32.5 C
Jakarta
Friday, October 4, 2024

Ini 4 Titik Potensi Korupsi Penanganan COVID-19

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada empat
titik yang berpotensi dijadikan ajang bancakan dalam penanganan pandemi
COVID-19. Salah satunya adalah realokasi APBN-APBD.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan
pihaknya telah memetakan empat titik yang rawan terjadi tindak pidana korupsi
dalam penanganan pandemi COVID-19.

“Yaitu pengadaan barang jasa,
sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi APBN-APBD, serta bantuan sosial,”
katanya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR secara fisik dan
virtual di DPR, Jakarta, Rabu (29/4).

Dijelaskannya, untuk melakukan
pencegahan korupsi di pengadaan barang dan jasa, pihaknya akan melibatkan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk pendampingan
dan bekerjasama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk
melakukan pengawasan.

KPK juga sudah membuat surat
edaran tentang rambu-rambu pengadaan barang jasa sesuai dengan Surat Edaran KPK
Nomor 2 Tahun 2020 tanggal 2 April 2020.

“Ada delapan rambu-rambu yang
kami sampaikan, kami tidak ingin ada korupsi dalam rangka penanganan COVID-19.
Tetapi kami juga tidak ingin ada ketakutan para pengguna anggaran dan tidak
berani mengambil keputusan karena takut dengan korupsi, sehingga kami berikan
panduan melalui Surat Edaran KPK Nomor 8 Tahun 2020,” ujarnya. Delapan
rambu-rambu tersebut bisa dilihat di grafis.

Terkait bantuan sosial, ada empat
kategori yang bisa berpotensi terjadi penyimpangan, yaitu sumbangan fiktif,
kesalahan inclusion, kesalahan exclusion, dan kualitas serta kuantitas bantuan
berubah.

Menurutnya, KPK juga telah
melakukan kerja sama dengan kementerian/lembaga termasuk meminta bantuan kepada
Polri khususnya pengawasan terkait dengan pelaksanaan anggaran dan
penggunaannya serta distribusi bantuan sosial di pelosok pelosok Tanah Air.

Baca Juga :  Tak Menguntungkan, Operator Ogah Direpotkan Investasi Aturan IMEI

“KPK telah membentuk satgas
penyelidikan yang bertugas monitor terkait dengan penggunaan dan anggaran
COVID-19. KPK hanya berada di Kota Jakarta, tapi untuk 34 provinsi kami
mengedepankan 9 korwil baik itu pencegahan maupun penindakan. Tentulah kekuatan
KPK tidak bisa menjangkau kepada 542 kabupaten/kota dan beberapa kementerian
yang melaksanakan penganggaran penanganan COVID-19,” terangnya.

Dijelaskannya, keberadaan 9
korwil dengan jumlah anggota 54 orang, bertugas melakukan kegiatan pengawasan
dan pendampingan terhadap pelaksanaan penggunaan anggaran di daerah. Sedangkan
KPK akan menempatkan anggotanya di Gugus Tugas Penanganan COVID-19.

Selain itu, KPK juga melaksanakan
kegiatan video conference dengan pemerintah daerah, misalnya pada tanggal 8
April lalu dalam rangka memberikan bimbingan pencerahan supaya tidak terjadi
korupsi di tingkat daerah.

“Acara tersebut dihadiri 519
kepala daerah bupati dan wali kota, kami melakukannya bersama-sama Menteri
Dalam Negeri, Ketua LKPP, Ketua BPK, Ketua BPKP dan Kabareskrim, dan kami
selalu melakukan koordinasi dengan kementerian sosial,” katanya.

Firli menegaskan pihaknya akan
tegas terhadap pelaku korupsi, khususnya dalam keadaan penggunaan anggaran
penanganan bencana.

“Tidak ada pilihan lain yaitu
tuntutannya pidana mati,” tegasnya.

Ketua Komisi III DPR Herman Herry
meminta KPK berperan aktif dalam pengawasan anggaran penanganan COVID-19 yang
nilainya Rp405,1 triliun.

“KPK harus berperan aktif
melakukan pengawasan. Seperti kita ketahui jumlah anggaran penanganan COVID-19
yang telah dianggarkan pemerintah sangat besar yaitu mencapai Rp 405 Triliun,”
katanya.

Baca Juga :  ICW Juga Minta Presiden Jokowi Copot Menkumham Yasonna H Laoly

Dia juga meminta KPK tidak hanya
fokus pada penindakan namun harus fokus pada pengawasan. KPK harus memperkuat
komunikasi dengan pemerintah pusat dan daerah agar alokasi dan penggunaan
anggaran penanganan COVID-19 bisa dimonitor sejak awal.

“KPK juga harus memetakan dan
mengantisipasi titik-titik yang rawan terjadi penyelewengan, korupsi, kolusi,
nepotisme, hingga konflik kepentingan terkait penggunaan anggaran penanganan
COVID-19,” ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.

Herman juga berharap KPK
memperkuat sinergi dan koordinasi dengan lembaga negara lainnya. Tidak hanya
dengan Kepolisian dan Kejaksaan tetapi juga LKPP, BPK, dan BPKP. Sebab
pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sendiri dan butuh kerjasama.

“Tentu akan lebih baik bila
terbangun kerjasama yang kuat dan efektif di antara mereka,” katanya.

Dan terpenting, menurut Herman
dalah tindakan tegas.

“KPK juga harus melakukan
penindakan secara tegas terhadap seluruh tindakan korupsi dan penyimpangan yang
dilakukan dalam lingkup kewenangan pemerintah yang luar biasa dalam penanganan
pendemi COVID-19 sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan
berbagai ketentuan terkait lainnya,” tegasnya.

Delapan Rambu Pengadaan Barang
Jasa

# Tidak kolusi dengan penyedia barang-jasa

# Tidak menerima “kickback” dari penyedia

# Tidak mengandung unsur penyuapan

# Tidak mengandung unsur gratifikasi

# Tidak mengandung unsur adanya benturan kepentingan

# Tidak ada unsur kecurangan dan maladministrasi

# Tidak berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi pandemi COVID-19

# Tidak membiarkan terjadinya
tindak pidana korupsi

Empat Potensi Penyimpangan
Bansos

Sumbangan fiktif

Kesalahan inclusion

Kesalahan exclusion

Kualitas serta kuantitas bantuan
berubah

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada empat
titik yang berpotensi dijadikan ajang bancakan dalam penanganan pandemi
COVID-19. Salah satunya adalah realokasi APBN-APBD.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan
pihaknya telah memetakan empat titik yang rawan terjadi tindak pidana korupsi
dalam penanganan pandemi COVID-19.

“Yaitu pengadaan barang jasa,
sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi APBN-APBD, serta bantuan sosial,”
katanya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR secara fisik dan
virtual di DPR, Jakarta, Rabu (29/4).

Dijelaskannya, untuk melakukan
pencegahan korupsi di pengadaan barang dan jasa, pihaknya akan melibatkan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk pendampingan
dan bekerjasama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk
melakukan pengawasan.

KPK juga sudah membuat surat
edaran tentang rambu-rambu pengadaan barang jasa sesuai dengan Surat Edaran KPK
Nomor 2 Tahun 2020 tanggal 2 April 2020.

“Ada delapan rambu-rambu yang
kami sampaikan, kami tidak ingin ada korupsi dalam rangka penanganan COVID-19.
Tetapi kami juga tidak ingin ada ketakutan para pengguna anggaran dan tidak
berani mengambil keputusan karena takut dengan korupsi, sehingga kami berikan
panduan melalui Surat Edaran KPK Nomor 8 Tahun 2020,” ujarnya. Delapan
rambu-rambu tersebut bisa dilihat di grafis.

Terkait bantuan sosial, ada empat
kategori yang bisa berpotensi terjadi penyimpangan, yaitu sumbangan fiktif,
kesalahan inclusion, kesalahan exclusion, dan kualitas serta kuantitas bantuan
berubah.

Menurutnya, KPK juga telah
melakukan kerja sama dengan kementerian/lembaga termasuk meminta bantuan kepada
Polri khususnya pengawasan terkait dengan pelaksanaan anggaran dan
penggunaannya serta distribusi bantuan sosial di pelosok pelosok Tanah Air.

Baca Juga :  Tak Menguntungkan, Operator Ogah Direpotkan Investasi Aturan IMEI

“KPK telah membentuk satgas
penyelidikan yang bertugas monitor terkait dengan penggunaan dan anggaran
COVID-19. KPK hanya berada di Kota Jakarta, tapi untuk 34 provinsi kami
mengedepankan 9 korwil baik itu pencegahan maupun penindakan. Tentulah kekuatan
KPK tidak bisa menjangkau kepada 542 kabupaten/kota dan beberapa kementerian
yang melaksanakan penganggaran penanganan COVID-19,” terangnya.

Dijelaskannya, keberadaan 9
korwil dengan jumlah anggota 54 orang, bertugas melakukan kegiatan pengawasan
dan pendampingan terhadap pelaksanaan penggunaan anggaran di daerah. Sedangkan
KPK akan menempatkan anggotanya di Gugus Tugas Penanganan COVID-19.

Selain itu, KPK juga melaksanakan
kegiatan video conference dengan pemerintah daerah, misalnya pada tanggal 8
April lalu dalam rangka memberikan bimbingan pencerahan supaya tidak terjadi
korupsi di tingkat daerah.

“Acara tersebut dihadiri 519
kepala daerah bupati dan wali kota, kami melakukannya bersama-sama Menteri
Dalam Negeri, Ketua LKPP, Ketua BPK, Ketua BPKP dan Kabareskrim, dan kami
selalu melakukan koordinasi dengan kementerian sosial,” katanya.

Firli menegaskan pihaknya akan
tegas terhadap pelaku korupsi, khususnya dalam keadaan penggunaan anggaran
penanganan bencana.

“Tidak ada pilihan lain yaitu
tuntutannya pidana mati,” tegasnya.

Ketua Komisi III DPR Herman Herry
meminta KPK berperan aktif dalam pengawasan anggaran penanganan COVID-19 yang
nilainya Rp405,1 triliun.

“KPK harus berperan aktif
melakukan pengawasan. Seperti kita ketahui jumlah anggaran penanganan COVID-19
yang telah dianggarkan pemerintah sangat besar yaitu mencapai Rp 405 Triliun,”
katanya.

Baca Juga :  ICW Juga Minta Presiden Jokowi Copot Menkumham Yasonna H Laoly

Dia juga meminta KPK tidak hanya
fokus pada penindakan namun harus fokus pada pengawasan. KPK harus memperkuat
komunikasi dengan pemerintah pusat dan daerah agar alokasi dan penggunaan
anggaran penanganan COVID-19 bisa dimonitor sejak awal.

“KPK juga harus memetakan dan
mengantisipasi titik-titik yang rawan terjadi penyelewengan, korupsi, kolusi,
nepotisme, hingga konflik kepentingan terkait penggunaan anggaran penanganan
COVID-19,” ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.

Herman juga berharap KPK
memperkuat sinergi dan koordinasi dengan lembaga negara lainnya. Tidak hanya
dengan Kepolisian dan Kejaksaan tetapi juga LKPP, BPK, dan BPKP. Sebab
pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sendiri dan butuh kerjasama.

“Tentu akan lebih baik bila
terbangun kerjasama yang kuat dan efektif di antara mereka,” katanya.

Dan terpenting, menurut Herman
dalah tindakan tegas.

“KPK juga harus melakukan
penindakan secara tegas terhadap seluruh tindakan korupsi dan penyimpangan yang
dilakukan dalam lingkup kewenangan pemerintah yang luar biasa dalam penanganan
pendemi COVID-19 sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan
berbagai ketentuan terkait lainnya,” tegasnya.

Delapan Rambu Pengadaan Barang
Jasa

# Tidak kolusi dengan penyedia barang-jasa

# Tidak menerima “kickback” dari penyedia

# Tidak mengandung unsur penyuapan

# Tidak mengandung unsur gratifikasi

# Tidak mengandung unsur adanya benturan kepentingan

# Tidak ada unsur kecurangan dan maladministrasi

# Tidak berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi pandemi COVID-19

# Tidak membiarkan terjadinya
tindak pidana korupsi

Empat Potensi Penyimpangan
Bansos

Sumbangan fiktif

Kesalahan inclusion

Kesalahan exclusion

Kualitas serta kuantitas bantuan
berubah

Terpopuler

Artikel Terbaru