25.9 C
Jakarta
Sunday, November 10, 2024

Omnibus Law Bakal Gerus Kewenangan Pemda dan Otonomi Daerah

JAKARTA – Dua Omnibus Law,
yakni Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan yang digadang-gadang menarik
investasi, namun bisa berpotensi menggerus otonomi daerah dan kewenangan
pemerintah daerah (pemda)

Pasalnya, dalam
Rancangan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menyebar ke awak media, menunjukkan
kewenangan presiden atas seluruh aspek pemerintah semakin absolut.

Hal ini, bisa
dilihat dalam Pasal 166 yang secara keseluruhan merevisi UU No 23/2014 hingga
UU No 9/2015 tentang pemda, pemerintah mengusulkan untuk merevisi Pasal 251
dari UU Pemda.

Pasal 251 versi
UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa perda provinsi hingga Perda kabupaten/kota
serta peraturan kepala daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota
dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.

Disebutkan,
peraturan-peraturan pada level daerah tersebut dapat dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku langsung melalui peraturan presiden. Jika pemda masih bersikukuh
memberlakukan peraturan yang telah dibatalkan melalui perpres oleh presiden, maka
pemda bisa dikenai sanksi administratif dan sanksi penundaan evaluasi rancangan
Perda.

Sanksi
administratif yang dimaksud yakni tidak dibayarkannya hak keuangan kepala
daerah dan anggota DPRD selama tiga bulan. Dahulu, perda povinsi dan peraturan
gubernur yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dicabut secara langsung oleh menteri dalam negeri.

Apabila terdapat
perda kabupaten/kota ataupun peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, maka gubernur setempat selaku perwakilan
pemerintah pusat yang berhak membatalkan perda tersebut.

Baca Juga :  Jokowi Akhirnya Cabut Perpres Minuman Keras

Ketentuan-ketentuan
tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yakni Putusan No 137/PUUXIII/2015 dan Putusan No 66/PUU-XIV/2016. Alasan MK,
kewenangan menteri dalam negeri ataupun gubernur untuk mencabut perda dan
peraturan kepala daerah adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal
18 Ayat 6, Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 24A Ayat 1 UUD 1945.

Dengan adanya
dua putusan tersebut, MA menjadi institusi tunggal yang berwenang untuk
membatalkan peraturan daerah baik perda maupun peraturan kepala daerah.
Artinya, pemerintah pusat kembali menghidupkan pasal yang telah dibatalkan oleh
MK pada 2015 dan 2016 lalu.

Soal perizinan,
pemerintah merevisi Pasal 350 dari UU Pemda dan dalam pasal terbaru dituangkan
bahwa pelayanan berizinan berusaha wajib menggunakan sistem perizinan
elektronik yang dikelola oleh pemerintah pusat. Apabila tidak menggunakan
sistem tersebut, maka akan kena ancaman sanksi, yakni teguran tertulis yang
tidak digubris oleh kepala daerah sebanyak dua kali berturut-turut, pemerintah
pusat dapat mengambil alih kewenangan perizinan berusaha dari gubernur.
Gubernur juga diberi kewenangan untuk mengambil alih kewenangan perizinan
berusaha dari bupati/wali kota.

Pada Pasal 164,
tertulis jelas bahwa dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka kewenangan menteri,
kepala lembaga, ataupun pemda yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja wajib
dimaknai sebagai kewenangan presiden. Contoh dari semakin kuatnya kewenangan
pemerintah pusat atas urusan daerah adalah terkait penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR).

Baca Juga :  Varian Mu Sudah Terdeteksi di 39 Negara

Apabila pemda
belum menyusun RDTR, maka pelaku usaha dapat mengajukan perizinan pemanfaatan
ruang kepada pemerintah pusat dan pemerintah pusat pun bisa menyetujui kegiatan
tersebut sesuai dengan rencana tata ruang.

Terpisah,
Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah
menjelaskan, Omnibus Law merupakan upaya pemerintah untuk menata peraturan
perundangan yang tumpang tindih dan bersifat menghambat investasi.

Dia menjelaskan,
berkaca dari pengalaman 16 paket kebijakan yang lalu meskipun pemerintah sudah
mengeluarkan aturan yang melonggarkan ternyata tidak efektif. Hal ini lantaran
aturan atau UU yang lain yang masih mengatur dan menghambat.

“Makanya semua
aturan atau UU itu harus diharmonisasikan dan diselaraskan. Kalau sudah diatur
di pusat ya jangan ada aturan lain yang bertentangan di daerah,” kata dia
kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (14/2).

Menuru dia, bila
semua aturan tersebut diperbaiki akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Karenanya melalui pendekatan Omnibus Law menjadi lebih efisien. Salah satunya,
UU untuk mengubah menyelaraskan puluhan UU.

“Jadi niat dari
Omnibus law ini sangat baik. Kita harus akui bahwa selama ini aturan
perundangan Kita banyak yang tumpang tindih. Utamanya antara aturan pusat dan
daerah,” ujar dia.

Saran dia, bila
ingin mempermudah masuknya investasi, maka harus dilakukan pembenahan semua
aturan perundangan tersebut.(din/fin
/kpc)

JAKARTA – Dua Omnibus Law,
yakni Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan yang digadang-gadang menarik
investasi, namun bisa berpotensi menggerus otonomi daerah dan kewenangan
pemerintah daerah (pemda)

Pasalnya, dalam
Rancangan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menyebar ke awak media, menunjukkan
kewenangan presiden atas seluruh aspek pemerintah semakin absolut.

Hal ini, bisa
dilihat dalam Pasal 166 yang secara keseluruhan merevisi UU No 23/2014 hingga
UU No 9/2015 tentang pemda, pemerintah mengusulkan untuk merevisi Pasal 251
dari UU Pemda.

Pasal 251 versi
UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa perda provinsi hingga Perda kabupaten/kota
serta peraturan kepala daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota
dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.

Disebutkan,
peraturan-peraturan pada level daerah tersebut dapat dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku langsung melalui peraturan presiden. Jika pemda masih bersikukuh
memberlakukan peraturan yang telah dibatalkan melalui perpres oleh presiden, maka
pemda bisa dikenai sanksi administratif dan sanksi penundaan evaluasi rancangan
Perda.

Sanksi
administratif yang dimaksud yakni tidak dibayarkannya hak keuangan kepala
daerah dan anggota DPRD selama tiga bulan. Dahulu, perda povinsi dan peraturan
gubernur yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dicabut secara langsung oleh menteri dalam negeri.

Apabila terdapat
perda kabupaten/kota ataupun peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, maka gubernur setempat selaku perwakilan
pemerintah pusat yang berhak membatalkan perda tersebut.

Baca Juga :  Jokowi Akhirnya Cabut Perpres Minuman Keras

Ketentuan-ketentuan
tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yakni Putusan No 137/PUUXIII/2015 dan Putusan No 66/PUU-XIV/2016. Alasan MK,
kewenangan menteri dalam negeri ataupun gubernur untuk mencabut perda dan
peraturan kepala daerah adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal
18 Ayat 6, Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 24A Ayat 1 UUD 1945.

Dengan adanya
dua putusan tersebut, MA menjadi institusi tunggal yang berwenang untuk
membatalkan peraturan daerah baik perda maupun peraturan kepala daerah.
Artinya, pemerintah pusat kembali menghidupkan pasal yang telah dibatalkan oleh
MK pada 2015 dan 2016 lalu.

Soal perizinan,
pemerintah merevisi Pasal 350 dari UU Pemda dan dalam pasal terbaru dituangkan
bahwa pelayanan berizinan berusaha wajib menggunakan sistem perizinan
elektronik yang dikelola oleh pemerintah pusat. Apabila tidak menggunakan
sistem tersebut, maka akan kena ancaman sanksi, yakni teguran tertulis yang
tidak digubris oleh kepala daerah sebanyak dua kali berturut-turut, pemerintah
pusat dapat mengambil alih kewenangan perizinan berusaha dari gubernur.
Gubernur juga diberi kewenangan untuk mengambil alih kewenangan perizinan
berusaha dari bupati/wali kota.

Pada Pasal 164,
tertulis jelas bahwa dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka kewenangan menteri,
kepala lembaga, ataupun pemda yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja wajib
dimaknai sebagai kewenangan presiden. Contoh dari semakin kuatnya kewenangan
pemerintah pusat atas urusan daerah adalah terkait penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR).

Baca Juga :  Varian Mu Sudah Terdeteksi di 39 Negara

Apabila pemda
belum menyusun RDTR, maka pelaku usaha dapat mengajukan perizinan pemanfaatan
ruang kepada pemerintah pusat dan pemerintah pusat pun bisa menyetujui kegiatan
tersebut sesuai dengan rencana tata ruang.

Terpisah,
Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah
menjelaskan, Omnibus Law merupakan upaya pemerintah untuk menata peraturan
perundangan yang tumpang tindih dan bersifat menghambat investasi.

Dia menjelaskan,
berkaca dari pengalaman 16 paket kebijakan yang lalu meskipun pemerintah sudah
mengeluarkan aturan yang melonggarkan ternyata tidak efektif. Hal ini lantaran
aturan atau UU yang lain yang masih mengatur dan menghambat.

“Makanya semua
aturan atau UU itu harus diharmonisasikan dan diselaraskan. Kalau sudah diatur
di pusat ya jangan ada aturan lain yang bertentangan di daerah,” kata dia
kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (14/2).

Menuru dia, bila
semua aturan tersebut diperbaiki akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Karenanya melalui pendekatan Omnibus Law menjadi lebih efisien. Salah satunya,
UU untuk mengubah menyelaraskan puluhan UU.

“Jadi niat dari
Omnibus law ini sangat baik. Kita harus akui bahwa selama ini aturan
perundangan Kita banyak yang tumpang tindih. Utamanya antara aturan pusat dan
daerah,” ujar dia.

Saran dia, bila
ingin mempermudah masuknya investasi, maka harus dilakukan pembenahan semua
aturan perundangan tersebut.(din/fin
/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru