat Merdeka.
Alumni
Harvard University ini menyebut, setidaknya ada lima kaitan antara Covid-19 dan
karhutla, serta mengapa Indonesia perlu bertindak sekarang untuk mencegah
“festival asap†berulang di tahun pandemi. “Saya menyingkatnya menjadi
5S,” cetus Monica.
Pertama,
susceptibility atau kerentanan tertular virus. Ciencewicki dan Jasper (2007)
menunjukkan bahwa paparan terhadap polusi udara dapat melemahkan imunitas tubuh
terhadap infeksi virus pada saluran pernapasan.
Makrofag,
salah satu jenis sel imun tubuh manusia yang berfungsi melawan virus dengan
cara “melahapnya†(fagositosis), terbukti menurun fungsinya akibat paparan
polusi.
Dengan
melemahkan sistem imun manusia, asap Karhutla berpotensi meningkatkan
kerentanan seseorang tertular Covid-19,” tuturnya.
Kedua,
severity atau keparahan penyakit. Asap karhutla mengandung partikel kecil
kurang dari 2.5 mikrometer (PM2.5) yang beracun bagi paru-paru dan tubuh
manusia. Paparan PM2.5 meningkatkan kondisi peradangan pada paru-paru (Qing et
al, 2019).
Untuk
mengatasi peradangan pada saluran pernapasan, reseptor angiotensin-converting
enzyme 2 (ACE2)—penghasil enzim anti-inflamasi—jumlahnya meningkat.
Sedangkan,
reseptor ACE2 inilah yang dia istilahkan sebagai pintu masuk bagi virus
SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 berikatan pada sel tubuh manusia.
“Semakin
banyak ACE2, semakin banyak virus yang dapat berikatan pada sel tubuh, maka
bisa semakin parah penyakitnya,” katanya.
Melalui
mekanisme inilah diperkirakan asap karhutla dapat memperparah kesakitan akibat
Covid-19 (Comunian et al, 2020).
Di samping
itu, asap karhutla juga berkaitan erat dengan penyakit-penyakit pada organ
pernapasan, jantung dan pembuluh darah, serta peradangan sistemik yang mana
seluruhnya adalah komorbid dari Covid-19 itu sendiri.
“Artinya,
jika kedua kondisi Covid-19 dan karhutla terjadi bersamaan, dampak kesakitannya
bisa lebih parah,” katanya.
Bahkan, studi
Wu, Nethery, et al (2020) menunjukkan bahwa peningkatan polusi PM2.5 sebesar 1
µg/m3 berasosiasi dengan 8 persen peningkatan kematian akibat Covid-19. Ketiga,
sistem atau beban pada sistem kesehatan.
Secara
terpisah, baik Covid-19 maupun karhutla, meningkatkan kunjungan pasien di rumah
sakit secara signifikan (Black et al, 2017).
Jika keduanya
datang bersamaan di tahun pandemi ini, maka kapasitas rumah sakit di Indonesia,
khususnya di banyak daerah yang jumlah tempat tidurnya di bawah standar WHO,
bisa jadi tak sanggup menampung lonjakan pasien yang datang.
Ketika sistem
kesehatan membludak, maka pasien-pasien berpotensi tidak tertangani dengan baik
atau bahkan tidak tertangani sama sekali.
Kondisi ini
dapat berujung pada kelebihan kematian (excess deaths) pada kasus Covid-19
maupun non-Covid-19. Keempat, spread atau penularan virus.
PM2.5 yang
dikandung oleh asap karhutla dapat berfungsi sebagai “kendaraan†bagi banyak
jenis virus, sehingga tersebar dan terhirup oleh manusia (Comunian et al,
2020).
Jika
transmisi Covid-19 juga dipengaruhi tingkat polusi, yang mana masih diteliti
hingga saat ini, maka karhutla pun berpotensi meningkatkan penularan di daerah
yang banyak terpapar asap.
Di samping
itu, api dan asap juga memaksa banyak orang untuk mengungsi, seperti halnya
ratusan pengungsi karhutla di Indonesia tahun lalu (CNN, 2019).
Sarana
pengungsian akibat karhutla umumnya menggunakan ruangan tertutup dan ber-AC
agar asap dari luar tidak masuk ke dalam ruangan. Hal ini menurutnya bertolak
belakang dengan protokol pencegahan Covid-19.
“Karena
kondisi ramai-ramai di ruangan tertutup dan ber-AC justru adalah kondisi
“ideal†terjadinya penyebaran super (super spreading event) pada Covid-19. Ini
akan mempersulit penanganan bencana jika keduanya terjadi bersamaan,”
terangnya.
Kelima,
self-legitimacy, yaitu pemenuhan komitmen Indonesia kepada negara-negara tetangga.
Tidak hanya di Indonesia, karhutla menyebabkan masalah asap lintas batas yang
berdampak pada sedikitnya 6 negara di Asia Tenggara.
Sejak
Karhutla terbesar tahun 2015 di Sumatera dan Kalimantan, Indonesia bersepakat
dengan negara-negara ASEAN dan berkomitmen mewujudkan ASEAN Bebas Asap 2020,
yang dituangkan dalam Roadmap on ASEAN Cooperation Towards Transboundary Haze
Control with Means of Implementation pada tahun 2016.
Secara
berturut-turut, Indonesia juga berjanji bebas asap pada tahun 2017. Lalu Asian
Games bebas asap tahun 2018. Kini di tahun pandemi, banyak negara berwaspada
meningkatkan kondisi ekonominya, maka makin besar tanggung jawab Indonesia
untuk memenuhi komitmennya mencegah asap Karhutla berulang.
“Penting
sekali dicegah agar tidak memperparah situasi Covid-19 di ASEAN,”
tegasnya.
Dia
melanjutkan, memasuki bulan Agustus 2020, 65 persen wilayah di Indonesia tengah
mengalami puncak musim kemarau.
Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menghimbau pemerintah daerah,
pengambil keputusan, serta masyarakat luas untuk bersiap mengantisipasi dampak
kemarau, termasuk kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, hingga ketersediaan
air bersih.
“Kini
setidaknya lima provinsi telah menetapkan status siaga darurat karhutla, antara
lain Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan,
hingga bulan September dan Oktober 2020 mendatang,” tuturnya.
Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar menyatakan kegelisahannya
akan potensi bencana ganda Covid-19 dan karhutla.
“Covid-19
dan karhutla tidak boleh terjadi secara bersamaan, saya sangat takut akan hal
itu,” katanya pada Jumat (17/7).
Siti
memperingatkan bahwa Indonesia perlu ekstra waspada akan potensi karhutla
paling tidak hingga bulan November, dikarenakan mundurnya musim kemarau dari
prediksi awal. Pandemi memberikan kesempatan memasuki new normal.
Jangan lagi
jadikan Karhutla bagian dari kehidupan normal kita, apa lagi di masa pandemi
Covid-19.
Mari
bersama-sama menjadikan new normal ini sebagai suatu kesempatan berubah dan
berupaya secara kolektif menuju better normal atau kenormalan yang lebih baik,
yaitu Indonesia tanpa asap.
“Lindungi paru-paru dunia, demi paru-paru
kita. Cegah Karhutla sekarang,” tegasnya.