28.4 C
Jakarta
Saturday, November 2, 2024

DPR Bahas RUU KPK Secara Tertutup

JAKARTA – Polemik revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut. Meski banyak mendapat
kritikan, DPR RI dan pemerintah tetap membahas revisi UU Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Namun, pembahasan dilakukan secara tertutup.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul
Sani mengakui DPR RI sengaja membahas tertutup. Menurutnya, keputusan tersebut
diambil untuk menghindari perdebatan dan kegaduhan yang berlebih. “Soalnya
kalau terbuka berisik. Kalau tertutup makin misterius,” ujar Arsul di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (16/9).

Ada beberapa poin yang terus
gencar dibahas. Selain Dewan Pengawas dan SP3, Jokowi juga setuju pegawai KPK
berstatus aparatur sipil negara (ASN). Namun Jokowi menolak tiga usulan DPR RI
dalam revisi UU KPK. “Pertama penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari
Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Penyelidik dan penyidik KPK seharusnya bisa
juga berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN). Kedua, Jokowi tidak setuju
KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam tahap penuntutan,”papar
Arsul.

Selain itu, Jokowi tidak sepakat
apabila pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak
lagi di KPK. Dalam draf revisi UU KPK, pengelolaan LHKPN diberikan kepada
kementerian/lembaga masing-masing. Jokowi menilai pengelolaan LHKPN di KPK
sudah berjalan baik.

Baca Juga :  Pilkada 2020 Tak Ditunda Meskipun Tengah Mewabah COVID-19

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI
Fahri Hamzah membantah revisi UU KPK muncul begitu saja. “Usulan revisi UU KPK
sejak tahun 2010, sudah dimasukkan,” tegas Fahri. Dia mengatakan, sejak periode
kedua masa tugas Presiden SBY, revisi UU KPK sudah dibahas di Komisi III DPR,
dilanjutkan rapat konsultasi dengan pemerintah.

Kemudian pada tahun 2015, ketika
dimasukkan lagi sebagai usulan, terjadi tarik ulur. Namun, sebagai rancangan
undang-undang tidak pernah mundur. Tetap ada di program legislasi nasional
(Prolegnas). “Jadi ini termasuk UU yang pembahasannya paling sering. Maka kalau
ada yang bilang ujug-ujug, dia nggak paham. Ini sudah masuk 10 tahun terkakhir.
Memang banyak masalah, masa sih UU nggak boleh diubah,” papar Fahri.

Terkait soal kinerja, Fahri
menyatakan sebaiknya mengukur kinerja KPK secara riil. Tidak hanya menangkap
orang yang salah. UU tentang KPK, lanjutnya, tidak memerintahkan hanya
menangkap orang. Tetapi mencegah, supervisi, koordinasi dan kontrol. “UU
tentang KPK seperti dokter di masa transisi. Yang mengoperate KPK saat ini kan
kurang berpikirnya ke situ. Para penyidik main otot saja kerjanya. Itulah yang
merusak KPK. Padahal KPK ini kerjanya supervisi, koordinasi, monitoring,”
ucapnya.

Baca Juga :  Ayahanda Ustad Yusuf Mansur Meninggal Dunia

Terpisah, Indonesia Corruption
Watch (ICW) menduga ada konflik kepentingan di balik kesepakatan pembahasan
revisi UU KPK. Aktivis ICW, Kurnia Ramadhan menilai, DPR periode saat ini
seakan mempercepat proses pengesahan RUU KPK di masa akhir jabatannya sebelum
lengser. “Adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan
dalam sidang paripurna DPR,” kata Kurnia.

Terkait niat lama melemahkan KPK,
ICW mencatat, isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010. “Dalam naskah
perubahan yang selama ini beredar praktis tidak banyak perubahan. Narasi
penguatan KPK seakan hanya omong kosong,” kata Kurnia di Jakarta, Senin (16/9).

Upaya pelemahan itu tercatat di
antaranya mulai dari penyadapan atas izin Ketua Pengadilan, pembatasan usia
KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas. Mayoritas perkara yang
ditangani KPK juga melibatkan aktor politik. Dalam catatan, lanjut Kurnia, dari
rentang 2003 sampai 2018, setidaknya 885 orang telah diproses hukum.”Dari
jumlah itu, 60 persen lebih atau 539 orang berasal dari dimensi politik,”
paparnya. (yah/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Polemik revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut. Meski banyak mendapat
kritikan, DPR RI dan pemerintah tetap membahas revisi UU Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Namun, pembahasan dilakukan secara tertutup.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul
Sani mengakui DPR RI sengaja membahas tertutup. Menurutnya, keputusan tersebut
diambil untuk menghindari perdebatan dan kegaduhan yang berlebih. “Soalnya
kalau terbuka berisik. Kalau tertutup makin misterius,” ujar Arsul di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (16/9).

Ada beberapa poin yang terus
gencar dibahas. Selain Dewan Pengawas dan SP3, Jokowi juga setuju pegawai KPK
berstatus aparatur sipil negara (ASN). Namun Jokowi menolak tiga usulan DPR RI
dalam revisi UU KPK. “Pertama penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari
Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Penyelidik dan penyidik KPK seharusnya bisa
juga berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN). Kedua, Jokowi tidak setuju
KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam tahap penuntutan,”papar
Arsul.

Selain itu, Jokowi tidak sepakat
apabila pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak
lagi di KPK. Dalam draf revisi UU KPK, pengelolaan LHKPN diberikan kepada
kementerian/lembaga masing-masing. Jokowi menilai pengelolaan LHKPN di KPK
sudah berjalan baik.

Baca Juga :  Pilkada 2020 Tak Ditunda Meskipun Tengah Mewabah COVID-19

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI
Fahri Hamzah membantah revisi UU KPK muncul begitu saja. “Usulan revisi UU KPK
sejak tahun 2010, sudah dimasukkan,” tegas Fahri. Dia mengatakan, sejak periode
kedua masa tugas Presiden SBY, revisi UU KPK sudah dibahas di Komisi III DPR,
dilanjutkan rapat konsultasi dengan pemerintah.

Kemudian pada tahun 2015, ketika
dimasukkan lagi sebagai usulan, terjadi tarik ulur. Namun, sebagai rancangan
undang-undang tidak pernah mundur. Tetap ada di program legislasi nasional
(Prolegnas). “Jadi ini termasuk UU yang pembahasannya paling sering. Maka kalau
ada yang bilang ujug-ujug, dia nggak paham. Ini sudah masuk 10 tahun terkakhir.
Memang banyak masalah, masa sih UU nggak boleh diubah,” papar Fahri.

Terkait soal kinerja, Fahri
menyatakan sebaiknya mengukur kinerja KPK secara riil. Tidak hanya menangkap
orang yang salah. UU tentang KPK, lanjutnya, tidak memerintahkan hanya
menangkap orang. Tetapi mencegah, supervisi, koordinasi dan kontrol. “UU
tentang KPK seperti dokter di masa transisi. Yang mengoperate KPK saat ini kan
kurang berpikirnya ke situ. Para penyidik main otot saja kerjanya. Itulah yang
merusak KPK. Padahal KPK ini kerjanya supervisi, koordinasi, monitoring,”
ucapnya.

Baca Juga :  Ayahanda Ustad Yusuf Mansur Meninggal Dunia

Terpisah, Indonesia Corruption
Watch (ICW) menduga ada konflik kepentingan di balik kesepakatan pembahasan
revisi UU KPK. Aktivis ICW, Kurnia Ramadhan menilai, DPR periode saat ini
seakan mempercepat proses pengesahan RUU KPK di masa akhir jabatannya sebelum
lengser. “Adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan
dalam sidang paripurna DPR,” kata Kurnia.

Terkait niat lama melemahkan KPK,
ICW mencatat, isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010. “Dalam naskah
perubahan yang selama ini beredar praktis tidak banyak perubahan. Narasi
penguatan KPK seakan hanya omong kosong,” kata Kurnia di Jakarta, Senin (16/9).

Upaya pelemahan itu tercatat di
antaranya mulai dari penyadapan atas izin Ketua Pengadilan, pembatasan usia
KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas. Mayoritas perkara yang
ditangani KPK juga melibatkan aktor politik. Dalam catatan, lanjut Kurnia, dari
rentang 2003 sampai 2018, setidaknya 885 orang telah diproses hukum.”Dari
jumlah itu, 60 persen lebih atau 539 orang berasal dari dimensi politik,”
paparnya. (yah/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru