Jaringan telepon dan internet boleh dimatikan. Nyawa, termasuk anak-anak, juga
terus berjatuhan. Tapi, perlawanan kepada kebijakan kontroversial Narendra Modi
tak surut. Bahkan, kalangan separtai dengan perdana menteri India itu pun ikut
menolak.
DIA pernah ditangkap
aparat saat turun ke jalan. Merasakan pula digebuki. Tapi, nyali Ramachandra
Guha tak surut karenanya.
Sejarawan India itu terus menyuarakan kritik kerasnya kepada
Undang-Undang Amandemen Kependudukan (CAA) yang dianggap diskriminatif. ’’Legislasi
ini menyerang jantung konstitusi sekaligus berusaha menjadikan India sebagai
negara lain,’’ tulisnya di The Telegraph.
CAA memang tak mencerminkan konstitusi India yang sekuler. Sejak
merdeka pada 1947, tidak ada satu pun undang-undang di negeri bekas jajahan
Inggris tersebut yang dengan tegas dan jelas mengesampingkan umat muslim.
Islam di India adalah agama terbesar kedua. Lebih dari 14 persen
penduduknya muslim. Itu setara dengan 200 juta orang.
Karena itulah, ketika CAA menyebutkan bahwa penganut Hindu,
Sikh, Buddhist, Jain, Parsi, dan Kristiani yang berasal dari Pakistan,
Afghanistan, serta Bangladesh bisa menjadi penduduk India, umat muslim berang.
Sebab, Islam tidak disebut di dalamnya.
Ratusan ribu orang turun ke jalan di berbagai kota untuk
memprotesnya. Termasuk para aktivis nonmuslim.
Sebab, CAA juga dianggap mengubah semua aturan selama ini. Dulu
imigran ilegal akan langsung ditangkap dan dipenjara maupun dideportasi.
Kini pemeluk enam agama tersebut bisa mengajukan status
kependudukan meski mereka ilegal. Mereka juga cukup bekerja di India selama 6
tahun sebelum pengajuan dari 11 tahun di undang-undang yang lama.
CAA sudah diberlakukan, tapi para pemimpin negara bagian dari
partai oposisi berjanji bahwa UU itu tidak akan pernah diimplementasikan. Massa
juga terus turun ke jalan dan menentang.
Para kritikus menilai bahwa ini adalah usaha terbaru Perdana
Menteri (PM) Narendra Modi dan pemerintahan Hindu Nasionalis-nya untuk
memarginalkan warga minoritas. Tak sekali dua kali politikus Partai Bharatiya
Jana itu melahirkan kebijakan atau peraturan yang lantas menyulut kontroversi
sejak berkuasa lima tahun silam.
’’Kami akan berjuang hingga UU ini ditarik. Kami tidak akan
mundur,’’ ujar Shamim Qureishi, pria 42 tahun yang ikut dalam aksi massa di
Masjid Jama, New Delhi, Jumat lalu (20/12).
Larangan berkumpul diterapkan sejak demo kian besar. Tapi,
demonstran tak peduli. Mereka tetap turun ke jalan dalam jumlah yang masif.
Dalam setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Nyawa adalah salah satunya.
Agence France-Presse mengungkapkan,
hingga kemarin (21/12) sudah ada 20 nyawa yang melayang dan ratusan lainnya
luka-luka. Juru Bicara Kepolisian Uttar Pradesh Shirish Chandra mengungkapkan
bahwa 10 orang tewas Jumat (20/12) setelah tertembus timah panas. Sekitar 4
ribu orang juga sudah ditahan.
Korban tewas bukan hanya orang dewasa, melainkan juga anak-anak.
Seorang bocah 8 tahun tewas terinjak-injak massa yang melarikan diri dari
serangan polisi.
Bocah itu sedang bermain di jalanan kota Varanasi, Uttar Pradesh,
saat aksi massa terjadi. Sejumlah remaja berusia 12–18 tahun juga menjadi
korban luka-luka. Polisi tidak pandang bulu saat mengejar demonstran. Mereka
masuk ke rumah sakit dan tempat-tempat lainnya, lalu memukuli mereka yang
tertangkap.
Modi selama ini menuding oposisi sebagai biang kerok yang
menyebarkan isu sehingga massa turun ke jalan. Pemerintah juga berkali-kali
menegaskan bahwa CAA tidak akan pernah dicabut. Para pengamat menilai, Modi
tidak berbuat lebih untuk menghentikan aksi massa dan kekerasan.
Setelah korban terus berjatuhan, kemarin Modi akhirnya menggelar
rapat dengan para menterinya untuk menentukan langkah-langkah keamanan yang
harus diambil. Selama ini yang dilakukan pemerintah adalah mematikan jaringan
internet dan telepon.
Tapi, itu tampaknya tidak mempan. Ini adalah perlawanan terbesar
sejak Modi menjadi PM lima tahun lalu. Pada hari yang sama dengan rapat itu,
demo tetap berlangsung di Chennai, Patna, New Delhi, dan berbagai kota lainnya.
CAA tidak hanya meresahkan warga muslim, tapi juga beberapa
politikus dari partai Modi. Wakil Direktur Wilson Center untuk Program Asia
Michael Kugelman mengungkapkan, sebagian politikus Bharatiya Janata takut
gelombang imigran akan memenuhi India. Karena itu, mereka juga ikut menolak
CAA.(jpc)