JAKARTA – Isu radikalisme masih terus digaungkan sejumlah pihak,
terlebih ketika salah satu menteri di kabinet melarang dan mengatur cara
berpakaian dengan dalih menekan radikalisme.
Menurut Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, seseorang yang
terpapar radikalisme tidak bisa dilihat dari tampilan fisik maupun gaya berpakaian.
“Tadi sudah saya sampaikan, bahwa
tampilan fisik tidak bisa mencirikan seseorang terpapar radikalisme, tapi
masalah pemikiran, dan masalah ideologi,†tegas Suhardi, Senin (4/11).
Karena, kata Suhardi, di era
globalisasi saat ini tidak bisa melakukan stigmatisasi terhadap seseorang hanya
berdasarkan tampilan fisik maupun cara berpakaian.
Bahkan, Suhardi membeberkan
ciri-ciri seseorang yang telah terpapar radikalisme. Di antaranya ialah
menyuburkan sikap intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, penyebaran paham
Takfiri dan menyebabkan disintegrasi bangsa.
“Poinnya adalah penyimpangan,
indikatornya antara lain suka menyendiri, membuat kelompok ekslusif, hingga
tahap jihadis. Tidak bisa stigmatisasi pada pakaian, dan (indikator ini) perlu
disikapi secara hati-hati,†tegasnya.
Lebih lanjut Suhardi mengatakan,
cara berpakaian hanyalah masalah kultur. Hal tersebut berbeda dengan
radikalisme yang merupakan masalah ideologi.
“(Berpakaian itu) masalah kultur,
masalah budaya, kalau soal pakaian tuh masalah kultur aja. Artinya kita jangan
men–judge manusia dari
tampilan fisik, tapi (radikalisme) ini mindset,†pungkasnya. (sta/rmol/pojoksatu)